(Arrahmah.com) – Ini adalah kisah tiga orang sahabat muhajirin yang memilih jihad daripada jabatan, sampai mereka gugur di medan perang Ajnadin dan Marj Shuffar. Ketiga orang tersebut adalah kakak-beradik dari suku Quraisy, tepatnya dari Bani Abdu Syams bin Abdu Manaf. Mereka adalah Khalid bin Said, Amru bin Said dan Abban bin Said.
***
Orang pertama adalah Khalid bin Sa’id Al-Umawi. Nama lengkapnya Khalid bin Sa’id bin Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qusay. Khalid bin Said masuk Islam sejak awal dakwah di Makkah. Menurut keponakannya, Khalid bin Said masuk Islam pada tahun ketiga atau keempat kenabian, pada awal Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam berdakwah secara terang-terangan.
Suatu malam Khalid bin Said bermimpi sedang berdiri di bibir neraka Jahanam. Ia bisa melihat betapa luasnya neraka dan betapa pedih siksaan di dalamnya. Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba bapaknya muncul dan berusaha mendorong dirinya ke dalam neraka. Ia berusaha untuk meronta, namun tenaga bapaknya lebih kuat. Saat ia hampir saja melayang ke dalam neraka, tiba-tiba muncul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam yang mencengkeram kedua lengannya dan menariknya ke tempat yang aman.
Khalid amat terkejut dengan mimpi yang aneh itu. Katanya, “Demi Allah, ini adalah mimpi yang benar.” Khalid segera menemui Abu Bakar Ash-Shidiq dan menceritakan mimpinya.
Mendengar kisah mimpi aneh itu, Abu Bakar menasehati Khalid, “Allah menghendaki kebaikan untukmu. Ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, ikutilah beliau! Jika engkau mengikuti beliau dan masuk Islam, niscaya Islam akan mencegahmu dari masuk neraka. Adapun bapakmu akan masuk neraka.”
Hari itu juga Khalid menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Katanya, “Wahai Muhammad, engkau mengajak kepada apa?”
“Aku mengajak untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah tiada sekutu bagi-Nya dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya serta meninggalkan penyembahan batu yang tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa memberi manfaat, tidak bisa mendatangkan bahaya dan tidak bisa membedakan orang yang menyembahnya daripada orang yang tidak bisa menyembahnya.”
Mendengar uraian itu, Khalid pun bersyahadat dan masuk Islam. Selama beberapa hari Khalid tidak pulang ke rumah. Bapaknya yang bernama Abu Uhaihah segera mengirimkan anak-anaknya dan budaknya untuk mencari dan membawa pulang Khalid. Begitu ditemukan, mereka segera membawa pulang Khalid ke hadapan bapaknya.
Abu Uhaihah marah besar dengan keislaman Khalid. Caci makian dan bentakan menyembur dari mulutnya. Tongkat di tangannya dipukulkannya ke kepala Khalid sampai patah. Tak ayal darah mengucur dari luka di kepala Khalid. “Kau mengikuti agama Muhammad, padahal kau tahu ia menyelisihi agama kaumnya, mencaci maki Tuhan-tuhan mereka dan membodoh-bodohkan nenek moyang mereka?”
Meski dimarahi dan dipukuli sampai berdarah-darah, nyali Khalid tidak kendor. Ia dengan menjawab, “Ia orang yang benar, dan demi Allah, aku telah mengikutinya.”
Abu Uhaihah tidak bisa lagi menahan kemarahannya oleh jawaban itu. Tidak puas dengan memarahi, mencaci maki dan menyiksa Khalid, ia mengusir anaknya itu, “Pergi kau dari rumah ini, anak hina! Pergi kemana pun kau mau. Demi Allah, aku tidak sudi memberimu makan!”
Sebelum pergi dari rumah, Khalid masih sempat menjawab bentakan bapaknya itu, “Jika bapak tidak mau memberiku makan, Allah akan memberiku makanan selama aku hidup.”
Kepada anak-anaknya yang lain, Abu Uhaihah juga mengancam, “Jika ada salah seorang di antara kalian mengajak Khalid bicara, aku akan menyiksanya seperti aku tadi menyiksa Khalid!”
Sejak diusir oleh bapaknya, Khalid bin Said senantiasa menghadiri pengajian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia leluasa beribadah kepada Allah. Tapi ia tidak memiliki tempat tinggal dan makanan yang layak. Sering selama berhari-hari ia menahan lapar, dan hanya mampu mengganjal laparnya dengan minum air Zam-zam.
