(Arrahmah.com) – Obat hati ada lima perkaranya. Yang pertama baca Qur’an dan maknanya. Yang kedua, shalat malam dirikanlah. Yang ketiga, berkumpullah dengan orang shalih. Yang keempat, perbanyaklah berpuasa. Yang kelima, dzikir malam perpanjanglah.
Jauh sebelum bait-bait nasehat itu populer lewat nyanyian Opick, jama’ah di masjid-masjid dan mushala-mushala telah melantunkannya dalam shalawatan sesudah adzan. Mereka mendapatkan lantunan nasehat emas itu dari para kyai di pesantren-pesantren tradisional. Tidak banyak umat Islam yang mengetahui bahwa usia nasehat itu lebih tua dari para kyai dan pesantren tradisional di tanah air kita. Nasehat bijak itu bahkan telah berusia lebih dari 1100 tahun!
Para sejarawan Islam mencatat bahwa nasehat bijak itu diucapkan oleh seorang ulama, ahli ibadah, penceramah dan tabib rohani yang senantiasa memberikan mutiara nasehat kepada kaum muslimin di kota Naisabur, Iran. Nama ulama dan ahli ibadah tersebut adalah Yahya bin Mu’adz bin Ja’far Ar-Razi, biasa dipanggil dengan sebutan Abu Zakaria Ar-Razi.
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi dilahirkan di kota Ray, Teheran hari ini, pada akhir abad 2 H atau awal abad 3 H. Yahya bin Mu’adz memiliki seorang kakak bernama Ismail bin Muadz dan seorang adik bernama Ibrahim bin Muadz. Ketiganya dikenal sebagai orang yang shalih, ahli ibadah dan hidup zuhud.
Ulama hadits dan sejarawan Islam, imam Adz-Dzahabi berkata, “Yahya bin Muadz Ar-Razi, Abu Zakaria, seorang shufi dan ‘arif yang terkenal dan seorang pemberi nasehat. Ia adalah orang bijaksana pada zamannya.” (Tarikhul Islam, 19/373)
Ulama hadits dan sejarawan Islam, imam Abu Nu’aim Al-Ashbahani berkata, “Seorang yang senantiasa memuji dan bersyukur kepada Allah, seorang yang senantiasa qana’ah dan sabar, seorang yang senantiasa berharap dan takut kepada Allah, Yahya bin Muadz, seorang pemberi nasehat dan peringatan.” (Hilyatul Awliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, 10/51)
Yahya bin Muadz Ar-Razi belajar hadits kepada imam Ishaq bin Sulaiman Ar-Razi, Maki bin Ibrahim Al-Balkhi, Ali bin Muhammad Ath-Thanafisi dan lain-lain.
Adapun murid-murid yang meriwayatkan hadits dari Yahya bin Muadz Ar-Razi adalah Al-Faqih Abu Nashr bin Salam, Abu Utsman Az-Zahid, Ahmad bin Muhammad Al-Masarjisi, Ali bin Muhammad Al-Qubbani, Yahya bin Zakaria Al-Maqabiri dan sebagian ulama Ray, Hamadan (dua wilayah di Iran) , Marwa dan Balkh (dua wilayah di Afghanistan).
Yahya bin Muadz Ar-Razi menimba ilmu di Ray, Syairaz, Marwa dan Balkh, kemudian menetap dan mengajar masyarakat di kota Naisabur sampai ia wafat pada bulan Jumadil Ula 258 H.
Untaian-untaian nasehatnya sangat indah, menggugah dan penuh hikmah. Itulah sebabnya ia dijuluki hakim (orang bijaksana) dan wa’izh (sang pemberi nasehat). Salah satu nasehatnya tentang ‘lima obat penyakit hati’ di atas menjadi bukti bahwa nasehatnya tetap abadi, diingat dan diamalkan oleh kaum muslimin sampai hari ini, meski sang pemberi nasehat telah dimakamkan sejak 1175 tahun yang lalu!
Berikut ini sebagian di antara nasehat-nasehatnya yang singkat namun penuh hikmah:
دَوَاءُ اْلقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءٍ، قِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ بِالتَّفَكُّرِ، وَخَلاَءُ اْلبَطْنِ وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحَرِ، وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِينَ.
“Obat penyakit hati itu ada lima perkara; membaca Al-Qur’an dengan merenungkan maknanya, berpuasa, shalat malam, meminta ampunan Allah di waktu sahur dan berteman dengan orang-orang shalih.”
