(Arrahmah.com) – Sejarah Islam mencatat sosok ulama dan ahli ibadah ini sebagai orang pertama yang mengumandangkan adzan di negeri Transoxiana, wilayah Asia Tengah yang berada di belakang sungai Amu Darya dan Syr Darya. Sekarang ini, sebagian besar negeri Transoxiana telah menjadi negara Uzbekistan, dan sebagian kecilnya menjadi wilayah negara Kazakhstan, Tajikistan dan Turkmenistan. Di antara kota-kota pentingnya adalah Bukhara, Samarkand, Shaghad dan Taskent.
Ia dilahirkan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam namun tidak pernah bertemu beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam. Ia menginjak usia remaja dan masuk Islam pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu. Hal itu karena status dirinya sebagai seorang budak milik seorang wanita Bani Tamim dan baru dimerdekakan pada zaman khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu.
Nama lengkapnya adalah Rufai’ bin Mihran Ar-Riyahi Al-Bashri, biasa dipanggil dengan nama julukan Abu’ Aliyah Ar-Riyahi. Setelah dimerdekakan oleh tuannya, ia langsung mempergunakan waktunya untuk menimba ilmu dari para sahabat senior, tekun beribadah kepada Allah dan menyertai pasukan jihad ke negeri Transoxiana.
Ia belajar hadits kepada para ulama sahabat senior; Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abu Dzar Al-Ghiffari, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Aisyah ummul mukminin, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Ayyub Al-Anshari, Abdullah bin Abbas dan lain-lain radhiyallahu ‘anhum.
Ia hafal Al-Qur’an dan menyetorkan hafalannya kepada ulama qira’ah sahabat; Umar bin Khathab, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu. Semangat belajarnya telah tumbuh sejak ia masih menjadi budak. Bersama para budak lainnya, ia menekuni tilawah dan hafalan Al-Qur’an di waktu malam, setelah seharian bekerja melayani tuannya.
Ia menuturkan, “Pada waktu itu kami adalah para budak. Di antara kami ada yang bekerja untuk membayar biaya pembebasan dirinya kepada tuannya. Di antara kami ada juga yang masih bekerja melayani tuannya. Kebiasaan kami, para budak, adalah mengkhatamkan Al-Qur’an setiap malam. Hal itu terasa berat bagi kami, sehingga satu sama lain saling mengeluh. Maka kami menemui para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ternyata mereka mengajari kami untuk mengkhatamkan Al-Qur’an tiap pekan sekali. Kami pun bisa shalat malam dan tetap tidur, sehingga tidak lagi terasa berat bagi kami.”
Selain menghafal dan mempelajari Al-Qur’an, ia juga tekun menghafal dan mempelajari hadits. Ia menuturkan, “Saya dahulu rela mengadakan perjalanan berhari-hari demi mendengarkan hadits dari seseorang. Pertama kali aku akan melihat tatacara shalatnya. Jika aku mendapatinya melaksanakan shalat dengan baik, aku akan tinggal bersamanya untuk mendengarkan hadits darinya. Namun jika aku lihat ia menelantarkan shalatnya, aku akan segera pulang dan tidak mendengarkan hadits darinya. Aku katakan pada diriku sendiri, ia pasti lebih menelantarkan perkara selain shalat.”
Dengan ketekunan belajarnya kepada para ulama senior di kalangan sahabat, tidak heran apabila Abul Aliyah Ar-Riyahi segera menjadi sosok ulama besar tabi’in di bidang tafsir, hadits dan fiqih. Sejarawan Islam dan ulama hadits, imam Adz-Dzahabi menulis tentang dirinya, “Al-Imam (sang ulama), al-muqri’ (guru pengajar qira’ah dan hafalan Al-Qur’an), al-hafizh (ulama hadits yang hafal puluhan ribu hadits), al-mufassir (ulama tafsir), Abul Aliyah Ar-Riyahi Al-Bashri, seorang tokoh ulama besar.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4/207)
Meski telah menjadi seorang ulama besar pada zaman sahabat dan tabi’in, Abul Aliyah adalah seorang yang rendah hati, jujur, sedikit bicara, tidak suka popularitas dan tidak ingin menonjolkan dirinya.
Ashim Al-Ahwal menuturkan, “Jika Abul Aliyah sedang duduk lalu datang satu dua orang untuk mengobrol dengannya, ia akan mengobrol dengan mereka. Namun jika yang datang dan duduk mengobrol bersamanya telah melebihi empat orang, ia akan bangun dan meninggalkan mereka.”
Tentang pentingnya sedikit bicara dan kejujuran, Abul Aliyah menuturkan kepada orang-orang yang hidup di zamannya, “Kalian melakukan lebih banyak shalat dan puasa disbanding orang-orang sebelum kalian, namun ucapan dusta telah menjalar ke lidah-lidah kalian.”
