(Arrahmah.com) – Siapa di antara kita yang tidak mengenal sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu? Jundub bin Junadah al-Ghifari, nama asli sahabat yang mulia ini, adalah sosok yang sangat terkenal dalam sejarah Islam. Ia dianggap sebagai “bapak orang-orang miskin”, “tokoh zuhud”, atau “musuh orang-orang kaya”. Bahkan orang-orang sosialis dan komunis mencatut namanya sebagai pejuang proletar yang menggoyang kemewahan kaum borjuis.
Abu Dzar al-Ghifari semula adalah seorang perampok ulung, seperti halnya profesi mayoritas penduduk badui suku Ghifar. Ia masuk Islam sejak awal-awal masa dakwah di Makkah. Keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran ditunjukkan saat ia mengumumkan keislamannya secara terang-terangan di Ka’bah pada siang hari bolong, sehingga membuatnya dipukuli oleh orang-orang musyrik Quraisy.
Abu Dzar al-Ghifari dikenal luas dengan sikapnya yang berani dan lantang menyuarakan kebenaran. Ia juga mencintai kehidupan seadanya, makanan yang kasar ala kadarnya, pakaian yang kasar dan rumah sederhana. Ia sangat membenci kemewahan hidup.
Sikap terhadap harta yang cenderung keras membuat Abu Dzar al-Ghifari berkali-kali terlibat perselisihan dengan para sahabat yang kaya. Di Damaskus, Abu Dzar al-Ghifari terlibat perbantahan dengan gubernur Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan sejumlah sahabat yang kaya.
Abu Dzar al-Ghifari berpendapat seorang muslim haram menyimpan harta, karena semua harta yang melebihi kebutuhan pokok harus diinfakkan di jalan Allah. Sementara itu mayoritas sahabat berpendapat seorang muslim boleh memiliki dan menyimpan harta dalam jumlah banyak, melebihi kebutuhan pokoknya, selama ia menunaikan kewajiban-kewajiban dalam harta tersebut; zakat, infak, sedekah, wakaf dan lain-lain.
Kisah Abu Dzar al-Ghifari yang hidup dengan tenda seadanya, makanan yang kasar dan pakaian yang kasar sudah dikenal luas di tengah kaum muslimin. Namun ada sisi-sisi lain kehidupan Abu Dzar al-Ghifari yang jarang sekali diangkat di tengah kaum muslimin. Salah satunya adalah kekayaan dan kedermawanan beliau.
Kekayaan? Tentu saja. Sebagai seorang sahabat, muhajir dan mujahid yang senantiasa berjihad sejak zaman Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, tentu Abu Dzar al-Ghifari juga memperoleh jatah dari harta ghanimah dan fa’i. Abu Dzar al-Ghifari hidup pada zaman kemakmuran kaum muslimin selama 10 tahun masa pemerintahan khalifah Umar bin Khathab dan 12 tahun masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Selama 20an tahun tersebut, Abu Dzar al-Ghifari juga mendapatkan jatah ghanimah, fa’i dan ~satu lagi adalah~ al-atha’, yaitu subsidi dan jatah harta dari baitul mal (kas negara).
Jadi, jangan berfikir bahwa Abu Dzar al-Ghaf adalah sosok orang miskin yang menganggur, tak memiliki pekerjaan, tak memiliki penghasilan tetap, dan tak memiliki harta apa-apa. Abu Dzar al-Ghifari memiliki harta yang banyak, yang bisa membuatnya hidup lebih dari cukup. Namun Abu Dzar al-Ghifari lebih memilih hidup seadanya, hidup dalam tenda yang sederhana, memakan makanan yang kasar dan murah, dan memakai pakaian yang kasar dan murah. Sisa seluruh hartanya ia infakkan di jalan Allah Ta’ala.
Inilah hakekat miskin dan zuhud; memiliki harta yang banyak, namun hanya mengambil sebatas kebutuhan pokok, dan menginfakkan seluruh sisanya di jalan Allah. Abu Dzar al-Ghifari senantiasa memegang teguh firman Allah Ta’ala:
وَيُؤْثِرُونَ عَلى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كانَ بِهِمْ خَصاصَةٌ
“Dan (dengan hartanya) mereka lebih mendahulukan keperluan orang lain atas keperluan mereka sendiri, meskipun mereka sendiri juga dalam kondisi kekurangan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9)
Setiap bulan Abu Dzar al-Ghifari menerima jatah subsidi dari baitul mal sebesar 4000 dirham. Dengan uang sebesar itu, Abu Dzar al-Ghifari membeli kebutuhan pokok keluarganya untuk masa satu tahun. Lalu Abu Dzar menginfakkan sisa uangnya di jalan Allah, guna membantu fakir, miskin, janda, anak yatim dan orang-orang yang memerlukannya.