Keadaan itu berlangsung selama beberapa waktu. Di Makkah, Khalid menikah dengan wanita mukminah, Humainah bintu Khalaf bin As’ad Al-Khuzaiyyah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan tak kurang dari delapan puluh kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah pada kali yang kedua, Khalid segera bergabung dengan rombongan mereka.
Selama sepuluhan tahun di Habasyah, Khalid dikaruniai dua orang anak yang diberi nama Sa’id dan Ummu Khalid. Di Habasyah pula, Khalid menjadi wali bagi Ummu Habibah binti Abi Sufyan saat menikah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sendiri diwakili oleh raja Najasyi.
Khalid dan keluarganya beserta seluruh kaum muslimin muhajirin di Habasyah berangkat ke Madinah pada tahun 7 H, bertepatan dengan penaklukan Khaibar. Khalid dan saudaranya, Amru bin Sa’id menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dalam umrah qadha’, penaklukan Makkah dan perang Tabuk. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengangkat Khalid sebagai petugas zakat di Yaman. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam wafat, Khalid masih menjalankan tugasnya di Yaman.
Ketika Khalid selesai melaksanakan tugas di Yaman dan kembali ke Madinah, kaum muslimin telah mengangkat Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai khalifah penerus kepemimpinan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Kejadian itu membuat kaget Khalid. Menurutnya, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan yang satu marga dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam yaitu Bani Abdu Manaf, lebih berhak daripada Abu Bakar Ash-Shidiq yang berasal dari lain marga, Bani Taim.
Khalid bertanya kepada Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan, “Apakah kalian, wahai Bani Abdu Manaf, merelakan hal itu padahal kepemimpinan dipegang oleh selain kalian?”
Pertanyaan Khalid membuat gusar Umar bin Khatab, namun khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq sendiri memaafkannya dan memahami keterkejutan dirinya. Tiga bulan lamanya Khalid tidak mau membai’at khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq. Suatu sore, setelah shalat Ashar, Abu Bakar Ash-Shidiq berkhutbah di atas mimbar. Saat itulah Khalid maju ke depan dan membaiat khalifah di atas mimbar, di hadapan seluruh kaum muslimin.
Abu Bakar Ash-shidiq sangat menghormati Khalid. Bagaimana tidak, sedangkan beliau mengetahui dengan pasti sejarah keislaman Khalid, penderitaannya dalam mempertahankan akidah, hijrahnya ke Habasyah, jasanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam selama Habasyah, jihadnya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam sejak tiba di Madinah dan bahkan kedudukannya sebagai pejabat zakat di Yaman saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam wafat?
Saat hendak memberangkatkan pasukan jihad ke negeri Syam, khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq menunjuk Khalid sebagai salah seorang jendral dan menyerahkan panji pasukan kepadanya. Pengangkatan Khalid sebagai jendral mendapat protes Umar bin Khathab. Umar bin Khathab belum bisa melupakan pertanyaan Khalid kepada Ali dan Utsman saat kembali dari Yaman. Kepada khalifah, Umar mengatakan, “Apakah Anda mengangkatnya sebagai jendral pasukan padahal ia telah mengatakan perkataan seperti itu?”
Umar terus mendesak khalifah untuk membatalkan pengangkatan Khalid. Atas desakan itu, khalifah membatalkan pengangkatan Khalid. Panji perang yang terlanjur dipegang Khalid akhirnya ditarik kembali.
Atas peristiwa itu, khalifah mendatangi rumah Khalid. Khalifah meminta maaf kepada Khalid dan memohon kepadanya agar tidak menyebut-nyebut Umar dengan ucapan buruk apapun. Di sinilah Khalid menunjukkan kelapangan dadanya dan keikhlasan niatnya. “Demi Allah, pengangkatan sebagai pemimpin pasukan tidaklah membahagian kami dan pelengseran dari jabatan pemimpin pasukan juga tidak menyusahkan kami, “kata Khalid. Sampai akhir hayatnya, Khalid tidak pernah menaruh iri, dendam dan kebencian sedikit pun kepada Umar. Khalid bahkan senantiasa mendoakan rahmat bagi Umar.
Khalifah lantas mengangkat Syurabil bin Hasanah sebagai jendral pasukan Islam yang akan berangkat perang ke negeri Syam dan Yazid bin Abi Sufyan sebagai wakilnya. Pengangkatan tersebut atas dasar saran dari Khalid.
Khalifah bertanya kepada Khalid, “Komandan mana yang lebih anda sukai?” Saat itu ada dua pilihan, Yazid bin Abi Sufyan yang berasal dari satu marga dengan Khalid dan Syurahbil bin Hasanah.
“Keponakan saya (Yazid bin Abi Sufyan) aku cintai karena hubungan kekerabatan dengannya, namun orang ini (Syurahbil bin Hasanah) lebih aku cintai dalam agamaku, karena ia adalah saudaraku dalam agama sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan ia membantuku melawan keponakanku (saat ia belum masuk Islam).”