Tentang pentingnya keikhlasan dan tidak menonjolkan diri, Abul Aliyah menuturkan, “Aku telah belajar menulis dan Al–Qur’an, namun keluargaku tidak mengetahuinya sama sekali dan memang di bajuku tidak pernah ada noda setetes tinta sekalipun.”
Tentang caranya belajar dan menghafal Al-Qur’an, Abul Aliyah menuturkan, “Pelajarilah Al-Qur’an lima ayat demi lima ayat, karena hal itu lebih mudah untuk kalian hafal. Dahulu malaikat Jibril juga menurunkan lima ayat lima ayat (sedikit demi sedikit, pent) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.”
Saat sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjadi gubernur Basrah pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia sering mengundang dan memuliakan Abul Aliyah di hadapan orang-orang Quraisy yang terhormat. Ibnu Abbas mendudukkan Abul Aliyah bersama dirinya di atas dipan gubernur Kufah, padahal orang-orang Quraisy yang terhormat duduk di bawah. Ketika orang-orang Quraisy itu memicingkan matanya dan merasa iri dengan Abul Aliyah, Ibnu Abbas berkomentar, “Begitulah ilmu, ia akan menambah kemuliaa bagi orang yang mulia dan mendudukkan para raja di atas dipan kemuliaan.”
Abul Aliyah dikenal memegang kuat sunnah dan menjauhi bid’ah. Ia turut serta dalam jihad pasukan Islam menaklukkan bangsa-bangsa kafir di Khurasan dan negeri Transoxiana, namun ia tidak mau turut serta dalam peperangan Shiffin antara khalifah Ali bin Abi Thalib dan gubernur Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhum.
Imam Abu Bakr bin Abu Daud berkata: “Sepeninggal generasi sahabat, tidak ada yang lebih paham tentang Al-Qur’an melebihi Abul Aliyah, kemudian Sa’id bin Jubair.” (Siyar A’lam An-Nubala’, 4/208)
Seorang wanita yang shalihah dan dermawan di Bashrah telah memerdekakan Abul Aliyah dan menempatkannya di masjid agar bebas belajar dan beribadah kepada Allah Ta’ala. Wanita itu tidak menginginkan hak wala’ (hak mewarisi harta dari seorang budak yang telah dimerdekakakannya) Abul Aliyah. Peristiwa itu sangat menyentuh Abul Aliyah, sehingga ia berwasiat jika telah meninggal; sepertiga hartanya diinfakkan untuk jihad fi sabilillah, sepertiga sisanya diinfakkan untuk ahlul bait nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan sepertiga terakhir diinfakkan kepada fakir-miskin di kota Bashrah.
Menurut imam Bukhari dan sejumlah sejarawan Islam lainnya, imam Abul ‘Aliyah Ar-Riyahi wafat pada tahun 93 H. Di antara nasehat emasnya, imam Abul Aliyah mengatakan:
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi diri-Nya sendiri bahwa barangsiapa beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberinya petunjuk. Bukti atas hal itu dalam kitab Allah adalah firman-Nya,
{وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ}
“Dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun [64]:11)
Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi diri-Nya sendiri bahwa barangsiapa berserah diri kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (kebutuhan)nya. Bukti atas hal itu dalam kitab Allah adalah firman-Nya,
{وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ}
“Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah (setelah berusaha), niscaya Allah akan mencukupinya.”(QS. Ath-Thalaq [65]: 3)
Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi diri-Nya sendiri bahwa barangsiapa memberi pinjaman (berinfak) kepada Allah niscaya Allah akan memberinya balasan. Bukti atas hal itu dalam kitab Allah adalah firman-Nya,
{مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضاً حَسَناً، فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيْرَةً}
“Barangsiapa memberikan kepada Allah pinjaman (infak) yang baik, niscaya Allah akan melipat gandakan untuknya dengan balasan yang berlipat kali banyaknya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 245)
Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi diri-Nya sendiri bahwa barangsiapa berlindung dari siksa Allah niscaya Allah akan melindunginya. Bukti atas hal itu dalam kitab Allah adalah firman-Nya,
{وَاعْتَصِمُوا بَحْبِلِ اللهِ جَمِيْعاً}
“Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah!” (QS. Ali Imran [3]: 103) Berpegang teguh adalah percaya sepenuhnya kepada Allah.
Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagi diri-Nya sendiri bahwa barangsiapa berdoa kepada Allah niscaya Allah akan mengabulkannya. Bukti atas hal itu dalam kitab Allah adalah firman-Nya,
{وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي، فَإِنِّي قَرِيْبٌ، أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ}
“Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwa Aku dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia meminta.” (QS. Al-Baqarah [2]: 186)
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib almajdi/arrahmah.com)