(Arrahmah.com) – Orang-orang shalih sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, sahabat radhiyallahu ‘anhum, tabi’in, tabi’it tabi’in dan generasi setelah mereka sampai akhir zaman nanti dikenaI sebagai orang-orang yang hatinya “bergantung” dengan masjid. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa memakmurkan masjid dan menjaga pelaksanaan shalat wajib berjama’ah di masjid di awal waktu.
Inilah kisah ketauladanan seorang penghulu ulama tabi’in, ulama senior Madinah dan menantu sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang bernama imam Sa’id bin Musayyib bin Hazn Al-Makhzumi Al-Qurasyi Abu Abdillah. Kedalaman ilmunya dan keshalihan amalnya membuatnya dijuluki sebagai sayyidut tabi’in (pemimpin generasi tabi’in), faqihul fuqaha’ (pemimpin seluruh ulama fiqih) dan ‘alimul ‘ulama’ (gurunya seluruh ulama).
Imam Sa’id bin Musayib begitu antusias dalam menjaga shalat berjama’ah di masjid di awal waktu, sampai-sampai selama empat puluh tahun penuh ia telah memasuki masjid sebelum muadzin mengumandangkan adzan. Bard maula Sa’id bin Musayib berkata, “Tidaklah dikumandangkan panggilan untuk shalat selama empat puluh tahun, kecuali Sa’id bin Musayyib telah berada di masjid.”
Abu Harmalah meriwayatkan dari Said bin Musayib bahwa ia berkata, “Aku tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah selama empat puluh tahun.”
Utsman bin Hakim meriwayatkan dari Said bin Musayib bahwa ia berkata, “Tidaklah seorang muadzin mengumandangkan adzan selama tiga puluh tahun, melainkan aku telah berada di dalam masjid.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4/221)
Inilah kisah ketauladanan dari seorang ulama tabi’in dan ahli ibadah dari Damaskus yang gugur di medan jihad di Afrika, imam Rabi’ah bin Yazid Abu Syu’aib Al-Iyadi Ad-Dimasyqi yang terkenal dengan julukan Al-Qashir. Abdurrahman bin Amir berkata: “Aku telah mendengar Rabi’ah bin Yazid berkata: “Tidaklah muadzin mengumandangkan adzan shalat Zhuhur sejak empat puluh tahun yang lalu, melainkan aku sudah berada dalam masjid, kecuali saat aku sakit atau bepergian jauh.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 5/240)
Tidak heran apabila Allah Azza wa Jalla memuliakan sang imam semasa hidup maupun sesudah meninggalnya. Imam yang shalih ini gugur dalam jihad di Afrika, saat pasukan Islam yang dikomandani oleh Kultsum bin Iyadh berperang melawan kaum musyrik Barbar pada tahun 123 H.
Inilah kisah ketauladanan seorang ulama besar hadits dan pakar ilmu al-jarh wat ta’dil yang kesohor, imam Yahya bin Sa’id Al-Qathan Abu Sa’id At-Tamimi Al-Bashri. Ia seorang ulama besar hadits pada abad dua hijriyah, yang digelari oleh para sejarawan dan ulama hadits sebagai al-imam al-kabir (ulama besar) dan amirul mu’minin fil hadits (khalifah kaum muslimin di bidang hadits).
Yahya bin Sa’id Al-Qathan dikenal sebagai ulama yang ahli ibadah. Seorang muridnya yang juga ulama hadits, Bundar bercerita: “Saya telah belajar kepada Sa’id bin Yahya selama lebih dari dua puluh tahun. Selama itu, aku tidak pernah melihatnya berbuat maksiat walau hanya sekali.”
Ulama besar di bidang hadits yang juga pakar di bidang jarh wat ta’dil, imam Yahya bin Ma’in berkata: “Selama dua puluh tahun, Yahya bin Sa’id selalu mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malam.”
