(Arrahmah.com) – Di abad 14 dan 15 H, hanya sedikit orang yang mampu memadukan antara ilmu dan jihad. Kondisi tersebut sungguh sangat kontras dengan kehidupan kaum muslimin pada masa kejayaannya. Pada masa khilafah islamiyah, ulama adalah mujahid dan mujahid adalah ulama.
Di antara contoh orang yang memadukan antara keutamaan ilmu dan jihad pada masa kejayaan Islam adalah imam Asad bin Furat Abu Abdillah Al-Harrani Al-Maghribi Al-Maliki, seorang ulama besar madzhab Maliki di bumi Afrika pada abad 2 Hijriyah.
***
Imam Asad bin Furat dilahirkan di kota Harran, Syam (Suriah pada saat ini) pada tahun 144 H. Saat menginjak usia remaja, ia berangkat bersama bapaknya, Furat bin Sinan, dalam pasukan Daulah Abbasiyah yang berjihad I benua Afrika.
Meski sejak remaja telah aktif menerjuni kancah jihad di benua Afrika, semangatnya untuk menimba ilmu sangatlah tinggi. Di kota ilmu Qairawan, Tunisia, ia menimba ilmu fiqih kepada imam Ali bin Ziyad At-Tunisi, seorang qadhi (hakim) dan ahli fiqih yang merupakan salah seorang murid senior imam Malik bin Anas.
Pada tahun 172 H ia meninggalkan Qairawan dan melakukan perjalanan ke timur dalam rangka menuntut ilmu. Ia singgah di kota Madinah dan belajar kepada imam Malik bin Anas. Di sinilah ia mendengarkan kitab hadits Al-Muwatha’ dari pengarangnya sendiri, imam Malik.
Setelah belajar di Madinah, ia berangkat ke Irak untuk belajar kepada murid-murid senior imam Abu Hanfah. Di Baghdad, ia mendengar hadits dan belajar fiqih kepada murid-murid senior imam Abu Hanifah seperti qadhi Abu Yusuf, imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dan Asad bin Amru. Murid senior imam Abu Hanifah yang paling sering ia datangi untuk belajar adalah imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.
Di negeri Irak, Asad bin Furat juga belajar hadits kepada sejumlah ulama seperti Yahya bin Abi Zaidah, Jarir bin Abdul Hamid, Husyaim, Abu Syarik, Abu Bakar bin Ayyash dan lain-lain. Ia memadukan antara ilmu fiqih dan hadits. Qadhi Abu Yusuf sendiri meriwayatkan hadits-hadits dalam kitab Muwatha’ karya imam Malik dari Asad bin Furat.
Ketekunan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu syar’i diabadikan oleh tinta emas sejarah selama di ibukota Khilafah Abbasiyah ini. Ia tekun menghadiri majlis ilmu imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani di waktu siang bersama ribuan murid lainnya. Di waktu malam, ia hanya sedikit tidur, rela melawan kantuknya demi menerima pelajaran privat dari sang imam.
Saat tiba di rumah imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, Asad bin Furat berkata, “Saya adalah orang yang datang dari jauh dengan bekal yang terbatas. Saya mendengar hadits dan fiqih dari Anda jarang saja, sementara murid-murid yang belajar kepada Anda sangat banyak. Apa yang harus saya lakukan?”
Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani berkata, “Dengarkanlah pelajaran hadits dan fiqih pada waktu siang bersama orang-orang Irak, saya akan mengkhususkan waktu malam untukmu, sehingga kamu bisa menginap di rumahku dan aku bisa meriwayatkan hadits kepadamu.”
Sejak itu, Asad bin Furat bermalam di rumah imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Setiap malam imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani memberikan pelajaran kepada Asad bin Furat. Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani meletakkan baskom berisi air di sampingnya dan Asad bin Furat duduk di hadapannya untuk menerima pelajaran. Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani pun mulai membacakan pelajaran hadits dan fiqih.
Pelajaran berlangsung lama sejak selesai Isya’ sampai hampir tengah malam. Jika Asad bin Furat mulai capek dan mengantuk, imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani mencelupkan telapak tangannya ke dalam baskom dan mengisinya dengan air, lalu menghamburkan air itu ke wajah Asad bin Furat. Kontan saja Asad bin Furat terkejut, segera sadar dari buaian kantuknya dan kembali mendengarkan pelajaran dengan sungguh-sungguh bercampur malu.
