(Arrahmah.com) – Humaid bin Hilal mengisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang shalih dan ahli ibadah bernama Aswad bin Kutsum Al-Adawi, dari suku Adi Ar-Rabbab. Ia sangat menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah.
Jika berjalan, pandangan matanya tertuju kepada kedua telapak kakinya sendiri. Pada waktu itu terkadang kaum wanita menyapu teras atau halaman rumahnya dengan jilbab yang tidak terikat dengan kuat. Meski begitu, Aswad bin Kultsum tidak pernah terpengaruh sedikit pun. Ia sama sekali tidak menoleh kepada mereka. Sampai-sampai kaum wanita di pingitan pun mengetahui kemasyhuran berita itu. “Oh, pantas, itu adalah Aswad bin Kultsum,” kata mereka.
Saat itu sedang terjadi pertempuran sengit antara pasukan Islam dengan pasukan Majusi Persia di Sijistan, Asbahan dan Khurasan. Gubernur Basrah, Abdullah bin Amir mengirim sebuah pasukan Islam ke wilayah Baihaq dan mengangkat Aswad bin Kutsum sebagai komandan pasukan perintisnya.
Sebelum berangkat perang, Aswad bin Kultsum melakukan introspeksi diri. Ia berdoa kepada Allah Ta’ala,
«اللَّهُمَّ، إِنَّ هَذِهِ النَّفْسَ تَزْعُمُ فِي الرَّخَاءِ أَنَّهَا تُحِبُّ لِقَاكَ، فَإِنْ كَانَتْ صَادِقَةً؛ فَارْزُقْهَا ذَاكَ، وَإِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً؛ فَاحْمِلْهَا عَلَيْهِ وَإِنْ كَرِهَتْ؛ فَاجْعَلْ ذَلِكَ قَتْلًا فِي سَبِيلِكَ، وَأَطْعِمْ لَحْمِي سِبَاعًا وَطَيْرًا»
“Ya Allah, jiwaku ini mengklaim dalam kondisi lapang bahwa ia mencintai perjumpaan dengan-Mu. Jika jiwaku itu jujur, maka karuniakanlah ia perjumpaan dengan-Mu. Namun jika jiwaku itu dusta, maka doronglah ia kepada perjumpaan dengan-Mu sekalipun ia tidak menyukainya. Jadikanlah ia gugur di jalan-Mu dan jadikanlah dahingku sebagai makanan bagi binatang buas dan burung.”
Aswad bin Kultsum membawa sebuah pasukan kecil ke garis depan untuk mengumpulkan informasi tentang kekuatan, posisi dan taktik pasukan musuh. Di sebuah tempat di Baihaq, mereka menemukan sebuah kebun yang dikelilingi oleh tembok. Mereka memasuki kebun tersebut, ternyata di tembok kebun itu ada sebuah lobang untuk keluar dan masuk.
Rupanya pergerakan pasukan perintis itu telah dimata-matai oleh pasukan musuh. Mereka segera mengepung kebun itu dengan pasukan besar. Dari lubang di tembok kebun, pasukan perintis itu menyadari bahwa mereka telah terjebak dan dikepung oleh musuh. Tidak ada pilihan selain bertempur dengan gagah berani sampai Allah member keputusan; menang atau syahid.
Aswad bin Kultsum turun dari kudanya. Tangannya segera menampar wajah kudanya. Kuda itu sangat terkejut, sehingga ia meringkik dengan keras, kemudian lari keluar kebun meninggalkan pemiliknya. Rupanya Aswad menginginkan kudanya kembali ke perkemahan induk pasukan Islam. Aswad sendiri segera menuju genangan air yang biasa dipergunakan untuk mengairi tanaman dalam kebun itu. Ia segera berwudhu dan melaksanakan shalat dua raka’at.
Segala gerak-gerik Aswad dan pasukannya tidak luput dari pantauan musuh di luar kebun. “Inilah cara pasrah orang-orang Arab,” komentar pasukan musuh. Usai melaksanakan shalat, Aswad dan pasukan kecilnya segera menyerbu pasukan musuh. Mereka berperang dengan gagah berani dan merobohkan banyak prajurit musuh. Setelah bertempur seharian, satu per satu anggota pasukan itu gugur. Menjelang matahari terbenam, mereka semua telah gugur. Pasukan musuh merayakan kemenangan mereka dan kembali ke perkemahan mereka.
