(Arrahmah.com) – Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Ia menggantikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam tidur di ranjangnya pada malam hijrah ke Madinah. Ia hijrah ke Madinah, ikut semua peperangan Islam dan menikahi Fatimah putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.
Ia seorang penghafal Al-Qur’an, pencatat wahyu, penasehat dan hakim pada masa khalifah Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan. Ia menjadi khalifah rasyid keempat dan gugur sebagai syahid oleh serangan seorang Khawarij. Ia termasuk salah seorang yang diberi kabar gembira oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sebagai penghuni surga.
Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib terbiasa hidup miskin karena ayahnya, Abu Thalib, adalah orang miskin dengan banyak anak. Kehidupan ekonominya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam di Madinah sangat sulit. Seiring kemenangan pasukan Islam atas imperium Romawi dan Persia pada masa khalifah Umar bin Khathab, kehidupan ekonomi Ali bin Abi Thalib juga membaik. Ia memiliki beberapa kebun korma yang hasil panennya melebihi kebutuhan hidup keluarganya.
Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai seorang yang pemurah dan dermawan. Ia gemar berinfak, suka memuliakan tamu dan meringankan kesusahan orang lain. Diceritakan oleh Asbagh bin Nabatah bahwasanya pada suatu hari ada seorang laki-laki yang datang kepada Ali bin Abi Thalib. Laki-laki itu berkata, “Wahai amirul mukminin, saya memiliki sebuah keperluan dengan Anda. Saya telah mengadukan keperluan ini kepada Allah, sebelum saya mengajukannya kepada Anda. Jika Anda memenuhi keperluan saya ini, niscaya saya akan memuji Allah dan berterima kasih kepada Anda. Tapi jika Anda tidak memenuhi keperluan saya ini, niscaya saya akan memuji Allah dan memaafkan Anda.”
Mendengar ucapan laki-laki itu yang sangat berlagak, Ali bin Abi Thalib menjawab, “Tulislah keperluanmu di tanah. Aku tidak ingin melihat hinanya meminta-minta pada wajahmu.”
Laki-laki itu menulis kalimat pendek di tanah, “Saya orang yang membutuhkan.”
Ali bin Abi Thalib memanggil pembantunya untuk diambilkan perhiasan kalung emas. Begitu Ali mengulurkan perhiasan itu, laki-laki itu langsung saja menerimanya dan mengenakannya di lehernya. Laki-laki itu kemudian melantunkan syair:
كَسَوْتَنِي حُلَّةً تَبْلَى مَحَاسِنُهَا … فَسَوْفَ أَكْسُوكَ مِنْ حُسْنِ الثَّنَا حُلَلَا
إِنْ نِلْتَ حَسَنَ ثَنَائِي نِلْتَ مَكْرُمَةً … وَلَسْتَ تَبْغِي بِمَا قَدْ قُلْتُهُ بَدَلًا
إِنَّ الثَّنَاءَ لَيُحْيِي ذِكْرَ صَاحِبِهِ … كَالْغَيْثِ يُحْيِي نَدَاهُ السَّهْلَ وَالْجَبَلَا
لَا تَزْهَدِ الدَّهْرَ فِي خَيْرٍ تُوَاقِعُهُ … فَكُلُّ عَبْدٍ سَيُجْزَى بِالَّذِي عَمِلَا
Kau memakaikan kepadaku perhiasan yang akan usang kebagusannya
Maka akan aku kenakan kepadamu pujian yang baik sebagai perhiasan
Jika kau mendapatkan bagusnya pujianku, kau telah meraih kemuliaan
Kau tak perlu mencari kemuliaan lain pengganti bagusnya pujianku
Pujian kan menghidupkan nama baik orang yang dipuji
Bagai air hujan menghidupkan lembah dan gunung
Selamanya jangan pernah enggan melakukan kebaikan
Setiap orang kan dibalas sesuai amalnya
Mendengar lantunan syair laki-laki itu, Ali bin Abi Thalib meminta pembantunya untuk mengambilkan uang dinar (uang emas) yang ada di rumahnya. Uang sebanyak 100 dinar itu dipegang Ali, kemudian diserahkannya kepada laki-laki peminta-minta itu.
Asbagh bin Nabatah yang menyaksikan hal itu kontan saja kaget. Jumlah uang yang diberikan sangatlah besar! 100 dinar setara dengan emas seberat 425 gram!!! Ia segera bertanya keheranan, “Wahai amirul mukminin, anda memberikan kepadanya perhiasan emas dan uang sebanyak 100 dinar?”
Ali tidak kaget dengan pertanyaan bernada protes Asbagh. Ali menjawab, “Ya, saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
أَنْزِلُوا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ
“Tempatkanlah manusia menurut kedudukan mereka!”
“Inilah kedudukan orang ini menurut pandanganku,” ujar Ali lebih lanjut.
Subhanallah, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak marah atau jengkel dengan sikap pengemis itu yang sangat berlagak shalih, zuhud, pandai bersyukur dan sabar. Lantunan syairnya yang sangat meremehkan sedekah perhiasan Ali dan melebih-lebihkan nilai pujiannya sangatlah keterlaluan. Meski begitu Ali tidak marah, jengkel, memaki-maki atau mengusir pengemis itu.
Ali memahami bahwa pengemis itu memang ‘pengemis elit’, pengemis yang banyak lagak dan gila harta. Ia menghayati perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam untuk menyikapi manusia menurut sifat dan kedudukan mereka. Pengemis yang gila harta dan banyak gaya hanya akan puas jika mendapatkan harta yang banyak, meski untuk itu ia harus merendahkan si pemberi dan meninggikan posisi dirinya sendiri!
Maka Ali pun memberikan harta tunai dalam jumlah begitu besar kepada si pengemis itu. Subhanallah, sungguh sangat mulia, penyantun dan dermawan menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam ini. Sungguh benar dan layak jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam memberikan kabar gembira surga untuknya.
Referensi:
Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Al-Bidayah wan Nihayah, 11/118-119, Kairo: Dar Hajar, cet. 1, 1418 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)