(Arrahmah.com) – Mayoritas kaum muslimin mengenal imam Abu Hanifah sebagai seorang ulama fiqih. Pendapat-pendapatnya di bidang fiqih diikuti oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia. Pendapat-pendapatnya kemudian dikenal sebagai madzhab Hanafi.
Abu Hanifah adalah nama panggilan untuk imam Nu’man bin Tsabit At-Taimi. Selain ahli di bidang fiqih, ia juga seorang ahli ibadah yang sangat jujur, amanah, wara’, dan zuhud. Ia dikenal sangat berhati-hati dalam berfatwa. Ia tidak menginginkan jabatan dan rela dihukum cambuk oleh gubernur Kufah karena menolak diangkat menjadi hakim.
Kisah kejujuran dan amanahnya telah diceritakan oleh banyak ulama dan orang shalih yang hidup sezaman dengan imam Abu Hanifah. Salah seorang kawan Abu Hanifah yang bernama Kharijah bin Mush’ab menuturkan pengalamannya bergaul dengan sang imam. Katanya, “Saya berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Saya menitipkan seorang budak perempuanku kepada Abu Hanifah. Di Makkah, aku tinggal kurang lebih empat bulan. Sepulang dari haji, saya segera menemui Abu Hanifah.
Saya bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau menilai pelayanan dan akhlak budak perempuan ini?”
“Barangsiapa menghafal Al-Qur’an dan menjaga ilmu tentang halal dan haram bagi masyarakat, niscaya ia harus menjaga dirinya dari fitnah. Demi Allah, sejak engkau berangkat haji sampai engkau pulang dari haji saat ini, aku belum pernah melihat budak perempuan yang engkau titipkan itu,” jawab imam Abu Hanifah.
Jawaban Abu Hanifah sangat mengagetkan Kharijah bin Mush’ab. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Abu Hanifah karena telah menjaga dan menampung budak perempuannya, Kharijah segera pulang membawa budaknya itu.
Setiba di rumah, Kharijah langsung menanyai budak perempuannya tentang akhlak dan kegiatan harian Abu Hanifah selama di rumah. Jawaban yang diberikan oleh budak perempuan itu sungguh lebih mengejutkan lagi. Kata budak perempuan itu, “Aku tidak pernah melihat dan mendengar orang sehebat dia. Sejak aku tinggal di dalam rumahnya, aku belum pernah melihatnya tidur di atas kasur (di waktu malam). Aku juga tidak pernah melihatnya mandi junub walau hanya sekali, baik di waktu siang maupun malam.
Jika hari Jum’at, ia berangkat untuk shalat Subuh, lalu kembali ke rumahnya dan mengerjakan shalat Dhuha secara ringan. Hal itu karena ia berangkat pagi-pagi benar ke masjid jami’ untuk shalat Jum’at. Ia akan mandi Jum’at, lalu memakai minyak wangi dan berangkat shalat Jum’at.
Selain itu, aku tidak pernah melihatnya makan di waktu siang. Biasanya ia makan di waktu sore, tidur sedikit sekali di waktu malam, kemudian berangkat ke masjid untuk shalat Subuh.”
Pengalaman yang dilihat oleh budak perempuan itu selama empat bulan di rumah imam Abu Hanifah memang merupakan sebuah kenyataan yang sebenarnya. Budak itu tidak melebih-lebihkan ceritanya. Abu Hanifah biasa menghabiskan waktu malamnya dalam shalat malam, membaca Al-Qur’an dan sampai Shubuh wudhunya tidak batal. Di waktu malam, ia hanya sedikit tidur.
Asad bin Amru berkata, “Sesungguhnya Abu Hanifah melaksanakan shalat Isya’ dan Subuh dengan satu wudhu selama empat puluh tahun.”
Salah seorang muridnya, Abdul Hamid Al-Himani, pernah tinggal di rumah imam Abu Hanifah selama enam bulan penuh. Ia menceritakan pengalamannya tentang Abu Hanifah, “Saya tidak pernah melihatnya shalat Shubuh melainkan dengan wudhu shalat Isya’, dan ia mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malam pada waktu sahur.” (Siyaru A’lam an-Nubala’, 6/400)
Bukti-bukti nyata tentang sifat amanah imam Abu Hanifah sangatlah banyak dan terkenal karena diabadikan oleh para sejarawan Islam dalam karya-karya mereka.
Salah satu kisah di atas mengajarkan kepada kita bagaimana seorang ulama menjaga amanah dengan memberi tampungan rumah, makanan dan minuman kepada seorang budak perempuan milik kawannya selama empat bulan penuh. Gratis tanpa memungut biaya sedikit pun.
Dalam waktu selama itu, sang ulama tidak pernah meminta sang budak perempuan itu untuk mengerjakan pekerjaan dalam rumahnya, baik pekerjaan ringan maupun berat. Padahal ia hanyalah seorang budak yang biasa disuruh-suruh secara gratis tanpa upah. Bahkan sang ulama tidak pernah sekalipun memandang wajah budak perempuan itu. Semua urusan yang berkaitan dengan kebutuhan budak itu diserahkannya kepada istri atau budaknya sendiri.
Subhanallah, sebuah contoh yang sangat hebat tentang menjaga amanah, sekaligus menjaga diri dari fitnah godaan wanita. Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengingatkan,
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Setelah aku meninggal, aku tidak pernah meninggalkan sebuah fitnah (godaan) yang lebih berbahaya bagi kaum lelaki selain fitnah (godaan) kaum wanita.” (HR. Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 2741)
Wallahu a’lam bish-shawab
Referensi:
Abu Abdillah Husain bin Ali Ash-Shaimari Al-Hanafi, Akhbaru Abi Hanifah wa Ashabihi, 1/50-51, Beirut: Dar ‘Alamil Kutub, cet. 2, 1405 H.
Muhammad bin Utsman Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam an-Nubala’, 6/390-403, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H
(muhib almajdi/arrahmah.com)