(Arrahmah.com) – Masa kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya dua tahun saja, 99-101 H. Meski demikian Khilafah Umawiyah pada masa tersebut mencapai puncak kejayaan, keadilan, kemakmuran dan keamanan. Para ulama sejarah sampai menahbiskan beliau sebagai khulafa’ rasyidin kelima.
Dalam memerintah, khalifah Umar bin Abdul Aziz sangat selektif memilih pejabat negara. Hanya orang yang bertakwa, berilmu, berakhlak mulia dan ahli di bidangnya saja yang diangkatnya sebagai pejabat. Dengan bantuan para pejabat yang bertakwa, berilmu, jujur, amanah dan ahli di bidangnya tersebut khalifah mampu menegakkan kebenaran dan keadilan.
Salah satu pejabat yang diangkat oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah Maimun bin Mihran Al-Jazari. Semula Maimun bin Mihran Al-Jazari adalah seorang budak yang kemudian dimerdekakan oleh tuannya di Kufah. Setelah merdeka, Maimun bin Mihran giat menuntut ilmu hingga menjadi seorang ulama besar. Ia kemudian menetap di kota Raqqah, Irak.
Di antara guru tempat belajar Maimun bin Mihran dari generasi sahabat adalah Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum. Adapun di antara gurunya dari generasi tabi’in senior adalah khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Nafi’ mantan budak Ibnu Umar. Dengan karunia Allah dan kesungguhan belajar, Maimun bin Mihran menjadi seorang ulama, mufti dan ahli ibadah di zamannya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengangkat Maimun bin Mihran sebagai qadhi dan jabil kharaj di wilayah Jazirah, daerah Irak yang berada di antara sungai Eufrat dan sungai Tigris. Qadhi adalah jabatan hakim yang memutuskan perkara masyarakat. Jabil kharaj adalah jabatan penarik kharaj, yaitu pajak hasil bumi yang ditarik dari kafir dzimmi yang menjadi warga negara di negara Islam.
Saat khalifah Umar bin Abdul Aziz menurukan SK pengangkatan itu, Maimun bin Mihran berusia sekitar 59 tahun. Bukannya gembira dengan jabatan tinggi yang akan dipegangnya, Maimun bin Mihran justru menolaknya. Maimun mengatakan kepada khalifah Umar, “Aku hanyalah orang tua renta yang lemah, namun Anda membebaniku untuk memutuskan perkara di antara masyarakat.”
Mendapat penolakan itu, khalifah Umar mengatakan dengan tegas, “Aku tidak membebanimu dengan pekerjaan yang memberatkan dirimu. Tariklah harta yang baik dari kharaj dan putuskanlah apa yang menurut anda adalah sebuah kebenaran! Jika ada perkara yang samar dan sulit bagimu, maka adukanlah perkara itu kepadaku! Jika setiap kali ada perkara yang berat, manusia meninggalkan perkara tersebut, niscaya tidak akan tegak urusan agama maupun urusan dunia!” (Siyaru A’lam An-Nubala’, 5/74)
Dalam menjalankan tugasnya, Maimun bin Mihran dicatat oleh tinta emas sejarah sebagai pejabat yang jujur, amanah, disiplin dan bertanggung jawab. Ia memegang teguh petuahnya sendiri,
لاَ يَكُوْنُ الرَّجُلُ تَقِيّاً حَتَّى يَكُوْنَ لِنَفْسِهِ أَشَدَّ مُحَاسَبَةً مِنَ الشَّرِيْكِ لِشَرِيْكِهِ، وَحَتَّى يَعْلَمَ مِنْ أَيْنَ مَلْبَسُهُ وَمَطْعَمُهُ وَمَشْرَبُهُ.
“Seseorang tidak akan menjadi orang yang bertakwa sehingga ia lebih ketat mengawasi (mengoreksi) dirinya sendiri melebihi ketatnya pengawasan seorang pebisnis terhadap partner bisnisnya; sampai ia mengetahui dengan pasti dari mana pakaiannya, makanannya dan minumannya (dari sumber yang halal atau haram)?” (Siyaru A’lam An-Nubala’, 5/74)
Saudaraku seislam dan seiman….
Begitulah kehidupan orang-orang shalih yang telah membawa kaum muslimin pada puncak kejayaan di dunia pada masanya. Merekalah yang telah menegakkan kebenaran dan keadilan di seluruh wilayah khilafah Islamiyah. Merekalah yang membawa rakyat, baik muslim maupun kafir dzimmi, hidup dengan aman, tentram, makmur dan bahagia.
