(Arrahmah.com) – Harun Ar-Rasyid bin Muhammad Al-Mahdi bin Abdullah Al-Manshur Al-Abbasi Al-Hasyimi Al-Qurasyi adalah salah seorang khalifah yang paling menonjol dalam sejarah Daulah Abbasiyah, bahkan sejarah khilafah Islamiyah secara umum.
Meski bapak, saudara dan kakeknya adalah para khalifah daulah Abbasiyah, kebesaran nama Harun Ar-Rasyid tidaklah disebabkan oleh faktor keturunan bangsawan dan lingkungan hidup istana. Kebesaran namanya dalam sejarah Islam disebabkan oleh ilmu dan amalnya, jihad dan hajinya, shalat dan infaknya, keadilan dan kepemimpinannya.
Harun Ar-Rasyid dikenal dengan nama panggilan Abu Ja’far. Ia dibaiat sebagai khalifah pada bulan Rabi’ul Awal 170 H pada hari meninggalnya saudaranya, khalifah Musa Al-Hadi. Pada malam itu pula lahir seorang anaknya, yang kemudian diberi nama Al-Mahdi. Hari itu Harun Ar-rasyid mendapat dua kabar gembira; jabatan khilafah dan lahirnya seorang putra. Sampai-sampai saat itu dikatakan: “Hari ini lahir seorang calon khalifah, diangkat seorang khalifah dan meninggal seorang khalifah.”
Imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi menulis, “Setelah menjabat khilafah dengan meninggalnya saudaranya pada tahun 170 H, Harun Ar-Rasyid merupakan penguasa yang paling baik perjalanan hidupnya, paling banyak berjihad dan berhaji dengan jiwanya sendiri.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 14/28)
Di antara sisi-sisi kehidupan Harun Ar-Rasyid yang menjadikannya sebagai pemimpin paling terkenal dan menonjol dalam sejarah daulah Abbasiyah adalah:
Shalat wajib berjama’ah. Harun Ar-Rasyid senantiasa mengimami kaum muslimin shalat lima waktu secara berjama’ah di masjid jami’ di Baghdad, kecuali jika ia tengah berangkat haji atau berjihad.
Shalat sunnah. Setiap hari ia melaksanakan shalat sunnah sebanyak 100 raka’at, sampai ia meninggal dunia, kecuali saat ia sakit.
Sedekah. Setiap hari Harun Ar-Rasyid bersedekah sebanyak 1000 dirham dari harta kekayaannya sendiri.
Haji dan menghajikan orang lain. Harun Ar-Rasyid melaksanakan haji setiap dua tahun sekali. Jika ia berangkat haji, maka ia juga menghajikan 100 orang ulama dan anak-anak mereka. Jika ia sedang tidak berangkat haji, maka ia menghajikan 300 orang ulama dan anak-anak mereka.
Kecintaan kepada ilmu dan sastra. Harun Ar-Rasyid sangat mencintai ilmu agama dan ilmu sastra. Ia dekat dengan para ulama fiqih dan para penyair. Ia gemar memberikan banyak sedekah kepada para fuqaha’ dan penyair.
Rasa takut kepada Allah. Setiap kali ia mendengar ulama membacakan sebuah hadits yang mengandung nasehat yang menyentuh, ia menangis karena rasa takutnya kepada Allah. Ia juga sering menangis apabila mendengar nasehat para ulama dan orang shalih seperti Ibnu Simak, Fudhail bin Iyadh, Abul ‘Atahiyah dan lain-lain.
Menghormati ilmu dan ulama. Harun Ar-Rasyid biasa mengundang para ulama untuk mendengarkan hadits dari mereka. Suatu hari ia mengundang ulama hadits, Abu Muawiyah Muhammad bin Khazim Ad-Dharir. Setelah mendengarkan hadits, Harun menjamu makan sang ulama. Selesai makan, Harun-lah yang mencuci tangan sang ulama. Harun mengatakan, “Saya hanya ingin memuliakan ilmu.”
