(Arrahmah.com) – Seluruh kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung berbagai pelajaran berharga bagi umatnya. Tidak saja kehidupan beliau setelah diangkat menjadi penutup seluruh nabi dan rasul, melainkan juga kehidupan beliau sebelum itu. Sejak beliau dilahirkan sampai menjelang diangkat menjadi nabi dan rasul.
Ratusan bahkan ribuan karya tentang sejarah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam telah ditulis oleh para ulama dan sejarawan Islam, sejak abad pertama Hijriyah sampai abad XV Hijriyah ini. Siapa yang mengkaji karya-karya tersebut niscaya akan mampu memetik banyak pelajaran berharga dalam berbagai aspek kehidupan dari ketauladan hamba yang paling dikasihi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam kesempatan ini, kita akan memutar kembali memori kita tentang salah satu momen penting dalam kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Sebuah momen yang sangat besar pengaruhnya bagi perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, sekaligus besar pelajarannya bagi kita selaku umatnya. Sebuah momen yang sangat besar, namun seringkali kurang diperhatikan karena ‘terselip’ dan kalah pamornya dibandingkan momen-momen besar lainnya semisal perang Badar atau penaklukan kota Makkah. Sebuah momen yang dianggap sangat penting oleh Allah Ta’ala, sehingga diulang sampai dua kali, bahkan menurut sebagian sejarawan Islam diulang sampai tiga kali.
Momen yang sangat besar, namun seringkali kurang mendapat porsi kajian yang memadai. Momen tersebut sekali terjadi para masa jahiliyah, sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam diangkat menjadi nabi dan rasul. Dan momen tersebut terjadi lagi setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam diangkat menjadi nabi dan rasul. Momen apakah yang kita maksudkan?
Momen pertama:
Pembelahan dada Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pada masa balita
Para pakar sejarah dan ulama hadits menyebutkan bahwa sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab yang hidup menggembala ternak di daerah pedalaman untuk menawarkan jasa menyusukan bayi ke daerah ‘perkotaan’ bangsa Arab. Dari menyusui bayi orang-orang Arab yang hidup di ‘perkotaan’ itulah, orang-orang Arab pedalaman itu mendapatkan tambahan penghasilan.
Suatu kali daerah pedalaman mengalami masa paceklik panjang. Rumput-rumput hangus terbakar panas matahari, sumber-sumber air mengering, dan peternakan di ambang kemusnahan. Suku Bani Sa’ad bin Bakar yang hidup di pedalaman dari peternakan mau tak mau harus mencari jalan keluar dari bencana kekeringan dan kelaparan yang telah nampak di depan mata mereka.
Bersama para suami, kaum istri dari suku Bani Sa’ad bin Bakar berangkat ke kota Makkah untuk menawarkan jasa menyusui bayi-bayi penduduk Makkah. Di antara para ibu di kota Makkah yang menawarkan bayinya untuk disusukan, nampak Aminah binti Wahab yang menawarkan bayinya bernama Muhammad kepada para wanita Bani Sa’ad. Satu per satu wanita Bani Sa’ad mendapat tawaran menyusui Muhammad, namun satu per satu pula mereka menolak tawaran itu.
Halimah binti Harits, wanita terakhir dalam rombongan Bani Sa’ad itu juga menolak tawaran itu. Mereka semua memiliki pemikiran yang sama, “Bayi ini sudah tidak memiliki ayah lagi. Apa yang bisa diperbuat oleh ibunya? Bagaimana ia akan membayar biasa penyusuan bayinya?” Ya, wanita-wanita Arab dusun itu datang untuk menawarkan jasa penyusuan, demi mendapatkan rizki penyambung kehidupan mereka. Jika orang tua yang menawarkan bayinya tidak memiliki kepala keluarga yang memberi jaminan nafkah, lantas siapa yang akan membayar jasa penyusuan bayi itu?
Satu per satu wanita Arab dari dusun itu mendapatkan seorang bayi yang akan disusuinya. Hanya tinggal Halimah binti Harits seorang yang belum juga mendapatkan bayi yang dimaksudkan. Mereka semua hendak kembali pulang ke perkampungan Bani Sa’ad bin Bakar. Melihat keadaan yang demikian itu, Halimah tidak ingin pulang kampung dengan tangan hampa. Kepada suaminya, Harits bin Abdul Uzza, ia pun mengatakan, “Jika aku membawa bayi yang yatim itu tentu lebih baik daripada aku pulang tanpa membawa seorang bayi pun untuk aku susui.” Dengan alasan itu, ia pun menemui Aminah binti Wahab dan membawa pulang bayi yatim bernama Muhammad bin Abdullah itu.