كَيْفَ أَمْتَنِعُ بِالذَّنْبِ مِنْ رَجَائِكَ وَلَا أَرَاكَ تَمْتَنِعُ لِلذَّنْبِ مِنْ عَطَائِكَ
“(Ya Allah) Bagaimana saya tidak akan berharap kepada-Mu meski aku banyak berbuat dosa, sedangkan Engkau tidak enggan memberiku karunia meski aku banyak berbuat dosa?”
يَا ابْنَ آدَمَ لَا يَزَالُ دِينُكَ مُتَمَزِّقًا مَا دَامَ الْقَلْبُ بِحُبِّ الدُّنْيَا مُتَعَلِّقًا
“Wahai manusia, agamamu akan senantiasa tercabik-cabik selama hatimu senantiasa lengket dengan cinta kepada dunia.”
لَا تَسْتَبْطِئِ الْإِجَابَةَ وَقَدْ سَدَدْتَ طُرُقَاتِهَا بِالذُّنُوبِ
“Janganlah engkau menganggap Allah lambat mengabulkan doamu, padahal engkau telah menutupi jalan-jalan terkabulnya doa dengan dosa-dosamu.”
اتْرُكِ الدُّنْيَا قَبْلَ أَنْ تَتْرُكَكَ , وَاسْتَرْضِ رَبَّكَ قَبْلَ مُلَاقَاتِهِ وَأَعْمِرْ بَيْتَكَ الَّذِي تَسْكُنُهُ قَبْلَ انْتِقَالِكَ إِلَيْهِ
“Tinggalkanlah (kenikmatan) dunia sebelum dunia meninggalkanmu, carilah ridha Rabbmu sebelum engkau menghadap-Nya dan bangunlah rumahmu yang engkau akan menempatinya (alam kuburmu) sebelum engkau berpindah kepadanya.”
عَدَمُ التَّوَاضُعِ مَنْ فَاتَهُ خِصَالٌ: عِلْمُهُ بِمَا خُلِقَ لَهُ وَمَا خُلِقَ مِنْهُ وَمَا يَعُودُ إِلَيْهِ
“Tidak akan rendah hati (tawadhu’) orang yang tidak memiliki tiga sifat; mengetahui untuk apa ia diciptakan (ibadah), mengetahui dari apa ia diciptakan (setetes mani) dan mengetahui kepada apa ia kembali (tanah).”
عَلَامَةُ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ ثَلَاثَةُ خِصَالٍ: مَنْ آثَرَ رِضَاهُ وَقَارَنَ تُقَاهُ , وَخَالَفَ هَوَاهُ
“Tanda orang yang bertakwa kepada Allah ada tiga; orang yang mengutamakan ridha Allah atas hawa nafsunya sendiri, orang yang rasa takut kepada Allah selalu menyertai dirinya, dan orang yang menyelisihi bisikan hawa nafsunya.”
فِكْرَتُكَ فِي الدُّنْيَا تُلْهِيكَ عَنْ رَبِّكَ , وَعَنْ دِينِكَ , فَكَيْفَ إِذَا بَاشَرْتَهَا بِجَمِيعِ جَوَارِحِكَ
“Pikiranmu terhadap dunia melalaikan dirimu dari Rabbmu dan agamamu. Apalagi jika seluruh anggota badanmu tenggelam dalam kesibukan mengejar dunia.”
الدُّنْيَا بَحْرُ التَّلَفِ وَالنَّجَاةُ مِنْهَا الزُّهْدُ فِيهَا
“(Kenikmatan) dunia adalah samudra kebinasaan, dan cara menyelamatkan diri darinya adalah dengan zuhud terhadapanya.”
أَوْثَقُ الرَّجَاءِ رَجَاءُ الْعَبْدِ رَبَّهُ وَأَصْدَقُ الظُّنُونِ حُسْنُ الظَّنِّ بِاللَّهِ
“Harapan yang paling bisa diandalkan adalah harapan seorang hamba kepada Rabbnya dan sejujur-jujur persangkaan adalah persangkaan baik kepada Allah.”
الْكَيِّسُ مَنْ فِيهِ ثَلَاثَةُ خِصَالٍ: مَنْ بَادَرَ بِعَمَلِهِ وَتَسَوَّفَ بِأَمَلِهِ وَاسْتَعَدَّ لِأَجَلِهِ
“Orang yang cerdas adalah orang yang memiliki tiga sifat; orang yang segera melakukan amal kebaikan, orang yang menunda-nunda angan-angannya dan orang yang mempersiapkan diri untuk kematiannya.”