Berita gugurnya Aswad bin Kultsum dan regu perintis akhirnya disampaikan kepada gubernur Abdullah bin Amir. Ia segera mengangkat Adham bin Kultsum, saudara kandung dari Aswad bin Kultsum, untuk memimpin dan melanjutkan tugas pasukan perintis. Adham bin Kultsum berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia memimpin pasukan Islam mengalahkan pasukan Persia dan menaklukkan Baihaq.
Dalam perjalanan pulang dari pertempuran di Baihaq, pasukan Adham bin Kultsum melewati kebun tempat gugurnya Aswad dan anggota regu perintis. Sebagian pasukan Islam berkata kepada Adham bin Kultsum, “Tidakkah sebaiknya engkau masuk ke dalam kebun dan melihat sisa-sisa tulang belulang saudaramu untuk engkau kuburkan.”
Adham bin Kultsum tersenyum mendengar saran itu. Meski demikian ia menolaknya, karena ia mengetahui saudaranya telah berdoa kepada Allah agar jasadnya dikuburkan dalam perut binatang buas dan burung pemakan daging. Adham bin Kultsum menjawab,
«مَا أَنَا بِفَاعِلٍ شَيْئًا دَعَا بِهِ أَخِي فَاسْتُجِيبَ لَهُ»
“Aku tidak akan melakukan suatu hal yang saudaraku telah berdoa kepada Allah dan doanya dikabulkan.”
Imam Ibnul Jauzi dalam Al-Muntazham fi Tarikhil Muluk wal Umam, 7/118 dan imam Ibnu Atsir Al-Jazri dalam Al-Kamil fit Tarikh, 2/494 mencatat bahwa Adham bin Kultsum akhirnya memasuki kebun itu untuk mengumpulkan jenazah para syuhada’. Ia memakamkan mereka semua. Namun ia tidak mencari sisa-sisa jasad saudaranya.
Saudaraku seislam dan seiman…
Berbeda dengan imam Ibnul Jauzi Al-Hambali dan Ibnu Atsir Al-Jazri yang meriwayatkan kisah kisah Aswad bin Kultsum di atas dalam buku sejarah, imam Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan bin Qais Al-Bagdadi atau lebih popular dengan nama panggilan Ibnu Abi Dunya (wafat tahun 281 H) justru meriwayatkannya dalam bukunya, Muhasabatun Nafsi.
Imam Ibnu Abi Dunya seakan hendak mengingatkan kita bahwa kisah di atas bukan sekedar peristiwa sejarah belaka. Ada banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah itu, dan salah satunya adalah muhasabatun nafsi, introspeksi diri. Setiap muslim harus senantiasa melakukan muhasabah baik sebelum beramal, saat beramal maupun sesudah beramal.
Di hari terakhir bulan suci Ramadhan ini, kita sudah selayaknya melakukan muhasabah. Kita hendaknya mengevaluasi diri; sudah sejauh mana kita mengisi bulan Ramadhan ini dengan amalan wajib dan sunnah? Sudah sejauh mana kita menjauhi dosa dan kesalahan selama bulan Ramadhan ini? Sudah pantaskah kita mendapatkan predikat takwa yang sebenarnya? Sudah sejauh mana kita membersihkan diri kita dan harta kita? Dan tentu saja yang lebih penting lagi adalah sudah sejauh manakah kita merencanakan kehidupan Islami yang lebih baik lagi setelah Ramadhan berlalu? Sudah sejauh manakah kita merancang keistiqamahan pasca Ramadhan?
Semoga kita bisa meneladani Aswad bin Kultsum. Jika belum mampu membuktikan keseriusan ibadah kita kepada Allah dengan mengorbankan nyawa kita di jalan-Nya, setidaknya kita mampu menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran, ilmu, amal dan harta kita di jalan-Nya. Semoga Allah memudahkannya bagi kita semua. Esok hari setelah selesai melaksanakan shalat Idul Fitri, terimalah ucapan yang tulus dari saudara muslim Anda ini: “Taqabbalallahu minna wa minkum.”
Wallahu a’lam bish-shawab
(muhib almajdi/arrahmah.com)