Halimah binti Harits As-Sa’diyah menuturkan kisahnya, “Aku pun tiba di tendaku. Saat itu aku memiliki seorang bayi yang masih kecil, demi Allah, ia tidak bisa tidur karena kelaparan. Begitu aku menaruh Muhammad pada putting payudaraku, ia dan anakku segera menyusu dengan puas sesuai kehendak Allah sampai ia kenyang dan saudara sesusuannya kenyang, lalu keduanya tertidur. Suamiku lalu mendatangi seekor kambing kami yang, demi Allah, semula tidak mengeluarkan susu walau hanya setetes. Begitu tangannya memegang puting susu kambing itu, ternyata putting itu penuh, sehingga suamiku bisa memeras susunya dengan deras. Suamiku pun datang kepadaku dan berkata: ‘Demi Allah, wahai putri Abu Dzuaib, aku yakin bayi yang baru saja kita bawa ini adalah bayi yang diberkahi.”
Suamiku lantas menceritakan peristiwa kambing kami yang kurus dan baru saja diperas susunya dengan deras. Aku pun menceritakan kepadanya puting susuku yang mengenyangkan kedua anak ini. Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan pulang ke kampung kami. Aku mengendarai seekor keledai kami yang kurus. Demi Allah, ia begitu kurus sehingga kalah dari semua keledai lainnya. Ketika aku pun menaruh Muhammad di atas keledaiku, tiba-tiba keledaiku mampu berjalan mendahului unta-unta orang lain. Orang-orang kaget dengan peristiwa itu dan berkomentar, “Demi Allah, keledaimu ini memiliki keajaiban.”
Kami pun tiba di negeri kami, negeri Sa’ad bin Bakar. Demi Allah, kami hanya mendapatkan berkah semata dari Allah. Sampai-sampai penggembala keluarga kami pulang dengan menggiring kambing-kambing kami yang kekenyangan. Padahal kambing-kambing orang-orang dari suku kami pulang dalam keadaan kurus dan lapar. Kambing-kambing mereka juga tidak mengeluarkan air susu walau hanya setetes. Mereka pun berkata, “Bagaimana kalian ini, gembalakan kambing-kambing kalian di tempat penggembala putri Abu Dzuaib menggembalakan kambing-kambingnya!”
Suatu hari anakku dan Muhammad bermain-main bersama kambing-kambing kami di belakang tenda kami. Tiba-tiba anakku datang tergesa-gesa dan berkata, “Anak suku Quraisy itu telah dibunuh!” Aku dan suamiku segera mencarinya ke belakang rumah. Ia menemui kami dengan raut wajah yang pucat. Aku dan suamiku bergantian memeluknya.
Beberapa saat kemudian kami bertanya kepadanya, “Engkau kenapa?” Ia hanya bisa menjawab, “Aku tidak tahu. Tadi ada dua orang datang kepadaku, lalu keduanya membelah perutku dan mencucinya.”
Mendengar ceritanya itu, suamiku berkata, “Aku kira anak ini diserang (jin). Segeralah engkau mengembalikan anak ini kepada keluarganya, sebelum urusannya semakin besar saat berada di sini.” Suamiku terus mendesakku untuk berangkat ke Makkah. Atas desakan itu, aku segera membawanya kepada ibunya.
“Sebagai ibu susuannya, aku telah menyapihnya. Aku khawatir ia terkena musibah, untuk itu terimalah ia kembali.”
