(Arrahmah.com) – Kaum muslimin di Afrika Barat dan Afrika Utara gempar oleh gugurnya sang gubernur dan jendral pasukan Islam, Zuhair bin Qais Al-Balawi dalam pertempuran di Barqah, dekat Benghazi, Libia. Dengan puluhan pasukan berkudanya, Zuhair nekad menyerang angkatan laut imperium Romawi Timur yang tengah mengangkut para tawanan muslim ke atas kapal.
Gugurnya sang jendral beserta puluhan prajuritnya menyadarkan kaum muslimin bahwa penaklukan Islam di benua Afrika Utara belumlah tuntas. Selain kerajaan musyrik Barbar yang tangguh, kekuatan imperium Romawi Timur dan sekutu-sekutunya masih cukup kuat untuk memerangi pasukan Islam.
Sebuah rombongaan yang terdiri dari para tokoh kaum muslimin di Afrika Utara segera berangkat ke Damaskus. Mereka memohon kepada khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk segera menyelamatkan sisa-sisa kaum muslimin dan pasukan Islam dari serangan pasukan Barbar dan imperium Romawi Timur.
Melalui kajian yang mendalam terhadap berbagai aspek, khalifah lantas mengambil sebuah keputusan penting. Katanya, “Aku tidak mengetahui ada orang yang lebih mampu mengurus Afrika selain Hassan bin Nu’man Al-Ghasssani.”
Siapakah gerangan Hasan bin Nu’man Al-Ghassani yang disebut-sebut oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan sebagai orang yang paling mampu mengendalikan Afrika Utara ini?
Nama lengkapnya adalah Hassan bin Nu’man bin Mundzir Al-Azdi Al-Ghassani, berasal dari bangsa Arab Azd, suku Ghassan. Ia termasuk generasi tabi’in senior yang sempat meriwayatkan hadits dari khalifah Umar bin Khathab. Hassan dikenal sebagai seorang jagoan perang, ahli strategi perang, pemberani dan komandan yang brilian. Sebagian besar usianya dihabiskan sebagai gubernur dan jendral Islam di wilayah Afrika Utara yang begitu luas.
Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu mengutusnya sebagai komandan perang dan gubernur Islam untuk wilayah Afrika Utara pada tahun 57 H. Orang-orang musyrik Barbar mengadakan perjanjian damai dengannya dan mereka membayar kharaj (pajak hasil bumi) kepadanya. Ia menjadi gubernur Afrika Utara lebih dari 20 tahun.
Untuk menjalankan tugas penting mengembalikan wilayah-wilayah Afrika Utara ke dalam pangkuan Islam, pada tahun 73 H panglima Hassan bin Nu’man berangkat dari Damaskus dengan memimpin pasukan Islam terbesar dalam sejarah jihad di benua Afrika, sebuah pasukan yang berkekuatan 40.000 mujahid.
Hassan bin Nu’man mempersiapkan seluruh persiapan militer di kota Fustat, Mesir. Seluruh persenjataan, makanan, minuman, kendaraan, tenda dan persiapan perang lainnya dilengkapi secara cermat. Ia memasang pasukan perintis, pasukan patroli, dan pasukan pengawalan untuk mengamankan perjalanan yang sangat berat. Setiap saat pasukan Barbar dan pasukan Romawi Timur bisa saja melakukan serangan mendadak. Pasukan besar itu menempuh perjalanan jauh, dari Fustat di Mesir ke kota Qairawan, Tunisia dengan seluruh persiapan militer dan resiko militer yang harus dihadapinya. Tak kurang dari 1530 mil jarak yang ditempuh oleh pasukan besar itu selama kurang lebih 4 bulan.
Saat tiba di kota Qairawan dengan selamat, panglima Hassan segera melengkapi persiapan perang pasukannya. Ia juga mengirim pasukan mata-mata untuk mengumpulkan data selengkap-lengkapnya tentang kekuatan musuh, jumlah personil dan persenjataannya, posisi musuh dan waktu pertempuran yang akan direncanakan. Hampir enam bulan di sisa tahun 74 H itu, panglima Hassan mengisinya dengan persiapan militer sebaik-baiknya.