Adapun kesungguhannya dalam menjaga shalat berjama’ah di masjid, imam Yahya bin Ma’in menuturkan, “Sesungguhnya Yahya bin Ma’in tidak pernah luput dari tergelincirnya matahari (shalat Zhuhur berjama’ah) di masjid selama empat puluh tahun.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 9/181)
Subhanallah. Seorang ulama yang begitu menjaga shalat berjama’ah di masjid selama hidupnya. Dan tahukah Anda, bagaimana kisah meninggalnya sang imam? Sungguh Allah Azza wa Jalla telah memuliakannya saat ia hidup dan ia meninggal.
Inilah saksi hidup peristiwa mulia tersebut, Ali bin Abdullah yang menuturkannya sendiri. Katanya, “Kami sedang bersama dengan Yahya bin Sa’id Al-Qathan di dalam masjid. Ketika ia keluar dari masjid, kami pun ikut keluar bersamanya. Ketika telah sampai di pintu rumahnya, Yahya bin Sa’id berhenti. Kami pun ikut berhenti. Tiba-tiba ada seorang pengemis datang kepadanya. Melihat kehadiran pengemis itu, Yahya berkata kepada kami, “Masuklah kalian ke dalam rumah!”
“Kami pun masuk ke dalam rumahnya. Kepada pengemis itu, Yahya berkata: ‘Bacalah!” Maka pengemis itu mulai membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Aku lihat wajah Yahya berubah khusyu’ oleh bacaan si pengemis. Tatkala bacaan pengemis itu sampai pada ayat:
{إِنَّ يَوْمَ الفَصْلِ مِيْقَاتُهُم أَجْمَعِيْنَ}
“Sesungguhnya hari keputusan (hari kiamat) adalah hari yang dijanjikan bagi mereka semua.” (QS. Ad-Dukhan [44]: 40)
Yahya menjerit keras, terjatuh dan tak sadarkan diri. Saat itu Yahya terjatuh ke dekat pintu. Tiba-tiba pintu yang rapuh itu ikuut terjatuh dan menimpa punggung Yahya hingga berdarah. Kaum wanita dalam rumahnya menjerit melihat hal itu. Kami pun segera keluar rumah dan mendapati keadaan Yahya yang pingsan dengan punggung berdarah.
Setelah disadarkan beberapa saat lamanya, Yahya akhirnya siuman. Ia segera diangkat ke atas ranjang. Kami kembali masuk ke dalam rumah untuk menengoknya. Dalam keadaan tertidur di atas ranjang, mulutnya masih mengulang-ulang ayat:
{إِنَّ يَوْمَ الفَصْلِ مِيْقَاتُهُم أَجْمَعِيْنَ}
“Sesungguhnya hari keputusan (hari kiamat) adalah hari yang dijanjikan bagi mereka semua.” (QS. Ad-Dukhan [44]: 40)
Ia terus mengulang-ulang ayat itu sampai menghembuskan nafas yang terakhir. Semoga Allah merahmatinya.”
Kesungguhan orang-orang shalih untuk menghadiri shalat jama’ah di masjid tidak terbatas saat mereka dalam kondisi sehat dan lapang semata. Mereka bahkan tetap memaksakan diri untuk menghadiri shalat jama’ah di masjid meskipun mereka mengalami sakit keras.
Inilah kisah ketauladanan dari seorang ulama tabi’in yang ahli ibadah, imam Amir bin Abdullah bin Zubair bin Awwam Al-Asadi. Beliau adalah seorang ulama rabbani dan ahli ibadah di kota Madinah. Bapaknya adalah Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, seorang khalifah dan ulama dari kalangan sahabat junior. Kakeknya adalah Zubair bin Awwam radhiyallahu ‘anhu, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dari jalur ibu dan sekaligus seorang sahabat yang dijamin masuk surge.