Ibunya bertanya, “Kenapa engkau tidak ingin merawatnya lebih lama? Bukankah dahulu engkau meminta kepadaku agar ia engkau bawa saja? Mungkin engkau mengkhawatirkan setan menyerang anakku ini. Janganlah khawatir, anakku ini dilindungi dari setan. Aku akan memberitahukan kepadamu, saat aku melahirkannya, aku melihat dari tubuhku keluar sebuah cahaya yang menerangi istana-istana Bushra di negeri Syam.” (HR. Abu Ya’la, Ath-Thabarani dan Abu Nu’aim Al-Asbahani. Imam Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid wa Mambaul Fawaid, 8/220-221 no. 13840 mengatakan: Imam Abu Ya’la dan Ath-Thabarani meriwayatkan hadits yang semakna, dan para perawi keduanya adalah orang-orang yang tsiqah)
Peristiwa pembelahan dada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pada masa kanak-kanak saat diasuh oleh keluarga Halimah bintu Harits As-Sa’diyah ini merupakan peristiwa yang dituturkan oleh semua sejarawan Islam. Peristiwa tersebut juga disebutkan dalam hadits-hadits shahih dan hadits-hadits lemah dari berbagai jalur periwayatan. Di antaranya diriwayatkan oleh imam Muslim dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ، فَأَخَذَهُ فَصَرَعَهُ، فَشَقَّ عَنْ قَلْبِهِ، فَاسْتَخْرَجَ الْقَلْبَ، فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً، فَقَالَ: هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ، ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ، ثُمَّ لَأَمَهُ، ثُمَّ أَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ، وَجَاءَ الْغِلْمَانُ يَسْعَوْنَ إِلَى أُمِّهِ – يَعْنِي ظِئْرَهُ – فَقَالُوا: إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ قُتِلَ، فَاسْتَقْبَلُوهُ وَهُوَ مُنْتَقِعُ اللَّوْنِ “، قَالَ أَنَسٌ: «وَقَدْ كُنْتُ أَرَى أَثَرَ ذَلِكَ الْمِخْيَطِ فِي صَدْرِهِ».
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam didatangi oleh malaikat Jibril saat beliau sedang bermain dengan anak-anak sebayanya. Malaikat Jibril mengambil beliau, membaringkannya, membelah dadanya, mengeluarkan jantung (hati)nya dan mengeluarkan segumpal darah yang menggantung dari dalam jantung (hati)nya. Malaikat Jibril berkata, “Ini adalah bagian setan darimu.”
Malaikat Jibril kemudian mencuci jantung (hati) beliau dalam sebuah wadah yang terbuat dari emas dengan air zamzam, kemudian menyatukan jantung (hati)nya dan mengembalikannya ke tempatnya semula.
Anak-anak sebaya yang bermain bersama beliau bergegas mendatangi ibu susuan beliau dan berkata, “Muhammad telah dibunuh!” Maka mereka beramai-ramai mendatangi beliau dan saat itu wajah beliau berubah pucat karena takut. Anas bin Malik, “Saya telah melihat bekas jahitan itu pada dada beliau.” (HR. Muslim no. 162, Ahmad no. 12221, 12506 dan 14069, Abu Ya’la no. 3374 dan 3507, Ibnu Hibban no. 6334, Abd bin Humaid no. 1308, dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3708)
Hadits shahih lainnya tentang hal itu diriwayatkan oleh imam Ibnu Ishaq dan Ahmad dari Khalid bin Ma’dan dari beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum sebagai berikut:
وَقَالَ ابْنُ إِسْحَاقَ: حَدَّثَنِي ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ، عَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ قَالُوا لَهُ: أَخْبِرْنَا عَنْ نَفْسِكَ.
قَالَ: ” نعم أَنا دَعْوَة أَبى إِبْرَاهِيم وَبُشْرَى عِيسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، وَرَأَتْ أُمِّي حِينَ حَمَلَتْ بِي أَنَّهُ خَرَجَ مِنْهَا نُورٌ أَضَاءَتْ لَهُ قُصُورُ الشَّامِ، وَاسْتُرْضِعْتُ فِي بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ، فَبَيْنَا أَنَا فِي بَهْمٍ لَنَا أَتَانِي رَجُلَانِ عَلَيْهِمَا ثِيَابٌ بِيضٌ مَعَهُمَا طَسْتٌ مِنْ ذَهَبٍ مَمْلُوءٌ ثَلْجًا، فَأَضْجَعَانِي فَشَقَّا بَطْنِي ثُمَّ اسْتَخْرَجَا قَلْبِي فَشَقَّاهُ فَأَخْرَجَا مِنْهُ عَلَقَةً سَوْدَاءَ فَأَلْقَيَاهَا، ثُمَّ غَسَلَا قَلْبِي وَبَطْنِي بِذَلِكَ الثَّلْجِ، حَتَّى إِذَا أَنْقَيَاهُ
رَدَّاهُ كَمَا كَانَ، ثُمَّ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: زِنْهُ بِعَشَرَةٍ مِنْ أُمَّتِهِ.