Memelihara kemurnian agama dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Harun Ar-Rasyid memegang teguh kemurnian Islam, menolak berbagai bid’ah dalam agama, memuliakan orang-orang shalih yang taat kepadda as-sunnah dan membenci para pelaku bid’ah. Harun Ar-Rasyid hampir saja menghukum mati pamannya sendiri karena pamannya itu menggugat hadits shahih yang diriwayatkan oleh ulama hadits, Abu Muawiyah Muhammad bin Khazim Ad-Dharir. Harun Ar-Rasyid menghukum orang-orang Syiah Rafidhah yang membenci dan mencaci maki sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Khathab. Harun Ar-Rasyid pernah menghukum mati seorang pelaku bid’ah (Jahmiyah atau Mu’tazilah) yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk.
Jihad fi sabilillah. Sejak masa kekhilafahan bapaknya dan saudaranya, Harun Ar-Rasyid sudah biasa memimpin pasukan Islam berjihad melawan pasukan Romawi Timur di musim panas. Setelah mengepung Konstantinopel selama waktu yang lama dengan perjuangan berat, pada tahun 165 H Harun Ar-Rasyid berhasil memaksa penguasa Romawi Timur untuk meminta perdamaian dan membayar jizyah dalam jumlah sangat besar. Setelah menjadi khalifah, Harun Ar-Rasyid membagi waktunya menjadi dua. Satu tahun ia memimpin pasukan jihad tanpa melakukan haji dan satu tahun berikutnya ia berangkta haji sehingga tidak memimpin langsung pasukan jihad. Hal itu ia lakukan secara rutin sampai ia meninggal dunia.
Keadilan dan kemakmuran kaum muslimin pada masa pemerintahannya. Harun Ar-Rasyid melihat kepada awan di langit dan berkata kepadanya, “Silahkan engkau menurunkan hujan di daerah manapun, karena kharajmu (pajak hasil tanah yang digarap oleh kafir dzimmi dalam negara Islam) akan tetap sampai kepadaku.” Wilayah kekuasaannya luas dan seluruh warga Negara baik muslim maupun kafir dzimmi merasakan keamanan, keadilan dan kemakmuran. Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari menyebutkan bahwa saat Harun Ar-Rasyid meninggal, harta baitul mal (lembaga keuangan negara) untuk kepentingan kaum muslimin berjumlah 9 miliyar dirham!
Utsman bin Katsir Al-Wasithi berkata, “Aku mendengar Fudhail bin Iyadh berkata,
لَيْسَ أَحَدٌ أَعَزَّ عَلَيْنَا مِنْ مَوْتِ هَارُونَ الرَّشِيدِ وَإِنِّي لَأَدْعُو اللَّهَ أَنْ يَزِيدَ فِي عُمُرِهِ مِنْ عُمُرِي
“Tiada orang yang kematiannya lebih menyedihkan kami daripada kematian Harun Ar-Rasyid. Sungguh aku berdoa kepada Allah agar menambahkan sebagian umurku kepada umur Harun Ar-Rasyid.”
Para ulama menyebutkan sepeninggal Harun Ar-Rasyid, kekuasaan negara dipegang oleh para khalifah dan pejabat negara yang memasyarakatkan bid’ah, yaitu memaksakan akidah Jahmiyah dan Mu’tazilah kepada mayoritas kaum muslimin yang berakidah ahlus sunnah wal jama’ah. Para khalifah tersebut adalah Al-Ma’mun, Al-Amin dan Al-Mu’tashim.
Harun Ar-Rasyid meninggal di wilayah Thus, pada hari Sabtu, 27 Jumadil Akhir 193 H dalam usia sekitar 45 tahun. Ia memerintah selama 23 tahun 2 bulan 13 hari. Semoga Allah menerima amal kebaikannya, mengampuni kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga Firdaus yang tertinggi.
Referensi:
Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Al-Bidayah wan Nihayah, 14/29-47, Kairo: Dar Hajar, cet. 1, 1418 H.
Ahmad bin Ali Al-Khathib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad wa Dzuyuluhu, 14/5-13, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, cet. 1, 1417 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)