(Arrahmah.com) – Khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu sangat disiplin mendidik keluarga dan kerabatnya. Sebagai pemimpin, beliau menginginkan keluarga dan kerabatnya menjadi suri tauladan bagi rakyat.
Setiap kali hendak membuat sebuah peraturan, beliau mengumpulkan anggota keluarga dan kerabatnya terlebih dahulu. Kepada mereka, beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku akan melarang masyarakat dari melakukan ini dan itu. Masyarakat akan melihat kalian sebagaimana burung melihat daging. Jika kalian melanggar larangan yang aku buat, niscaya masyarakat juga akan melanggarnya. Dan jika kalian tidak melanggar larangan yang aku buat, niscaya mereka juga tidak akan melanggarnya.
Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang dibawa kepadaku karena telah melanggar larangan yang aku buat, melainkan aku akan melipatkan hukuman untuknya, karena kedekatan hubungannya denganku. Maka siapa di antara kalian ingin melanggar, silahkan saja! Dan barangsiapa tidak akan melanggar, silahkan saja!” (Mahdhush Shawab fi Fadhail Amiril Mukminin Umar bin Khathab, 3/893)
Khalifah Umar mengawasi istri, anak, pembantu dan kerabatnya secara ketat agar mereka menjadi orang yang paling menaati peraturan yang dicanangkannya. Beliau ingin mereka hidup dengan sederhana, zuhud, wara’ dan tidak mempergunakan fasilitas negara atau kekayaan kaum muslimin untuk kepentingan pribadi.
Disebutkan oleh para sejarawan Islam bahwa pada suatu hari utusan gubernur Bahrain datang ke Madinah dengan membawa minyak wangi dari jenis misk dan ‘anbar dalam jumlah yang sangat banyak. Harta tersebut harus dimasukkan ke kas Negara (baitul mal), dihitung dan dibagikan kepada kaum muslimin secara rata.
Umar berkata, “Aku memerlukan seorang wanita yang pandai menimbang, untuk menimbang minyak wangi ini, sehingga aku bisa membagikannya di antara kaum muslimin secara rata.”
Mendengar perkataannya itu, istrinya yang bernama Atikah binti Zaid bin Amru bin Nufail berkomentar, “Aku pandai menimbang. Coba bawa ke sini, biar aku yang menimbangnya!”
“Tidak boleh, “tukas Umar.
“Kenapa?” tanya Atikah.
“Aku khawatir engkau mencoleknya dengan jari-jarimu, lalu engkau mengoleskan jari- jarimu ke kedua daun telingamu dan mengusapkannya ke lehermu. Dengan begitu, engkau telah mengambil bagian lebih dari jatah kaum muslimin, “jawab Umar.
Subhanallah, betapa sangat cermat kehati-hatian khalifah Umar. Ia mengetahui dengan pasti bahwa menimbang minyak wangi tak urung akan mengakibatkan jari-jari dan telapak tangan terolesi oleh minyak wangi. Cara mudah dan praktis membersihkan jari-jari dan telapak tangan tersebut tentu saja dengan mengoleskannya ke anggota badan dan pakaian. Jari-jari dan telapak tangan bisa bersih, sementara anggota badan dan pakaian berbau harum minyak wangi.
Suatu hal yang sebenarnya remeh. Namun khalifah Umar memandang hal itu adalah kejahatan besar. Kejahatan mengambil jatah lebih banyak dari jatah yang diterima oleh rakyat biasa. Beliau tidak menganggap kerja keras dan kecapekan selama menimbang minyak wangi itu sebagai jasa yang layak mendapatkan upah, walau sekedar oles-oles ke anggota badan dan pakaian.
Jika dalam urusan sekecil itu beliau begitu cermat mengawasi, sudah tentu beliau akan lebih ketat dalam mengawasi perkara yang lebih besar. Kedisiplinan, kejujuran, amanah dan ketulusan melayani masyarakat inilah yang menjadikan beliau sebagai sosok pemimpin teladan yang mampu membawa bangsa dan negara Islam kepada kejayaan, kemakmuran dan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat. Bagaimana dengan para pemimpin sekuler dan keluarganya pada zaman sekarang?!!
Referensi:
Yusuf bin Hasan bin bin Abdul Hadi Ash-Shalihi Al-Hambali, Mahdhush Shawab fi Fadhail Amiril Mukminin Umar bin Khathab, Madinah: Al-Jami’ah Al-Islamiyah, cet. 1, 1420 H.
Ali bin Muhammad Ash-Shalabi, Fashlul Khithab fi Sirati Ibnil Khathab Amiril Mukminin Umar bin Khathab Hayatuhu wa ‘Ashruhu, Kairo: Maktabah At-Tabi’in, cet. 1, 1423 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)