فَوَزَنَنِي بِعَشَرَةٍ فَوَزَنْتُهُمْ، ثُمَّ قَالَ: زِنْهُ بِمِائَةٍ مِنْ أُمَّتِهِ.
فَوَزَنَنِي بِمِائَةٍ فَوَزَنْتُهُمْ. ثُمَّ قَالَ زِنْهُ بِأَلْفٍ مِنْ أُمَّتِهِ.
فَوَزَنَنِي بِأَلْفٍ فوزنتهم، فَقَالَ: دَعه عَنْك، فو وَزَنْتَهُ بِأُمَّتِهِ لَوَزَنَهُمْ “.
Imam Ibnu Ishaq berkata, “Tsaur bin Yazid menceritakan kepadaku dari Khalid bin Ma’dan dari beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum, bahwasanya mereka pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, “Beritahukanlah perihal Anda kepada kami!”
Beliau menjawab, “Baiklah. Aku adalah buah dari doa nabi Ibrahim dan kabar gembira nabi Isa ‘alaihimas salam. Ketika ibuku mengandungku, ia melihat dari tubuhnya keluar sebuah cahaya yang menerangi istana-istana di negeri Syam. Aku kemudian disusukan pada Bani Sa’d bin Bakar. Suatu hari ketika aku sedang berada di belakang kandang kambing-kambing kami, tiba-tba datang kepadaku dua orang laki-laki yang memakai pakaian putih. Keduanya membawa sebuah wadah yang terbuat dari emas dan penuh berisikan es. Keduanya membaringkan diriku, membelah perutku, kemudian mengeluarkan jantung (hati)ku, lalu membelahnya dan mengeluarkan dari dalamnya satu gumpalan darah hitam, lalu keduanya membuangnya. Keduannya lalu mencuci jantung (hati)ku dan perutku dengan air es. Ketika keduanya telah selesai mencucui sampai bersih, keduanya mengembalikannya seperti semula.
Salah seorang di antara keduanya lalu berkata kepada kawannya, “Timbanglah ia dengan sepuluh orang dari umatnya!”
Ia pun menimbang diriku dengan sepuluh orang umatku, ternyata bobotku lebih berat daripada bobot mereka.
Salah seorang di antara keduanya lalu berkata kepada kawannya, “Timbanglah ia dengan seratus orang dari umatnya!”
Ia pun menimbang diriku dengan seratus orang umatku, ternyata bobotku lebih berat daripada bobot mereka.
Salah seorang di antara keduanya lalu berkata kepada kawannya, “Timbanglah ia dengan seribu orang dari umatnya!”
Ia pun menimbang diriku dengan seribu orang umatku, ternyata bobotku lebih berat daripada bobot mereka.
Salah seorang di antara keduanya lalu berkata kepada kawannya, “Biarkanlah ia, sebab seandainya engkau menimbang dirinya dengan seluruh umatnya, niscaya bobotnya lebih berat daripada bobot mereka semua.” (HR. Ibnu Ishaq dalam Sirah Ibnu Ishaq, 1/51. Imam Ibnu Katsir dalam As-Sirah An-Nabawiyah, 1/227-228 berkata: Sanad hadits ini bagus dan kuat)
Hadits-hadits tentang peristiwa itu juga diriwayatkan oleh imam Ad-Darimi, Al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Abu Nu’aim Al-Asbahani, Al-Baihaqi, Ibnu ‘Asakir, Ibnu Abi Ashim dan lain-lain. Kebenaran berita tentang hal itu tidak diragukan lagi. Semua kitab sirah nabawiyah juga telah menyebutkannya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam antara lain menuturkan:
فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: افْلِقْ صَدْرَهُ. فَهَوَى أَحَدُهُمَا إِلَى صَدْرِي فَفَلَقَهَا فِيمَا أَرَى بِلَا دَمٍ وَلَا وَجَعٍ، فَقَالَ لَهُ: أَخْرِجِ الْغِلَّ وَالْحَسَدَ. فَأَخْرَجَ شَيْئًا كَهَيْئَةِ الْعَلَقَةِ، ثُمَّ نَبَذَهَا فَطَرَحَهَا، فَقَالَ لَهُ: أَدْخِلِ الرَّحْمَةَ وَالرَّأْفَةَ. فَإِذَا مِثْلُ الَّذِي أَخْرَجَ شَبِيهَ الْفِضَّةِ، ثُمَّ هَزَّ إِبْهَامَ رِجْلِي الْيُمْنَى فَقَالَ: اغْدُ وَاسْلَمْ. فَرَجَعْتُ بِهَا أَغْدُو بِهَا رِقَّةً عَلَى الصَّغِيرِ وَرَحْمَةً عَلَى الْكَبِيرِ» “.