Saat mengantarkan keberangkatan pasukan Islam, khalifah berpesan kepada sang jendral Syurahbil bin Hasanah, “Perhatikanlah Khalid bin Sa’id dan haknya atas dirimu seandainya ia menjadi pemimpin atas dirimu, sebagaimana engkau senang jika ia memenuhi hakmu atas dirinya. Sungguh engkau telah mengetahui kedudukannya dalam Islam. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan ia menjadi seorang pejabat bagi beliau. Semula aku mengangkatnya sebagai pemimpin pasukan namun aku kemudian melengserkannya. Semoga hal itu lebih baik bagi agamanya. Aku tidak pernah mengistimewakan seorang pun dalam hal kepemimpinan.
Jika engkau menghadapi perkara yang membutuhkan saran dari seorang penasehat yang terpercaya, maka hendaklah orang yang pertama kali engkau minta pendapatnya Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu Muadz bin Jabal, kemudian Khalid bin Said. Engkau akan mendapatkan nasehat dan kebaikan pada diri mereka. Dan janganlah sekali-kali engkau memaksakan pendapatmu atas diri mereka dan jangan pula memonopoli sebagian berita tanpa memberitahukannya kepada mereka.”
***
Bersama pasukan Islam, Khalid bin Said menunjukkan keteguhan dan kerja kerasnya dalam medan pertempuran di Yarmuk, Ajnadin, Fihl dan Marj Shufar. Ia bertempur dengan gagah berani di garis depan dan memporak-porandakan pasukan Romawi Timur.
Dalam perang Yarmuk, Ikrimah bin Abi Jahal gugur sebagai syahid, meninggalkan seorang janda bernama Ummu Hakim binti Harits bin Hisyam. Setelah masa ‘idahnya habis, Khalid bin Said menikahinya dengan mahar 400 dinar.
Sore itu pasukan Islam mendirikan perkemahan di daerah Marj Shufar. Beberapa ratus metes di hadapan mereka, perkemahan pasukan besar Romawi Timur nampak jelas. Keesokan harinya akan menjadi ajang pertempuran yang dahsyat antara kedua pasukan. Malam itu adalah malam pertama Khalid bin Said dengan istrinya, Ummu Hakim.
“Alangkah baiknya jika engkau menunda malam pertama ini, sampai Allah mencerai-beraikan kumpulan pasukan musuh, “saran Ummu Hakim.
Sang suami mendengarkan saran istrinya dengan tenang, lalu ia menjawab dengan tak kalah tenang, “Aku memiliki dugaan kuat aku akan terbunuh oleh pasukan musuh.”
Malam itu adalah malam pertama pasangan pengantin di medan perang Marj Shufar. Keesokan paginya, Khalid mengadakan jamuan makan atas acara pernikahannya. Pasukan Islam pun berdatangan ke tenda yang ditempati Khalid, mengucapkan doa selamat kepadanya dan menikmati hidangan ala kadarnya.
Belum lagi mereka menghabiskan makanan sederhana yang disajikan, genderang perang telah ditabuh bertalu-talu. Puluhan ribu pasukan Romawi Timur, barisan demi barisan, maju menyerbu ke tengah gelanggang pertempuran. Pasukan Islam, barisan demi barisan, menyambut serbuan pasukan musuh dengan pekikan takbir.
Sebelum pertempuran besar pecah, seorang jagoan perang pasukan Romawi maju ke depan dan menantang perang tanding. Sahabat Abu Jandal bin Suhail bin Amru Al-Amiri keluar dari barisan Islam untuk melayani tantangan itu. Namun Abu Ubaidah bin Jarah selaku komandan pasukan mencegahnya. Ia memerintahkan Habib bin Maslamah untuk maju berduel. Pertempuran satu lawan satu terjadi dengan ganas, sampai akhirnya musuh tewas oleh tebasan Habib bin Maslamah. Habib pun kembali ke barisan dengan diiringi pekikan takbir pasukan Islam.
Seorang jagoan perang pasukan Romawi kembali maju ke depan dan melayangkan tantangan duel. Kali ini Khalid bin Said maju ke depan menyambut tantangan. Keduanya terlibat duel yang dahsyat. Jagoan Romawi itu berhasil menebas Khalid bin Said, hingga ia rebah, gugur sebagai syahid pertama di medan perang Marj Shufar. Subhanallah, pengantin baru itu mendapat kemuliaan sebagai pelopor pada syuhada’.