Pelajaran malam itu berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga Asad bin Furat bisa menyelesaikan seluruh pelajaran hadits dan fiqih. Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani sendiri adalah seorang guru yang sangat penyayang dan pengertian dengan kondisi murid privatnya itu. Ketika mengetahui bekal Asad bin Furat telah habis, imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani segera memberinya bekal untuk keperluan hidup sehari-hari.
Suatu kali bekal hidup Asad bin Furat telah habis. Ia tidak memiliki sedikit pun harta untuk membeli sesuap makanan dan seteguk minuman. Tiada daya baginya untuk bertahan hidup, selain dengan meminum air di pinggir jalan. Ketika hal itu diketahui oleh imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, ia segera memberikan uang sebesar 80 dinar kepada Asad bin Furat. Ketika Asad bin Furat hendak kembali pulang ke Qairawan, imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani pula yang memberinya bekal perjalanan.
***
Selain meriwayatkan dan mengajarkan hadits, Asad bin Furat telah menguasai fiqih menurut madzhab Maliki dan Hanafi. Ia belajar fiqih madzhab Maliki dari pendirinya sendiri, imam Malik bin Anas. Ia juga menguasai fiqih madzhab Hanafi dari dua murid senior dan tangan kanan imam Abu Hanifah, yaitu qadhi Abu Yusuf dan imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Di Baghdad, Asad bin Furat membukukan fiqih madzhab Hanafi.
Selesai menimba ilmu di Baghdad, Asad bin Furat kembali ke Qairawan di ujung Barat benua Afrika. Ia singgah di Mesir. Di negeri ini, ia mendatangi murid senior imam Malik bin Anas, imam Abdullah bin Wahb yang telah berguru selama 20 tahun kepada imam Malik. Kepadanya, Asad bin Furat menyodorkan fiqih madzhab Hanafi dan memintanya untuk menerangkan fiqih madzhab Maliki dalam persoalan-persoalan yang dibahas oleh imam Abu Hanifah. Imam Abdullah bin Wahb menolak permintaannya.
Asad bin Furat tidak patah semangatnya. Ia mendatangi murid senior imam Malik bin Anas yang lainnya, yaitu imam Abdurrahman bin Qasim Al-Itaqi yang juga telah berguru 20 tahun kepada imam Malik. Imam Abdurrahman bin Qasim bersedia menjawab semua persoalan fiqih yang diajukan kepadanya berdasar ilmu fiqih dan kaedah-kaedah fiqih yang ia terima dari imam Malik. Dengan tekun, Asad bin Furat membukukan jawaban tersebut. Jawaban tersebut kemudian dikenal sebagai Al-Masail Al-Asadiyah, dan menjadi pelopor karya fiqih madzhab Maliki di benua Afrika belahan Barat dan Utara.
Kembali ke Qairawan, Tunisia, Asad bin Furat menjadi seorang ulama besar dan mufti tempat masyarakat Islam mencari jawaban atas persoalan-persoalan agama. Para ulama hadits dan fiqih di Afrika pada masa tersebut seperti imam Sahnun bin Sa’id, Amru bin Wahb, Sulaiman bin Imran, Ibnu Minhal dan lain-lain belajar kepadanya.
Gubernur Afrika dari Khilafah Abbasiyah, Ziyadatullah bin Aghlab mengangkat Asad bin Furat dan Abu Muhriz Al-Kannani sebagai qadhi di Qairawan pada tahun 203 H. Asad bin Furat menjalankan tugasnya sebagai ulama, mufti dan qadhi sampai tahun 212 H. Pada tahun 212 H, gubernur Ziyadatullah bin Aghlab memberangkat pasukan jihad untuk memerangi kerajaan Sicilia yang berkomplot dengan imperium Romawi dan membatalkan perjanjian damai secara sepihak.
Sang ulama, mufti dan qadhi Qairawan, Asad bin Furat Al-Faqih menawarkan dirinya menjadi komandan angkatan laut kaum muslimin. Tawaran itu disetujui gubernur dan Asad bin Furat segera diangkat sebagai panglima perang. Ia memimpin angkatan laut berkekuatan 12.000 mujahid, di antaranya adalah 900 prajurit berkuda.