“Salah seorang (malaikat) itu berkata kepada kawannya (malaikat lainnya): “Belahlah dadanya!” Maka salah satu dari keduanya mendekat kepada dadaku dan membelahnya, tanpa keluar darah dan tanpa ada rasa sakit. Kawannya berkata, “Keluarkanlah kedengkian dan rasa iri!” Maka kawannya mengeluarkan sesuatu seperti segumpal darah hitam dan membuangnya. Kawannya berkata kembali, “Masukkan kepadanya rasa kasih sayang dan rasa cinta!” Ternyata seperti yang dikeluarkan, menyerupai perak. Ia kemudian menggoyang-goyang jempol kaki kananku dan berkata: “Pulanglah dengan selamat!” Maka aku pun kembali dengan selamat, sehingga aku menjadi orang yang mengasihi anak-anak dan menyayangi orang-orang tua.” (HR. Abdullah bin Ahmad, imam Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid wa Mambaul Fawaid, 8/223 no. 13843 berkata: Diriwayatkan oleh Abdullah (bin Ahmad) dan para perawinya tsiqah, dan mereka dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban)
Hadits riwayat Abdullah bin Ahmad tersebut memiliki kelemahan dari sisi matan (kandungan) hadits, karena menyebutkan peristiwa pembelahan dada tersebut terjadi pada saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berusia 10 tahun lebih beberapa bulan. Hal itu bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menyebutkan terjadinya peristiwa itu pada saat beliau diasuh oleh Halimah binti Harits As-Sa’diyah. Namun hadits riwayat Abdullah bin Ahmad tersebut memberikan informasi yang lebih detail tentang apa yang dikeluarkan dari hati beliau shallallahu ‘alaihi wa salam dan apa yang diisikan ke dalam hati beliau.
Dalam hadits yang lain dari Anas bin Malik disebutkan apa yang diisikan ke dalam hati beliau pada peristiwa pembelahan dada yang pertama tersebut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَخْرَجَ حَشْوَتَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ، فَغَسَلَهَا، ثُمَّ كَبَسَهَا حِكْمَةً وَنُورًا – أَوْ حِكْمَةً وَعِلْمًا -»
Dari Anas bin Malik dari Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bahwasanya malaikat Jibril mengeluarkan hati beliau ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari emas, kemudian malaikat Jibril mencucinya dan mengisinya dengan hikmah dan cahaya atau hikmah dan ilmu.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 744. Imam Al-Haitsami dalam Majmauz Zawaid wa Mambaul Fawaid, 8/223 no. 13844 berkata: Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, di dalam sanadnya ada Risydin bin Sa’ad, ia dinyatakan lemah oleh mayoritas ulama hadits)
***
Momen kedua:
Pembelahan dada Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pada malam Isra’
Para ulama hadits dan sejarawan Islam menyebutkan bahwa dada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam kembali dibelah pada malam Isra’. Dada beliau dicuci dengan air Zamzam kemudian dipenuhi dengan hikmah dan keimanan. Setelah itu beliau melakukan Isra’ dan Mi’raj bersama malaikat Jibril dengan mengendarai kuda tunggangan bernama Buraq.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan peristiwa itu sebagai berikut:
عَنْ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ صَعْصَعَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” بَيْنَا أَنَا عِنْدَ البَيْتِ بَيْنَ النَّائِمِ، وَاليَقْظَانِ – وَذَكَرَ: يَعْنِي رَجُلًا بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ -، فَأُتِيتُ بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ، مُلِئَ حِكْمَةً وَإِيمَانًا، فَشُقَّ مِنَ النَّحْرِ إِلَى مَرَاقِّ البَطْنِ، ثُمَّ غُسِلَ البَطْنُ بِمَاءِ زَمْزَمَ، ثُمَّ مُلِئَ حِكْمَةً وَإِيمَانًا، وَأُتِيتُ بِدَابَّةٍ أَبْيَضَ، دُونَ البَغْلِ وَفَوْقَ الحِمَارِ: البُرَاقُ، فَانْطَلَقْتُ مَعَ جِبْرِيلَ حَتَّى أَتَيْنَا السَّمَاءَ الدُّنْيَا،
