(Arrahmah.com) – Ashabus shuffah adalah para sahabat muhajirin yang miskin. Mereka tinggal di serambi masjid nabawi karena tidak memiliki rumah, pekerjaan dan keluarga sendiri. Mereka menghabiskan usianya untuk beribadah kepada Allah, belajar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan berjihad fi sabilillah.
Di antara sahabat yang tergolong ashabus shuffah adalah pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam yang bernama Rabi’ah bin Ka’ab bin Malik Al-Aslami. Selain belajar, beribadah dan berjihad, sehari-hari Rabi’ah bin Ka’ab melayani berbagai keperluan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia sangat disayangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam karena keikhlasannya dalam bekerja.
Rabi’ah bin Ka’ab menuturkan pengalamannya, “Aku biasa melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan membantu keperluan-keperluan beliau sepanjang hari. Aku bekerja untuk beliau sampai beliau mengerjakan shalat Isya’. Jika beliau telah selesai shalat dan masuk ke dalam rumahnya, aku duduk di pintu. Jika beliau masih ada keperluan, aku akan bisa membantunya dengan segera.
Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berdzikir sebelum tidur. Aku masih bisa mendengar suara beliau yang membaca subhanallah, subhanallah, subhanallah wa bi hamdihi. Aku masih duduk di depan pintu rumah beliau sampai aku kelelahan dan kembali ke masjid, atau aku tertidur di depan pintu.
Melihat kesungguhanku dalam membantu keperluan-keperluan beliau, suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepadaku, “Mintalah sesuatu kepadaku wahai Rabi’ah, niscaya aku akan memberikan apa yang engkau minta!”
Aku menjawab, “Aku akan memikirkannya terlebih dahulu wahai Rasulullah. Setelah itu aku akan memberitahukannya kepada Anda.”
Aku pun mulai memikirkan keperluanku. Dalam hatiku aku katakan, dunia ini akan hancur binasa. Soal rizki di dunia, Allah telah menetakan jatah rizki yang mencukupiku dan rizki itu pasti akan datang kepadaku. Aku sudah memutuskan akan mendatangi beliau dan meminta kepada beliau sebuah keperluan di akhirat. Sebab beliau memiliki kedudukan mulia di sisi Allah Ta’ala.
Akhirnya aku pun datang kepada beliau. “Apa yang telah engkau putuskan, wahai Rabi’ah?” tanya beliau.
Mendengar pertanyaan yang sudah aku duga itu, aku segera menjawab tanpa sedikit pun keraguan:
نَعَمْ يَا رَسُولَ اللهِ، أَسْأَلُكَ أَنْ تَشْفَعَ لِي إِلَى رَبِّكَ فَيُعْتِقَنِي مِنَ النَّارِ
“Benar, wahai Rasulullah. Aku memohon kepada Anda agar memintakan syafa’at kepada Allah sehingga Allah membebaskan diriku dari api neraka.”
Rasulullah agak terkejut dengan ucapanku. Beliau kembali bertanya:
مَنْ أَمَرَكَ بِهَذَا يَا رَبِيعَةُ؟
“Siapa yang menyuruhmu untuk meminta hal ini, wahai Rabi’ah?”
Aku menjawab dengan yakin, “Wahai Rasulullah, demi Allah Yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, tidak ada seorang pun yang menyuruhku. Waktu itu Anda menyuruh saya untuk meminta sebuah kebutuhan kepada Anda, sedangkan Anda memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah. Maka aku hanya memikirkan bahwa dunia ini tidak kekal. Ia akan berakhir dan hancur. Soal rizki di dunia, Allah telah menetapkan jatah untukku dan jatah itu pasti akan sampai kepadaku. Untuk itu aku memohon kepada Anda keperluan di akhiratku.”
Mendengar jawabanku, beliau terdiam cukup lama. Beliau kemudian menghela nafas, tersenyum dan bersabda,
إِنِّي فَاعِلٌ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Ya, aku akan melakukan permintaanmu. Maka bantulah aku untuk melancarkan permintaanmu dengan banyak-banyak sujud (shalat sunah)!” (HR. Ahmad no. 16578 dan 16579. Syaikh Syuaib Al-Arnauth berkata: Sanad hadits dengan kisah di atas adalah hasan, sedangkan sanad hadits dengan lafal Maka bantulah aku untuk melancarkan permintaanmu dengan banyak-banyak sujud (shalat sunah)! adalah shahih li-ghairih)
Dalam riwayat lain, Rabi’ah bin Ka’ab Al-Aslami bercerita, “Saya biasa bermalam di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka aku mengambilkan air wudhu dan keperluan beliau yang lain. Beliau bersabda kepadaku,”Mintalah sesuatu kepadaku!” Maka aku menjawab,
أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ
“Aku memohon bisa menyertai Anda di surga.”
Beliau bertanya lagi, “Apakah ada keperluan selain itu?”
“Cukup, itu saja, “jawabku.
Maka beliau bersabda kepadaku,
«فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ»
“Jika demikian, bantulah aku untuk melancarkan permintaanmu dengan banyak-banyak sujud (shalat sunah)!” (HR. Muslim no. 489, Abu Daud no. 1320 dan An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 728)
Saudaraku seislam dan seiman…
Sungguh indah permintaan sang pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia hanya meminta satu kebutuhan saja, itu pun kebutuhan di akhirat. Sebuah kebutuhan yang jika terpenuhi, niscaya semua keperluan lainnya secara otomatis juga akan terpenuhi. Ia meminta syafaat Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, agar diselamatkan Allah dari siksa api neraka dan diperkenankan menyertai baginda Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam di surga.
Subhanallah, adakah permintaan yang lebih agung dan indah dari permintaan yang ringkas dan padat ini? Adapun baginda Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam telah memberi pelajaran tambahan kepada sang pembantu. Beliau mengetahui dengan pasti kesungguhan dan keikhlasan sang pembantu dalam menuntut ilmu, berjihad di jalan Allah dan melayani keperluan beliau. Keshalihan sang pembantu tidak diragukan lagi. Demikian pula kedekatan dan kedudukannya di sisi beliau. Meski demikian, beliau masih menyampaikan sebuah pelajaran tambahan; hendaknya sang pembantu memperbanyak ibadah sunah agar meraih syafa’at beliau di hari kiamat kelak.
Saudaraku seislam dan seiman….
Kisah di atas sudah seharusnya menjadi bahan renungan kita di hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan ini. Sudah sejauh mana kita menuntut ilmu syar’i, menjadi pelayan sunnah Nabi, dan berjihad di jalan Allah? Sudah sejauh mana ibadah wajib dan ibadah sunah yang kita lakukan? Sudah sejauh mana kedudukan kita di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam sehingga layak mendapat syafa’atnya di hari kiamat kelak? Semoga kisah di atas menjadi pemicu dan pemacu kita untuk lebih baik dan banyak dalam beramal. Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib almajdi/arrahmah.com)