Pada tahun 75 H, pasukan Hassan bergerak untuk merebut kembali wilayah-wilayah Afrika Utara yang telah diduduki oleh pasukan Romawi Timur. Sisa-sisa pasukan Zuhair bin Qais Al-Balawi bergabung dengannya. Bergerak dari kota Qairan, Tunisia menuju ke arah timur, pasukan perintis Islam berhasil mencapai Tarablus (Tripoli) dan Barqah, Libia. Mereka tidak mendapatkan perlawanan yang berarti dan penduduk setempat meminta perdamaian dengan membayar jizyah.
Panglima Hassan bertekad menaklukkan pusat kekuatan kerajaan musyrik Barbar dan Romawi Timur, yaitu kerajaan Kartagena. Pasukan Islam mengepung dengan ketat aliansi pasukan musyrik Barbar dan Kristen Romawi Timur yang mempertahankan pusat kerajaan Kartagena. Melihat kebulatan tekad pasukan Islam, pasukan musuh meninggalkan pusat kerajaannya. Sebagian mereka melarikan diri ke pulau Sicilia dan sebagian lainnya melarikan diri ke Andalus. Kartegna ditaklukkan oleh pasukan Hassan, sebagian benteng dan tembok pertahanannya dirobohkan agar tidak dipergunakan oleh pasukan musuh. Pasukan Islam kemudian kembali ke kota Qairawan.
Penduduk musyrik badui dan Barbad di pedalaman memanfaatkan kepulangan pasukan Islam ke Qairawan untuk menduduki Kartagena. Pasukan Hassan terpaksa kembali mengepung Kartagena. Melalui pertempuran sengit, pasukan Hassan kembali menguasai Kartagena, menewaskan banyak pasukan musyrik dan menawan banyak lainnya. Kekuatan pasukan Islam segera menjadi buah bibir yang menggetarkan nyali pasukan musyrik di Afrika Utara dan Afrika Barat.
Meski Kartagena telah ditaklukkan, pasukan musyrik Barbar dan Kristen Romawi Timur masih menguasai banyak kota dan benteng di sekitar Kartagena. Mereka bahkan memobilisasikan kembali kekuatan militernya di kota Satfurah dan Benzart. Pasukan Hassan menyerang kedua kota itu. Pasukan musuh bertempur mati-matian untuk mempertahankan kedua kota, namun pasukan Islam bertempur dengan lebih keras lagi sehingga kedua kota itu bisa ditaklukkan, Banyak prajurit musuh tewas dan tertawan dalam pertempuran dahsyat itu.
Pasca kekalahan itu, pasukan Romawi Timur bertahan di kota Bajah, sementara pasukan musyrik Barbar bertahan di kota Bunah. Pasukan Islam sendiri kembali ke kota Qairawan untuk merawat prajurit yang terluka dan memulihkan kekuatan. Kemenangan pertama pasukan Islam di Kartagena ini telah memaksa pasukan Romawi mengalami kemunduran telak di benua Afrika. Adapun kemenangan kedua pasukan Islam di Kartagena, Satfurah dan Benzart telah mencerai-beraikan pasukan musyrik Barbar dan Kristen Romawi Timur ke berbagai daerah kecil dan pedalaman.
Pertempuran besar terakhir yang diterjuni oleh pasukan Hassan adalah peperangan melawan pasukan musyrik Barbar yang dipimpin oleh ratunya, seorang dukun dan peramal, di pegunungan Auras, Aljazair. Pasukan Romawi sangat takut terhadap sang ratu dan peramal itu, sementara seluruh bangsa Barbar patuh kepadanya. Peperangan berlangsung dengan dahsyat di pinggir sungai Ninei, di mana pasukan Hassan mengalami kekalahan telak dan terus dikejar oleh pasukan ratu Barbar. Pasukan Islam terusir dari batas negeri Barbar di Aljazair dan harus bertahan di Qairawan.
Kekalahan panglima Hassan di Aljazair membuatnya menyerahkan kekuasaan Qairawan kepada wakilnya, Abu Shalih. Hassan sendiri memimpin sebagian kaum muslimin membangun kekuatan di Barqah dan Sirte, Libia. Sementara itu khalifah Abdul Malik mengirimkan pasukan tambahan kepada Hassan. Lima tahun penuh panglima Hassan menyiapkan pasukan dan persiapan militernya untuk menyerang kembali ratu Barbar.