Keberaniannya sebagai prajurit dan keahliannya sebagai panglima perang dicatat dengan tinta emas sejarah. Qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshabi menulis tentang Asad bin Furat, “Selain memiliki ilmu dan fiqih yang mendalam, ia adalah seorang pemberani jagoan perang.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, 3/304)
Salah seorang prajurit Islam dalam perang tersebut, Sulaiman bin Salim menurutkan kesaksiannya, “Aku menyaksikan Asad bin Furat menghadapi raja Sicilia yang membawa 150 ribu prajurit. Aku melihat Asad, tangannya mengibarkan panji Islam sembari membaca surat Yasin. Ia membangkitkan semangat kaum muslimin, lalu maju menggempur musuh dan kaum muslimin menyusulnya. Maka Allah mengalahkan pasukan Nasrani. Kulihat darah Asad membasahi tiang panji di tangannya.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, 3/306)
Sejarawan Islam dan ulama hadits, imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi berkata, “Disamping memiliki ilmu yang luas, ia adalah seorang prajurit berkuda, jagoan perang, dan pemberani. Raja Sicilia memeranginya dengan membawa 150.000 prajurit.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 10/227)
Ia berhasil mengalahkan musuh dan menaklukkan pulau Sicilia, padahal pasukannya hanya berjumlah 12.000 prajurit melawan 150.000 prajurit Kristen Eropa. Keberanian dan keahliannya di medan jihad segera menyebar ke seantero Afrika dan Eropa Selatan. Nyali musuh-musuh Islam ciut setiap kali mendengar namanya disebut.
Perjalanan jihadnya tidak berhenti dengan kemenangan di pulau Sicilia, karena pasukan Kristen Romawi Timur, kepulauan Italia dan Spanyol mengobarkan pertempuran lanjutan. Dalam peperangan lanjutan, Asad bin Furat menaklukkan beberapa pulau besar di Italia Selatan seperti Mazara dan beberapa pulau besar di Spanyol.
Pulau Sardinia di Italia Selatan hampir saja ia taklukkan setelah dilakukan peperangan dan pengepungan yang ketat. Qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshabi menulis bahwa beberapa perwira Islam dari Afrika yang iri dengan kesuksesan jihad Asad bin Furat melakukan pengkhianatan yang berujung terlepasnya Sardinia dari kekuasaan pasukan Asad bin Furat.
Setelah menghabiskan dua tahun terakhir usianya dari satu medan jihad ke medan jihad lainnya di kepulauan Italia Selatan dan Spanyol, sang qadhi dan jendral pemberani Asad bi Furat akhirnya gugur sebagai syahid pada bulan Rabi’ul Akhir 213 H saat mengepung kota benteng Zaragosa, Spanyol. Kuburan dan masjidnya di pulau Sicilia masih dirawat sampai saat ini. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya yang luas kepada sang ulama, mufti, qadhi dan jendral yang gugur dalam mendakwahkan Islam di Italia Selatan dan Spanyol ini.
Saudaraku seislam dan seiman…
Sungguh mulia kehidupan imam Asad bin Furat Al-Maliki yang telah memadukan keutamaan ilmu dan jihad. Sungguh tepat apa yang dinyatakan oleh imam Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah rahimahullah:
أَقْرَبُ النَّاسِ مِنْ دَرَجَةِ النُّبُوَّةِ , أَهْلُ الْعِلْمِ وَأَهْلُ الْجِهَادِ» قَالَ: «فَأَمَّا أَهْلُ الْعِلْمِ , فَدَلُّوا النَّاسَ عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ , وَأَمَّا أَهْلُ الْجِهَادِ فَجَاهَدُوا عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الرُّسُلُ»
“Manusia yang paling dekat dengan kedudukan kenabian adalah ulama dan mujahid. Adapun ulama, mereka menunjukkan (mengajarkan) ajaran para rasul kepada masyarakat. Adapun mujahidin, mereka berjihad demi (membela dan menegakkan) ajaran para rasul.” (Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, 1/148)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Refrensi:
- Qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshabi, Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, 3/291-309, Maghrib: Maktabah Fadhalah, cet. 1, 1966 M.
- Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’, 10/225-228, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)