Ulama tabi’in, imam Sai’d bin Abul Hasan berkata:
أَنَّ أَبَا ذَرٍّ كَانَ عَطَاؤُهُ أَرْبَعَةَ آلاَفٍ، فَكَانَ إِذَا أَخَذَ عَطَاءهُ، دَعَا خَادِمَهُ، فَسَأَلَهُ عَمَّا يَكْفِيْهِ لِلسَّنَةِ، فَاشْتَرَاهُ، ثُمَّ اشْتَرَى فُلُوْساً بِمَا بَقِيَ.
“Abu Dzar al-Ghifari memiliki al-atha’ (jatah subsidi dari baitul mal setiap bulannya) 4000 dirham. Jika Abu Dzar al-Ghifari telah menerima jatah subsidi tersebut, ia akan memanggil pelayannya dan menanyainya kebutuhan hidupnya (kebutuhan keluarga Abu Dzar, edt) selama satu tahun. Setelah itu Abu Dzar al-Ghifari akan membeli kebutuhan hidup keluarganya selama satu tahun, lalu Abu Dzar akan membeli uang-uang receh dengan sisa uangnya (untuk ia infakkan kepada orang-orang yang memerlukannya, edt).” (Imam Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala’, 2/73)
Sebagai seorang mujahid sejati, Abu Dzar al-Ghifari juga senantiasa menyiapkan perbekalan untuk perang di jalan Allah. Ia memiliki 30 ekor kuda yang dirawat dengan baik. Setiap kali berjihad, Abu Dzar al-Ghifari akan membawa 15 ekor kudanya, lengkap dengan perbekalannya. Saat pulang dari jihad, 15 ekor kuda tersebut akan dikandangkan, dirawat dengan baik, dan diistirahatkan untuk operasi-operasi jihad lainnya. Sementara itu pada jihad berikutnya Abu Dzar al-Ghifari akan membawa 15 kuda yang semula diistirahatkan.
Demikianlah Abu Dzar al-Ghifari menginfakkan 30 ekor kuda untuk kepentingan perang di jalan Allah. Setiap kali berangkat jihad, Abu Dzar membawa 15 ekor kuda. Pergiliran 15 ekor kuda yang berangkat dan 15 ekor kuda yang beristirahat itu memungkinkan kuda senantiasa dalam kondisi segar, sehat dan prima saat diperlukan di jalan Allah Ta’ala.
Ulama tabi’it tabi’in, Yahya bin Abi Katsir berkata:
كَانَ لأَبِي ذَرٍّ ثَلاَثُوْنَ فَرَساً يَحْمِلُ عَلَيْهَا، فَكَانَ يَحْمِلُ عَلَى خَمْسَةَ عَشَرَ مِنْهَا يَغْزُو عَلَيْهَا، وَيُصْلِحُ آلَةَ بَقِيَّتِهَا، فَإِذَا رَجَعَتْ أَخَذَهَا، فَأَصْلَحَ آلَتَهَا، وَحَمَلَ عَلَى الأُخْرَى.
“Abu Dzar al-Ghifari memiliki 30 ekor kuda yang bisa ia pergunakan. Maka Abu Dzar al-Ghifari biasa membawa 15 ekor kuda saat berperang di jalan Allah dan ia tinggalkan 15 ekor sisanya untuk dirawat (di kandang). Jika ia pulang dari berperang, maka ia mengandangkan 15 ekor kuda tersebut dan merawatnya, kemudian ia berangkat berperang dengan 15 ekor kuda yang lain.” (Imam Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala’, 2/74)
Abu Dzar al-Ghifari sangat menghayati firman Allah Ta’ala:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِباطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَما تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
“Dan persiapkanlah kekuatan apapun yang kalian mampui untuk menghadapi mereka (musuh-musuh) dan juga dari kuda-kuda yang tertambat untuk perang. Dengan persiapan kekuatan militer itu kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian, dan juga (menggentarkan) musuh-musuh selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya, namun Allah mengetahuinya. Harta apapun yang kalian infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas secara sempurna untuk kalian dan kalian tidak akan dizalimi.” (QS. Al-Anfal [8]]: 60)
Subhanallah, inilah sosok sebenarnya dari “si miskin”, bahkan “bapak orang-orang miskin” yang selama ini kisahnya ramai diceritakan oleh para ustadz, mubalig, dan kaum shufi. “Kemiskinan”nya sama sekali tidak menghalanginya dari terjun aktif dalam jihad di jalan Allah Ta’ala. Bukan hanya jihad dengan nyawanya, namun juga dengan hartanya. Bahkan, infaknya di jalan Allah adalah 30 kendaraan, jauh lebih besar dari infak kebanyakan jutawan muslim hari ini. Astaghfirullah al-‘Azhim, betapa jauhnya hidup kita dari kepribadian Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu. Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhibalmajdi/arrahmah.com)