(Arrahmah.com) – Ini adalah kisah dialog antara seorang guru dan murid tentang saripati pelajaran yang bisa dipetik oleh si murid selama bertahun-tahun belajar kepada sang guru. Dialog ini bak ujian akhir kelulusan bagi si murid.
Bertindak sebagai guru dalam kisah ini adalah seorang ulama yang shalih, ahli ibadah dan zuhud di kota Balkh, Afgahnistan bernama Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi. Adapun murid yang sekian tahun belajar kepadanya adalah Hatim Al-Asham bin Unwan bin Yusuf Al-Balkhi.
Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi bertanya, “Sejak engkau menemaniku, ilmu apa saja yang telah engkau pelajari dariku?”
Hatim bin Unwan Al-Balkhi menjawab, “Enam perkara. Pertama, aku melihat orang-orang berada dalam keraguan tentang urusan rizki mereka. Maka aku pun bertawakal (berserah diri kepada Allah setelah bekerja mencari nafkah) kepada Allah semata, sebab Allah Ta’ala telah berfirman,
{وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا}
“Dan tidak ada seekor binatang pun yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya.” (QS. Hud [11]: 6)
Kedua, aku melihat setiap orang memiliki teman akrab yang kepadanya ia menceritakan rahasianya dan mengadukan problem hidupnya. Maka aku menjadikan amal kebaikan sebagai kawan akrabku agar ia menemaniku saat aku diadili oleh Allah dan menyeberangi shirat bersamaku.
Ketiga, aku melihat setiap orang memiliki musuh. Barangsiapa menggunjing diriku, maka ia bukan musuhku. Barangsiapa yang mengambil sesuatu hak dariku, maka ia bukan musuhku. Musuhku adalah orang yang jika aku sedang melakukan amal ketaatan, ia justru menyuruhku untuk bermaksiat kepada Allah. Dialah Iblis dan bala tentaranya, maka aku memusuhiku mereka dan memerangi mereka.
Keempat, aku melihat setiap orang dikejar-kejar oleh seorang pencari, yaitu malaikat kematian. Maka aku menyiapkan diriku sepenuhnya untuk menyambut kehadirannya.
Kelima, aku melihat manusia. Ternyata aku menyukai si A dan membenci si B. Orang yang aku sukai ternyata tidak memberiku apa-apa. Sedangkan orang yang aku benci ternyata tidak mengambil apa-apa dariku. Maka aku bertanya-tanya dalam hati, darimana datangnya kebencian itu? Ternyata dari rasa iri-dengki. Maka aku mencampakkan rasa iri-dengki sehingga aku bisa mencintai semua orang. Maksudku, apapun hal yang aku tidak sukai untuk diriku sendiri, maka aku pun tidak menyukainya untuk semua orang.
Keenam, aku melihat setiap orang memiliki rumah dan tempat menetap. Aku melihat tempat menetapku adalah kuburan (alam kubur). Maka amal kebaikan apapun yang aku mampu lakukan, senantiasa aku lakukan untuk diriku demi memakmurkan kuburanku.”
Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi mengomentari jawaban murid setianya tersebut dengan sebuah rekomendasi. Katanya, “Pegang teguhlah keenam hal itu!”
Saudaraku seislam dan seiman…
Bertahun-tahun Hatim Al-Asham bin Unwan Al-Balkhi berguru kepada Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi. Jika seluruh pelajaran yang diterimanya dituangkan dalam lembaran-lembaran jawaban ujian, ternyata hanya berupa enam pelajaran tersebut.
Seorang yang bijaksana tidak akan melihat banyak-sedikitnya pelajaran. Hal yang lebih penting dari itu adalah ilmu yang diamalkan. Meski hanya enam pelajaran di atas, jika dipegang teguh dan diamalkan niscaya telah cukup sebagai bekal hidup sebelum mati.
Hatim Al-Asham bin Unwan bin Yusuf Al-Balkhi adalah seorang ulama rabbani, tokoh teladan, ahli ibadah, orang zuhud dan pemberi nasehat yang bijaksana. Ulama besar hadits dan fiqih yang menjadi teladan ahlus sunnah wal jama’ah, imam Ahmad bin Hambal Asy-Syaibani sekalipun menyempatkan diri untuk bertanya dan meminta nasehat-nasehatnya.
Ulama hadits dan sejarawan Islam, imam Adz-Dzahabi menulis tentang diri Hatim Al-Asham, “Ia memiliki perkataan yang agung dalam hal zuhud, nasehat-nasehat dan hikmah-hikmah. Ia bahkan dijuluki Luqmanul Hakim-nya umat Islam.” Hatim Al-Asham wafat pada tahun 237 H.
Referensi:
Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam An-Nubala’, 11/484-487, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H.
(muhib almajdi/arrahmah.com)