(Arrahmah.com) – Siapa yang tidak mengenal kemuliaan Abu Bakar Ash-Shidiq? Ia adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan orang dewasa. Ia orang yang pertama kali membenarkan berita Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam tentang isra’ dan mi’raj. Ia orang yang menyertai beliau shallallahu ‘alaihi wa salam di gua saat hijrah ke Madinah. Ia orang yang mengikuti seluruh peperangan beliau shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia mertua beliau shallallahu ‘alaihi wa salam dan khalifah sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa salam.
Keluhuran Abu Bakar Ash-Shidiq diakui oleh seluruh bangsa Arab dan kaum muslimin. Kemuliaan nasab, ilmu dan amalnya tidak ada yang meragukan. Ia telah mempertaruhkan harta, tenaga, pikiran dan nyawanya demi menegakkan kalimat Allah di muka bumi. Meski demikian, ia dikenal luas sebagai seorang yang rendah hati, penyabar, pemaaf dan santun.
Dikisahkan oleh Rabi’ah bin Ka’ab bin Malik Al-Aslami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam memberikan jatah sebidang tanah untuk Abu Bakar As-Shidiq dan sebidang tanah lain di sebelahnya untuk pembantu beliau, Rabi’ah bin Ka’ab bin Malik Al-Aslami. Kedua bidang tanah yang bersebelahan itu adalah kebun kurma yang sangat subur, berasal dari harta rampasan dalam perang melawan Yahudi Bani Nadhir.
Di kebun milik Rabi’ah tumbuh sebuah pohon korma yang sangat lebah buahnya. Batang pohon itu menjulang tinggi dan tangkai-tangkainya condong ke kebun Abu Bakar Ash-Shidiq. Status pohon itu menjadi perselisihan antara keduanya.
“Pohon ini milikku, karena berada di atas tanahku,” kata Rabi’ah.
“Tidak bisa, ia milikku karena berada di atas tanahku,” jawab Abu Bakar Ash-Shidiq.
Akhirnya keduanya terlibat perdebatan karena tidak ada yang mau mengalah. Tanpa sengaja, Abu Bakar Ash-Shidiq mengeluarkan kata yang kasar dengan suara keras. Sadar telah mengucapkan kalimat yang tidak seharusnya diucapkan kepada sesama muslim, Abu Bakar Ash-Shidiq sangat menyesal. Ia segera meminta maaf kepada Rabi’ah. Katanya,
يَا رَبِيعَةُ رُدَّ عَلَيَّ مِثْلَهَا حَتَّى تَكُونَ قِصَاصًا
“Wahai Rabi’ah, ucapkan kalimat serupa agar menjadi balasan yang setimpal bagiku!”
Rabi’ah tidak mau menuruti permintaan itu.
لَا وَاللَّهِ مَا أَنَا بِقَائِلٍ لَكَ إِلَّا خَيْرًا،
“Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengatakan kepadamu kecuali perkataan yang baik.”
Abu Bakar Ash-Shidiq tentu saja kecewa atas penolakan itu. Baginya, dikata-katai dengan kalimat yang kasar akan menjadi penghapus dosa dari kalimat kasar yang terlanjur dikatakannya. Abu Bakar kembali berkata,
لَتَقُولَنَّ أَوْ لَأَسْتَعْدِيَنَّ عَلَيْكَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Katakanlah, kalau tidak maka aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam!”
“Tidak, demi Allah, aku tidak akan mengatakan kepadamu kecuali perkataan yang baik,” jawab Rabi’ah sekali lagi.
Menyadari kalau Rabi’ah tidak akan mengucapkan perkataan kasar kepadanya, Abu Bakar segera melepaskan klaim kepemilikan tangkai pohon kurma itu. Setelah ia segera bergegas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
Rabi’ah sendiri segera menyusul di belakang Abu Bakar. Melihat kejadian itu, masyarakat warga suku Aslam yang merupakan suku Rabi’ah segera mencegat Rabi’ah.
رَحِمَ اللهُ أَبَا بَكْرٍ، فِي أَيِّ شَيْءٍ يَسْتَعْدِي عَلَيْكَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ قَالَ لَكَ مَا قَالَ
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar. Atas dasar apa Abu Bakar melaporkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, padahal dia yang tadi mengucapkan kalimat yang kasar kepadamu?” tanya mereka kepada Rabi’ah.