إِنَّ الدِّرْهَمَ عَقْرَبٌ، فَإِنْ لَمْ تُحْسِنْ رُقْيَتَهُ فَلَا تَأْخُذْهُ بِيَدِكَ، فَإِنَّهُ إِنْ لَدَغَكَ قَتَلَكَ
“Uang itu kalajengking. Jika engkau tidak pintar mengobatinya, janganlah engkau mengambilnya dengan tanganmu, karena jika ia telah menyengatmu niscaya ia dapat membunuhmu.”
لَا تَكُنْ مِمَّنْ يَفْضَحُهُ يَوْمَ مَوْتِهِ مِيراثُهُ وَيَوْمَ حَشْرِهِ مِيزانُهُ
“Janganlah engkau menjadi orang yang dipermalukan oleh harta warisannya pada hari kematiannya (banyak harta namun jarang sedekah, sehingga hartanya dinikmati ahli waris namun perhitungannya di sisi Allah menjadi tanggung jawab dirinya, pent) dan dipermalukan oleh timbangan amalnya pada hari dikumpulkan Allah (hari kiamat).”
غَنِيمَةُ الْآخِرَةِ فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: الطَّاعَةِ وَالْبِرِّ وَالْعِصْيَانِ , طَاعَةُ الرَّبِّ وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ وَعِصْيَانُ الشَّيْطَانِ
“Keberuntungan di akhirat itu terletak pada tiga perkara: ketaatan, kebaktian, dan kedurhakaan. Yaitu taat kepada Rabb, berbakti kepada dua orang tua, dan durhaka kepada setan.”
مَنْ أَكْثَرَ ذِكْرَ الْمَوْتِ لَمْ يَمُتْ قَبْلَ أَجَلِهِ , وَيَدْخُلُ عَلَيْهِ ثَلَاثُ خِصَالٍ مِنَ الْخَيْرِ: أَوَّلُهَا الْمُبَادَرَةُ إِلَى التَّوْبَةِ، وَالثَّانِي الْقَنَاعَةُ بِرِزْقٍ يَسِيرٍ، وَالثَّالِثُ النَّشَاطُ فِي الْعِبَادَةِ , وَمَنْ حَرَصَ عَلَى الدُّنْيَا فَإِنَّهُ لَا يَأْكُلُ فَوْقَ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ وَيَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنَ الْعُيُوبِ ثَلَاثُ خِصَالٍ: أَوَّلُهَا أَنْ تَرَاهُ أَبَدًا غَيْرَ شَاكِرٍ لِعَطِيَّةِ اللَّهِ لَهُ , وَالثَّانِي لَا يُوَاسِي بِشَيْءٍ مِمَّا قَدْ أُعْطِيَ مِنَ الدُّنْيَا , وَالثَّالِثُ يَشْتَغِلُ وَيَتْعَبُ فِي طَلَبِ مَا لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ حَتَّى يَفُوتَهُ عَمَلُ الدِّينِ “
“Barangsiapa banyak mengingat kematian, niscaya ia tidak akan mati sebelum ajalnya tiba. Ia akan mendapatkan tiga sifat kebaikan; segera untuk bertaubat, merasa puas dengan rizki yang Allah karuniakan walau sedikit dan rajin beribadah.
Adapun orang yang tamak terhadap kenikmatan dunia, niscaya ia tidak akan makan melebihi rizki yang telah Allah tuliskan untuk dirinya. Ia akan mendapatkan tiga sifat keburukan; engkau senantiasa melihatnya tidak pernah bersyukur atas pemberian Allah kepadanya, tidak pernah menyumbangkan (menginfakkan) sedikit pun kenikmatan dunia yang dikaruniakan Allah kepadanya dan ia senantiasa sibuk serta mencapekkan dirinya dalam mengejar rizki yang tidak Allah tetapkan untuk dirinya, sampai-sampai ia tidak sempat beramal untuk agamanya.”
عَمَلٌ كَالسَّرَابِ، وَقَلْبٌ مِنَ التَّقْوَى خَرَابٌ، وَذُنُوبٌ بِعَدَدِ الرَّمَلِ وَالتُّرَابِ، ثُمَّ تَطْمَعُ فِي الْكَوَاعِبِ اْلأَتْرَابِ؟ هَيْهَاتَ، أَنْتَ سَكْرَانٌ بِغَيرِ شَرَابٍ، مَا أَكْمَلَكَ لَوْ بَادَرْتَ أَمَلَكَ، مَا أَجَلَّكَ لَوْ بَادَرْتَ أَجَلَكَ، مَا أَقْوَاكَ لَوْ خَالَفْتَ هَوَاكَ.