Perang tanding berakhir dengan imbang, seorang prajurit muslim gugur dan seorang prajurit Romawi tewas. Perang besar antara kedua pasukannya akhirnya tak terhindarkan lagi. Kedua belah pasukan telah bertemu dan berduel dalam jarak rapat. Tidak ada bidikan anak panah, tidak ada lemparan tombak, yang ada hanyalah gemerincing pedang beradu pedang, dan jeritan orang yang tertebas pedang, gugur atau luka di medan perang pinggiran sungai Marj Shufar.
Adapun sang pengantin perempuan, Ummu Hakim, sungguh ketabahan dan keberaniannya luar biasa. Mengetahui suami yang baru dikenalnya satu malam telah gugur sebagai syahid pertama di medan laga, ia segera melakukan ‘idah. Dikenakannya kain hitam, disandangnya baju besi pelindung, dan dicabutnya tiang tenda. Ia menebas ke kanan dan ke kiri, memukul ke depan dan belakang, menusuk setiap prajurit Romawi yang lolos sampai ke perkemahan pasukan Islam. Subhanallah, Allahu akbar, dalam perang itu sang pengantin perempuan menewaskan sembilan prajurit Romawi.
Perang Marj Shuffar terjadi di bulan Muharram 14 Hijriyah, pada masa khalifah Umar bin Khathab. Kaum muslimin meraih kemenangan gemilang dalam pertempuran itu. Sedangkan sang pengantin baru menemukan kedudukan mulia yang selama ini senantiasa dicita-citakannya, gugur sebagai syahid.
***
Khalid bin Sa’id memiliki dua orang saudara laki-laki yang juga masuk Islam. Setelah Khalid masuk Islam dan berhijrah ke Habasyah, saudaranya yang bernama Amru bin Said ikut masuk Islam di Makkah. Dua tahun kemudian ia turut berhijrah ke Habasyah bersama istrinya, Fatimah binti Shafwan bin Umayyah.
Kedua bersaudara, Khalid dan Amru itu meninggalkan Habasyah dan berangkat ke Madinah bersama seluruh kaum muslimin di Habasyah pada tahun 7 Hijriyah. Setiba di Madinah, keduanya segera menulis surat kepada saudaranya yang bernama Abban bin Sa’id agar segera masuk Islam dan berhijrah ke Madinah. Abban segera masuk Islam dan berangkat hijrah ke Madinah, sebelum terjadinya penaklukan Makkah.
Amru bin Said sendiri menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dalam umrah qadha’, perang penaklukan Makkah, perang Hunain, perang Thaif dan perang Tabuk. Sementara itu pada tahun 9 hijriyah, Abban diangkat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam sebagai pejabat zakat di daerah Bahrain.
Ketiga bersaudara Khalid bin Said, Amru bin Said dan Abban bin Said telah diangkat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam sebagai pejabat di beberapa wilayah Islam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam wafat dan Abu Bakar Ash-Shidiq diangkat sebagai khalifah, ketiga bersaudara itu kembali ke Madinah.
Khalifah hendak mengangkat mereka sebagai pejabat kembali, karena orang-orang yang diangkat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang-orang yang paling cakap dan layak memegang amanah jabatan. Namun ketiganya menolak tawaran jabatan itu. Mereka lebih memilih berjihad di medan perang Syam.
Dari Amru bin Said Al-Asydaq bahwasanya paman-pamannya, yaitu Khalid bin Said, Abban bin Said dan Amru bin Said kembali dari jabatan mereka ketika sampai kepada mereka berita meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Abu Bakar Ash-Shidiq berkata,
مَا أَحَدٌ أَحَقُّ بِالعَمْلِ مِنْ عُمَّالِ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ارْجِعُوا إِلَى أَعْمَالِكُم.
“Tidak ada yang lebih layak memegang jabatan selain dari para pejabat yang diangkat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Kembalilah kalian kepada jabatan kalian!”
Namun ketiganya menolak. Mereka justru berangkat berjihad ke negeri Syam, sampai mereka semua gugur di sana. Mereka lebih memilih jihad fi sabilillah, walau sebagai prajurit biasa, daripada jabatan tinggi.
Amru bin Said dan Abban bin Said gugur dalam pertempuran Ajnadin, bulan Jumadil Ula 13 Hijriyah pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq. Sedangkan Khalid bin Said gugur dalam pertempuran Marj Shufar, bulan Muharram 14 Hijriyah pada masa khalifah Umar bin Khathab. Semoga Allah meridhai mereka, menerima amal mereka dan menempatkan mereka di surga Firdaus yang tertinggi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi:
Muhammad bin Sa’ad Al-Hasyimi Al-Bashri, At-Thabaqat Al-Kubra, 4/70-76, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cet. 1, 1410 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)