Melihat kaumnya membela dirinya yang memang berada pada posisi yang benar, Rabi’ah justru khawatir. Katanya, “Tahukah kalian siapa dia? Dia itu Abu Bakar Ash-Shidiq. Dia itu satu-satunya orang yang menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dalam gua. Dia itu sesepuh kaum muslimin. Bubarlah kalian dariku. Jangan sampai dia menoleh kepadaku lalu ia melihat kalian membantuku melawannya. Jika ia marah lalu mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam akan marah karena kemarahannya, akibatnya Allah akan marah karena kemarahan beliau berdua. Jika hal itu terjadi, binasalah Rabi’ah!”
“Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” tanya mereka.
“Kembalilah kalian, biar hal ini aku saja yang mengurusnya,” jawab Rabi’ah.
Abu Bakar Ash-Shidiq mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan aku menyusul di belakangnya. Di hadapan beliau, Abu Bakar Ash-Shidiq menceritakan apa yang telah terjadi di antara kami. Mendengar ceritanya, beliau mengangkat mukanya kepadaku dan bertanya, “Wahai Rabi’ah, ada masalah apa antara engkau dengan Abu Bakar Ash-Shidiq?”
Aku terpaksa menceritakan apa adanya. Kataku, “Wahai Rasulullah, tadi terjadi begini dan begitu. Lalu Abu Bakar mengatakan kepadaku sepatah kalimat yang ia sendiri tidak menyukainya. Maka ia menyuruhku untuk mengucapkan kalimat yang sama kepadanya, agar menjadi balasan yang setimpal terhadapnya. Tapi aku tidak mau.”
Mendengar jawabanku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tersenyum gembira. Beliau bersabda,
أَجَلْ فَلَا تَرُدَّ عَلَيْهِ، وَلَكِنْ قُلْ: غَفَرَ اللهُ لَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ
“Ya, sudah tepat apa yang engkau lakukan. Jangan membalasnya dengan ucapan serupa. Tapi katakanlah: Semoga Allah mengampuninu, wahai Abu Bakar.”
Mendengar nasehat beliau itu, aku pun mengucapkan: “Semoga Allah mengampuninu, wahai Abu Bakar.”
Tangisan Abu Bakar Ash-Shidiq meledak saat mendengar ucapanku itu. Ia segera merangkulku dan meminta maaf kembali. (HR. Ahmad no. 16577, Ath-Thayalisi no. 1173-1174, Ath-Thabarani no. 4577-4578 dan Al-Hakim no. 2718)
Saudaraku seislam dan seiman…
Subhanallah, begitulah sikap orang-orang bertakwa ketika mereka tengah berselisih. Abu Bakar Ash-Shidiq secara tidak sengaja keseleo lidah sehingga mengeluarkan kata-kata yang kasar kepada saudaranya. Ia sangat menyesal atas ucapan itu. Satu-satunya perkara yang ia pikirkan adalah meminta maaf kepada saudaranya dan menerima balasan perkataan kasar serupa demi menghapuskan kesalahannya. Saat saudaranya tidak mau membalas ucapan kasarnya, maka ia justru melapor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, semata-mata agar beliau memerintahkan saudaranya tersebut mengucapkan balasan kata yang kasar sebagai penghapus dosanya. Perkara pohon korma yang diperdebatkan itu sudah tidak ia pedulikan lagi.
Adapun saudaranya menunjukkan sikap yang tidak kalah mulianya. Ia bersabar dan memaafkan kata kasar saudaranya. Ia tidak membalasnya dengan kata-kata kasar, padahal saudaranya sendiri yang telah menyuruhnya, bahkan meminta bantuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Ketika orang-orang yang satu suku dengannya hendak membelanya, ia tidak mau. Ia justru menyuruh mereka bubar. Ia takut Allah dan Rasul-Nya marah kepadanya, lantaran kemarahan Abu Bakar Ash-Shidiq kepadanya. Ia menghormati kedudukan mulia Abu Bakar Ash-Shidiq di sisi Allah dan Rasul-Nya.
Nasehat yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam kepada Rabi’ah juga sangat luar biasa. Tidak membalas ucapan kasar dengan ucapan kasar serupa, bahkan mendoakannya agar kekhilafannya diampuni oleh Allah Ta’ala.
Betapa mulianya akhlak mereka. Segera meminta maaf dengan sungguh-sungguh kepada saudara muslim saat ia berbuat keliru, bahkan rela menanggung balasannya semata-mata agar kesalahannya diampuni Allah dan dimaafkan saudaranya. Memaafkan saudaranya yang berbuat keliru, tidak membalas kekeliruannya dengan kekeliruan yang sama, bahkan memintakan ampunan Allah atas kekeliruannya. Semoga kita bisa meneladaninya dan menjadikannya sebagai akhlak pergaulan hidup kita dengan sesama umat Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab…
(muhib almajdi/arrahmah.com)