“Amal perbuatan(mu) seperti fatamorgana, hati(mu) kosong dari ketakwaan, dosa-dosa(mu) sebanyak pasir dan debu, tapi kamu hendak mengharapkan bidadari sorga yang montok payudaranya lagi sebaya usianya? Mustahil…mustahil…Engkau ini mabuk (tidak sadar diri) walau tidak minum minuman keras. Alangkah sempurnanya engkau jika saja engkau mendahului angan-anganmu (dengan perbuatan nyata). Alangkah agungnya engkau jika saja engkau mendahului kematianmu (dengan amal-amal kebaikan). Alangkah kuatnya engkau jika saja engkau menyelisihi hawa nafsumu.”
ذَنْبٌ أَفْتَقِرُ بِهِ إِلَيهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ طَاعَةٍ أَفْتَخِرُ بِهَا عَلَيهِ.
“Dosa yang membuatku merasa butuh (kepada ampunan Allah) itu lebih aku sukai daripada ketaatan yang membuatku berbangga diri dengannya.”
لِيَكُنْ حَظُّ الْمُؤْمِنِ مِنْكَ ثَلاَثاً: إِنْ لَمْ تَنْفَعْهُ فَلاَ تَضُرَّهُ، وَإِنْ لَمْ تُفَرِّحْهُ فَلاَ تَغُمَّهُ، وَإِنْ لَمْ تَمْدَحْهُ فَلاَ تَذُمَّهُ.
“Hendaknya bagian seorang mukmin darimu tiga perkara; Jika engkau tidak memberinya manfaat, janganlah engkau memberinya bahaya! Jika engkau tidak bisa membuatnya senang, janganlah engkau membuatnya sedih! Dan jika engkau tidak memujinya, janganlah engkau mencelanya!”
لِلتَّائِبِ فَخْرٌ لاَ يُعَادِلُهُ فَخْرٌ، فَرِحَ اللهُ بِتَوْبَتِهِ.
“Orang yang bertaubat memiliki sebuah kebanggaan yang tidak bisa ditandingi oleh kebanggaan apapun, yaitu Allah gembira dengan taubatnya.”
اللَّيْلُ طَوِيلٌ فَلاَ تُقَصِّرْهُ بِمَنَامِكَ، وَالنَّهَارُ نَقِيٌّ فَلاَ تُدَنِّسْهُ بِآثَامِكَ.
“Waktu malam itu panjang, maka janganlah engkau memendekkannya dengan tidurmu! Waktu siang itu bersih, maka janganlah engkau menodainya dengan dosa-dosamu!”
الدُّنْيَا خَرَابٌ، وَأَخْرَبُ مِنْهَا قَلْبُ مَنْ يُعَمِّرُهَا، وَاْلآخِرَةُ دَارُ عُمْرَانٍ، وَأَعْمَرُ مِنْهَا قَلْبُ مَنْ يَطْلُبُهَا.
“Dunia itu kosong, namun yang lebih kosong darinya adalah hati orang-orang yang meramaikannya (para pemburu kenikmatan dunia semata). Akhirat itu negeri keramaian (kemakmuran), namun yang lebih ramai darinya adalah hati orang-orang yang memburu (kenikmatan abadi di) akhirat.”
عَجِبْتُ مِمَّنْ يَحْزَنُ عَلَى نُقْصَانِ مَالِهِ كَيْفَ لاَ يَحْزَنُ عَلَى نُقْصَانِ عُمْرِهِ؟
“Saya heran kepada orang yang sedih karena hartanya berkurang, kenapa ia tidak bersedih karena umurnya berkurang?”
Nasehat-nasehat emas dan penuh hikmah lainnya yang imam Yahya bin Muadz Ar-Razi sampaikan masih banyak, baik nasehat-nasehat yang ringkas maupun panjang. Sedikit kutipan nasehat beliau di atas semoga menjadi pelajaran yang dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Amien. Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi:
Adz-Dzahabi, Tarikhul Islam, 13/373-375, Beirut: Darul Kitab Al-Arab, cet. 2, 1413 H.
Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam An-Nubala’, 13/15-16, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H.
Ibnul Jauzi Al-Baghdadi Hambali, Al-Muntazham fit Tarikh, 12/148-149, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet. 1, 1412 H.
Ibnul Jauzi Al-Baghdadi Hambali, Shifatus Shafwah, 2/291-296, Kairo: Darul Hadits, cet. 1, 1421 H.
Abu Nu’aim Al-Asbahani, Hilyatul Awliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, 10/51-70, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet. 1, 1409 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)