Ulama rabbani yang lahir dari keturunan sahabat yang mulia ini sangat tekun menjaga shalat berjama’ah di masjid. Pada saat ia sakit keras yang menyebabkannya meninggal, ia masih sempat mendengar kumandang adzan Magrib dari masjid nabawi. Ia pun memerintahkan kepada keluarganya untuk memapahnya ke masjid.
“Bawalah aku ke masjid!”
“Engkau sedang sakit keras.” jawab keluarganya.
“Bagaimana aku mendengar panggilan Allah lalu aku tidak mendatanginya?” tukas Amir bin Abdullah.
Dengan terpaksa keluarganya memapahnya ke masjid. Ia memaksakan berdiri di tengah shaf bersama jama’ah lainnya. Ia masih mampu mengikuti bacaan dan gerakan imam sampai raka’at pertama. Tatkala imam dan seluruh ma’mum lainnya bangkit untuk raka’at kedua, Amir bin Abdullah tidak mampu bangkit lagi. Allah telah memanggil ruhnya untuk selamanya. Ia meninggal dalam keadaan sujud kepada Allah di tengah shaf, di masjid nabawi yang diberkahi. Subhanallah! (Siyar A’lam An-Nubala’, 5/220)
Dan inilah kisah ketauladanan dari seorang ulama tabi’in senior, Rabi’ bin Khutsaim bi bin A’idz Abu Yazid Ats-Tsauri. Ia seorang ulama dan ahli ibadah di kota Kufah. Keshalihan, ketekunan ibadah dan kedalaman ilmunya diakui oleh ulama senior sahabat. Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata kepadanya, “Wahai Abu Yazid, sekiranya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam melihatmu, pasti beliau akan mencintaimu. Tidaklah aku melihatmu, melainkan aku teringat akan orang-orang yang tekun beribadah.”
Pada masa tuanya, Rabi’ bin Khutsaim mengalami lumpuh separoh badannya. Meski demikian ia tetap memaksakan diri untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Ia meminta keluarganya untuk memapah dirinya ke masjid.
Orang-orang berkata, “Wahai Abu Yazid, shalatlah di rumah saja! Anda telah mendapatkan keringanan untuk shalat di rumah.”
“Benar, aku memang mendapatkan keringanan untuk shalat di rumah. Tapi aku masih bisa mendengar seruan muadzin hayya ‘alash shalah..hayya ‘alal falah (marilah menuju shalat…marilah menuju keberuntungan). Jika kalian masih bisa mendatangi seruan hayya ‘alash shalah..hayya ‘alal falah, maka datangilah meski dengan merangkak!” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4/260)
Saudaraku seislam dan seiman…
Orang-orang shalih terdahulu telah memberikan ketauladanan nyata kepada kita bagaimana mengamalkan firman Allah Azza wa Jalla:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang pasti termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah [9]: 18)
Mereka juga telah memberikan ketauladanan nyata kepada kita bagaimana menjadi orang-orang yang hatinya selalu bergantung dengan masjid, merindukan masjid dan shalat jama’ah serta amal-amal kebaikan yang memakmurkan masjid.
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: …وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي المَسَاجِدِ،
“Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya: “…dan orang yang hatinya selalu bergantung dengan masjid.” (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟» قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ»
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian perbuatan yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan dan meninggikan derajat-derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Yaitu menyempurnakan wudhu atas bagian-bagian yang tidak disukai jika terkena air (karena air yang sangat dingin atau anggota badan yang sakit), banyak berjalan ke masjid, dan menunggu dari satu shalat ke shalat berikutnya di masjid. Itulah ribath (berjaga-jaga), itulah ribath (berjaga-jaga).” (HR. Muslim no. 251, Ibnu Majah no. 427 dan Ahmad no. 8021)
Saudaraku seislam dan seiman….
Mari kita jadikan bulan suci Ramadhan ini sebagai titik start perbaikan diri kita dalam menjaga shalat lima waktu secara berjama’ah di masjid. Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib almajdi/arrahmah.com)