Lima tahun tanpa serangan itu nampaknya membuat gusar ratu Barbar. Ia memerintahkan penduduk Barbar untuk menebang pepohonan dan menghancurkan lahan pertanian agar tidak direbut oleh pasukan Islam. Tindakan semena-mena ratu Barbar itu memaksa ribuan penduduk Kristen Romawi dan musyrik Barbar meninggalkan Afrika, mencari selamat di pulau Sicilia, Andalusia dan wilayah kepulauan lain di Laut Mediterania. Pasukan ratu Barbar itu juga melakukan perampokan dan penghancuran benteng-benteng.
Pada saat yang sama, kaisar Romawi Timur mengirim pasukan besar untuk merebut kembali Kartagena dna kota-kota sekitarnya. Pasukan besar Romawi itu menaklukkan Kartagena pada tahun 78 H, menawan banyak kaum muslimin dan mengusir banyak lainnya. Panglima Hassan hanya bisa menahan kesabarannya, sembari terus mempersiapkan pasukannya lebih matang. Romawi dan Barbar sendiri tengah berbagi kekuasaan di Kartagena dan sekitarnya.
Pada akhir tahun 81 H, akhirnya persiapan militer itu selesai. Pertempuran dengan pasukan Barbar berlangsung dengan dahsyat. Kali ini panglima Hassan meraih kemenangan telak dan ratu Barbar tewas di tangannya. Kedua anak ratu itu meminta jaminan keamanan, namun panglima Hassan hanya memberi jaminan keamanan jika pasukan Barbar menyerahkan 12.000 prajuritnya untuk berjihad bersama kaum muslimin. Syarat itu disepakati kedua anak ratu Barbar. Maka kedua anak ratu Barbad dan 12.000 prajuritnya pun masuk Islam. Merekalah yang menyertai pasukan Islam berjihad mengusir tentara Romawi dari bumi Afrika barat.
***
Ketika Walid bin Abdul Malik menjadi khalifah, di antara kebijakannya adalah memecat panglima Hassan. Maka Hassan berangkat ke Damaskus untuk menemui khalifah dengan membawa harta benda, hadiah-hadiah dan perhiasan yang sangat banyak. Kepada khalifah, Hassan mengatakan:
يَا أَمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، إِنَّمَا خَرَجْتُ مُجَاهِداً للهِ، وَلَيْسَ مِثْلِي مَنْ يَخُوْنُ
“Wahai amirul mukminin, saya keluar semata-mata sebagai mujahid yang berperang karena Allah, dan orang seperti saya tidak akan berkhianat.”
Semua harta benda, hadiah dan perhiasan yang sangat banyak dan tak ternilai harganya itu diserahkannya kepada khalifah agar dimasukkan ke baitul mal. Khalifah segera memanggil bendahara negara untuk menginventarisasi harta yang diserahkan oleh Hassan.
Selain itu khalifah juga memerintahkan Hassan untuk kembali ke Afrika Barat dan melanjutkan tugasnya sebagai gubernur. Namun Hassan sudah merasa cukup dengan puluhan tahun yang dilaluinya sebagai gubernur dan panglima perang di Afrika Barat. Dengan tegas, Hassan bersumpah dan menolak pengangkatan dirinya kembali sebagai gubernur Afrika Barat. (Siyaru A’lam an-Nubala’, 4/294)
Sungguh sebuah keikhlasan dan sikap amanah yang luar biasa. Usianya dihabiskan di medan jihad demi mendakwahkan Islam di bumi Afrika Utara. Lebih dari 20 tahun ia menjabat sebagai gubernur, namun ia tidak memiliki tabungan harta kekayaan sedikit pun. Semua hartanya diserahkan kepada baitul mal. Dan ia menghabiskan sisa usianya sebagai komandan angkatan laut Daulah Umawiyah melawan pasukan Romawi di Laut Mediterania.
Imam Adz-Dzahabi menulis, “Ia dipanggil dengan julukan asy-syaikh al-amin, orang tua yang bisa dipercaya, karena sifat amanah dan keluhuran akhlaknya.”
Referensi:
Abdurrahman bin Abdul Hakam Al-Mishri, Futuh Mishra wa Afriqiya, 1/227-229, Kairo: Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyah, cet. 1, 1415 H.
Muhammad bin Utsman Adz-Dzahabi, Tarikhul Islam, 4/162 dan 5/392-393, Beirut; Darul Kitab Al-Arabi, cet. 2, 1413 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)