Tugas hakim adalah memutuskan kebenaran dan memberantas kezaliman berdasar ilmu dan bukti-bukti. Standar kebenaran adalah Al-Qur’an dan as-sunnah. Jika hakim menetapkan perkara berdasar hukum positif buatan manusia yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan as-sunnah, bahkan bertentangan dengan Al-Qur’an dan as-sunnah, niscaya ia telah menegakkan kezaliman dan hukum jahiliyah, bahkan menegakkan kekafiran.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59) أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (61)
Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan para pemimpin kalian. Jika kalian berselisih dalam satu masalah maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul-Nya (as-sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku beriman kepada apa (wahyu Allah) yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.
Dan apabila dikatakan kapada mereka, “Marilah kalian tunduk kepada hukum yang telah diturunkan Allah dan kepada hukum rasul!” niscaya kalian melihat orang-orang munafik menghalangi manusia sekuat-kuatnya darimu. (QS. An-Nisa’ [4]: 58-61)
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim (pemberi keputusan) dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusanmu dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ (4): 65)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. (QS. Al-Maidah [5]: 45)
Seorang hakim harus memutuskan perkara berdasar ilmu dan bukti-bukti yang kuat. Ia tidak boleh memutuskan perkara berdasar hawa nafsu dan kepentingan belaka. Apalagi memutuskan perkara berdasar suap. Seorang hakim yang memutuskan perkara dengan hukum positif selain Al-Qur’an dan as-sunnah, atau memutuskan perkara berdasar hawa nafsu, kepentingan dan suap niscaya termasuk golongan hakim yang masuk neraka.
Adapun petugas pajak hanya berhak mengambil pajak berupa zakat, jizyah (pajak kepala atas kafir dzimmi yang menjadi warga negara Islam) atau kharaj (pajak hasil bumi atas kafir dzimmi yang menjadi warga negara Islam) sesuai aturan Al-Qur’an dan as-sunnah. Petugas pajak hanya berhak mengambilnya sesuai jumlah, batas waktu dan jenis harta yang diatur oleh Al-Qur’an dan as-sunnah.
Ia tidak boleh mengambil zakat, jizyah atau kharaj melanggar ketentuan Al-Qur’an dan as-sunnah. Ia tidak boleh mengambil sebelum waktunya, atau di luar jenis yang harus dibayar, atau melebihi kadar yang wajib dibayar. Ia harus jujur dan amanah, tidak melakukan kebohongan, penipuan, kecurangan dan kezaliman demi memperkaya diri sendiri.
Jika ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan as-sunnah itu dilanggar, niscaya ia telah melakukan kejahatan, kezaliman, pengkhianatan dan perusakan. Ia telah memakan harta haram. Khalifah harus memberikan sanksi yang tegas dan berat agar ia jera. Dan di akhirat, balasan Allah atas orang-orang yang zalim, jahat dan pengkhianatan sangatlah pedih.
Dari Buraidah bin Hashib radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda,
الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ، وَاثْنَانِ فِي النَّارِ، فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ، فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ “
“Hakim itu ada tiga macam. Satu macam hakim berada di surga dan dua macam hakim berad di neraka. Adapun hakim yang berada di surga adalah orang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan dengan kebenaran tersebut. Adapun orang yang mengetahui kebenaran namun memutuskan perkara secara zalim (curang), maka ia berada di neraka. Demikian pula orang yang memutuskan perkara di antara manusia atas dasar kebodohan (tidak mengetahui kebenaran), maka ia berada di neraka.” (HR. Abu Daud no. 3573, Tirmidzi no. 1322 dan Ibnu Majah no. 2315)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي»
Dari Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap.” (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337 dan Ibnu Majah no. 2313)
Saudaraku seislam dan seiman…
Jika para hakim, penarik pajak dan pejabat negara menjalankan tugasnya sesuai tuntutan Al-Qur’an dan as-sunnah dengan penuh rasa jujur, amanah, disiplin dan tanggung jawab; niscaya bangsa dan negara akan aman, makmur dan bahagia. Jika para hakim, penarik pajak dan pejabat negara menjalankan tugasnya sesuai tuntunan hukum positif yang menyelisihi Al-Qur’an dan as-sunnah, apalagi disertai kecurangan, penipuan, kezaliman, korupsi dan kolusi niscaya bangsa dan negara akan bangkrut, hancur dan ambruk.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib almajdi/arrahmah.com)