(Arrahmah.com) – Imam Al-Ashma’i menuturkan sebuah kisah yang mengandung banyak pelajaran bagi kaum muslimin. Ini adalah kisah tentang dialog antara ulama besar Tabi’in, Atha’ bin Abi Rabah dan khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Saat itu khalifah Abdul Malik bin Marwan tengah menunaikan haji ke Makkah. Di dalam tendanya yang besar dan megah, Abdul Malik duduk di atas dipan yang indah, sementara para pejabat tinggi negara duduk di hadapannya.
Tiba-tiba Atha’ bin Abi Rabah meminta izin dan masuk ke dalam kemah khalifah. Melihat kedatangan sang imam, Abdul Malik segera bangkit dari duduknya dan menyambut sang imam dengan hangat. Dituntunnya sang imam ke atas dipannya dan didudukkannya di di samping dirinya.
“Wahai Abu Muhammad, apa keperluan Anda?” tanya khalifah.
Sang imam menjawab, “Wahai amirul mukminin, bertakwalah kepada Allah di negeri yang diharamkan oleh Allah dan diharamkan oleh Rasul-Nya, berjanjilah untuk memakmurkan negeri ini!”
“Wahai amirul mukminin, bertakwalah kepada Allah tentang nasib anak-anak kaum muhajirin dan Anshar! Sesungguhnya Anda bisa menduduki kedudukan ini lantaran jasa mereka.”
“Wahai amirul mukminin, bertakwalah kepada Allah tentang nasib mujahidin yag berjaga-jaga di daerah perbatasan dengan musuh! Karena mereka adalah benteng yang melindungi kaum muslimin.”
“Wahai amirul mukminin, carilah selalu berita tentang keadaan kaum muslimin! Karena Anda seorang yang akan dimintai pertanggung jawaban atas kehidupan mereka.”
“Wahai amirul mukminin, bertakwalah kepada Allah tentang orang-orang yang berada di depan pintu Anda! Janganlah Anda melalaikan nasib mereka dan jangan pula Anda menutup pintu Anda dari mereka!”
Abdul Malik mendengar semua nasehat sang imam dengan seksama, kemudian menjawab, “Ya, akan saya lakukan.”
Sang imam lalu bangkit dan hendak keluar dari kemah. Namun Abdul Malik memegang tangannya dan berkata, “Wahai Abu Muhammad, Anda meminta kepada kami untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang lain. Kami akan memenuhinya. Namun Anda sendiri belum menyebutkan kebutuhan Anda?”
“Saya tidak memerlukan sesuatu kepada makhluk,” jawab sang imam, lalu keluar meninggalkan tenda besar amirul mukminin.
Melihat kepergian sang imam, khalifah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, inilah kemuliaan yang sebenarnya. Inilah kepemimpinan yang sebenarnya.”
***
Saudaraku seislam dan seiman…
Kisah di atas mengajarkan kepada kita sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang ulama dan penguasa. Selain memiliki ilmu yang mendalam, seorang ulama haruslah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap nasib negeri Islam dan kaum muslimin dari berbagai lapisan masyarakatnya. Demi memperjuangkan nasib mereka, seorang ulama berani menemui penguasa, menasehati mereka akan besarnya tanggung jawab yang harus mereka emban dan menegur mereka jika mereka tidak sungguh-sungguh memperbaiki kehidupan rakyatnya.
Seorang ulama mendahulukan kepentingan kaum muslimin atas kepentingan dirinya sendiri. Ia berjuang bukan untuk meraih nama, kehormatan, jabatan, fasilitas dan kenikmatan hidup duniawi lainnya. Ia menyuarakan kebenaran meski bertentangan dengan kepentingan penguasa. Ia tidak menjilat kepada penguasa dengan membenarkan kezaliman mereka demi meraih sedikit kenikmatan hidup duniawi yang dimiliki oleh penguasa.
وَآمِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ (41) وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (42)
Dan berimanlah kalian kepada apa yang telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa yang ada pada kalian (Taurat dan Injil), dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kalian harus bertakwa. Dan janganlah kalian mencampur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kalian menyembunyikan kebenaran, padahal kalian mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 41-42)
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. (QS. Ali Imran [3]: 199)
Adapun seorang penguasa haruslah dekat dengan para ulama dan mau menerima nasehat mereka, sekalipun nasehat tersebut terasa pahit dan berat dilaksanakan, selama nasehat tersebut selaras dengan kebenaran dan merealisasikan kemaslahatan bagi kaum muslimin.
Seorang penguasa bertanggung jawab memperhatikan dan memenuhi kebutuhan seluruh lapisan rakyatnya, terlebih orang-orang yang memiliki jasa terhadap Islam dan kaum muslimin, serta orang-orang yang lemah dan membutuhkan bantuan. Pemimpin yang tidak mau peduli dan tidak mau memenuhi kebutuhan rakyatnya telah diancam oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dengan ancaman yang keras.
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ، إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang diangkat oleh Allah sebagai pemimpin atas sebuah rakyat, lalu ia tidak menjaga rakyatnya dengan tulus, melainkan ia tidak akan mencium baunya surga.” Dan dalam riwayat Muslim dengan lafal:
«مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ، ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ، إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ»
“Tidak ada seorang pemimpin pun yang memegang urusan kaum muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh (mengurusi kebutuhan mereka) dan tidak tulus (mengurusi kebutuhan mereka) melainkan ia tidak akan masuk surga bersama kaum muslimin.” (HR. Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142)
Para pemimpin yang zalim, korup, menipu rakyat dan mementingkan kepentingan dirinya, keluarganya dan kelompoknya sendiri atas kepentingan rakyat mendapat ancaman yang sangat berat dari Allah dan Rasul-Nya.
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنَ المُسْلِمِينَ، فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ، إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ»
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang memimpin sebuah rakyat dari kalangan kaum muslimin, lalu ia meninggal dalam keadaan berbuat curang (menipu) terhadap mereka, melainkan Allah mengharamkan surga atas dirinya.” (HR. Bukhari no. 7151 dan Muslim no. 142)
عَنْ أَبِي مَرْيَمَ الْأَزْدِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ، وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ، احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ، وَفَقْرِهِ»
Dari Abu Maryam Al-Azdi berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Barangsiapa yang diangkat oleh Allah azza wa jalla sebagai pemimpin atas suatu urusan kaum muslimin, lalu ia menutup diri (tidak peduli dan tidak memenuhi) terhadap kebutuhan, kesulitan dan kemiskinan mereka, niscaya Allah akan menutup diri (tidak peduli dan tidak memenuhi) terhadap kebutuhan, kesulitan dan kemiskinan pemimpin tersebut (pada hari kiamat, seperti dalam riwayat Al-Baihaqi).” (HR. Abu Daud no. 2948, Al-Hakim no. 7027 dan Al-Baihaqi no. 20258, hadits shahih)
Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber kisah:
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam An-Nubala’, 5/84, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)