Dari Anas bin Malik dari Malik bin Sha’sha’ah radhiyallahu ‘anhuma berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Ketika aku sedang berada di Baitullah (Masjidil Haram) dalam keadaan antara tidur dan bangun, maka dibawakan kepadaku sebuah wadah yang terbuat dari emas, penuh berisikan hikmah dan keimanan. Maka dibelah dadaku dari leher sampai bagian bawah perutku, kemudian perutku dicuci dengan air zamzam, lantas dipenuhi dengan hikmah dan keimanan. Setelah itu dibawa kepadaku sebuah kendaraan berwarna putih, yang lebih pendek dari bighal namun lebih tinggi dari keledai, yaitu kendaraan Buraq. Maka aku berangkat bersama malaikat Jibril sampai ke langit dunia….” (HR. Bukhari no. 3207 dan Muslim no. 164, dengan lafal Bukhari)
Dalam riwayat lain, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan:
لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَسْجِدِ الكَعْبَةِ، أَنَّهُ جَاءَهُ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ قَبْلَ أَنْ يُوحَى إِلَيْهِ وَهُوَ نَائِمٌ فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، فَقَالَ أَوَّلُهُمْ: أَيُّهُمْ هُوَ؟ فَقَالَ أَوْسَطُهُمْ: هُوَ خَيْرُهُمْ، فَقَالَ آخِرُهُمْ: خُذُوا خَيْرَهُمْ، فَكَانَتْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، فَلَمْ يَرَهُمْ حَتَّى أَتَوْهُ لَيْلَةً أُخْرَى، فِيمَا يَرَى قَلْبُهُ، وَتَنَامُ عَيْنُهُ وَلاَ يَنَامُ قَلْبُهُ، وَكَذَلِكَ الأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلاَ تَنَامُ قُلُوبُهُمْ، فَلَمْ يُكَلِّمُوهُ حَتَّى احْتَمَلُوهُ، فَوَضَعُوهُ عِنْدَ بِئْرِ زَمْزَمَ، فَتَوَلَّاهُ مِنْهُمْ جِبْرِيلُ، فَشَقَّ جِبْرِيلُ مَا بَيْنَ نَحْرِهِ إِلَى لَبَّتِهِ حَتَّى فَرَغَ مِنْ صَدْرِهِ وَجَوْفِهِ، فَغَسَلَهُ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ بِيَدِهِ، حَتَّى أَنْقَى جَوْفَهُ، ثُمَّ أُتِيَ بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ فِيهِ تَوْرٌ مِنْ ذَهَبٍ، مَحْشُوًّا إِيمَانًا وَحِكْمَةً، فَحَشَا بِهِ صَدْرَهُ وَلَغَادِيدَهُ – يَعْنِي عُرُوقَ حَلْقِهِ – ثُمَّ أَطْبَقَهُ ثُمَّ عَرَجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
“Awal mula malam Isra’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam dari Masjid Ka’bah adalah ada tiga orang (malaikat) yang datang kepada beliau sebelum beliau diberi wahyu, pada saat itu beliau sedang tidur di Masjidil Haram. Salah seorang (malaikat) itu bertanya, “Siapakah ia di antara mereka?” Orang (malaikat) kedua menjawab, “Ia adalah orang yang terbaik di antara mereka.” Orang (malaikat) ketiga berkata: “Bawalah orang yang terbaik di antara mereka!” Itulah kejadian malam itu.
Beliau tidak melihat mereka sampai datang suatu malam, saat itu beliau dalam keadaan mata terpejam namun hati tidak tidur, dan hati para nabi tidak pernah tidur. Mereka tidak mengajaknya berbicara, karena mereka langsung mengangkatnya dan membaringkannya di dekat sumur Zamzam. Jibril sendiri yang mengurusnya langsung. Jibril membelah antara leher bagian atas sampai tempat kalung di leher bagian bawah, sampai selesai membelah dada dan hatinya. Jibril mencucinya dengan tangannya sendiri menggunakan air Zamzam, sehingga ia selesai membersihkan hatinya. Kemudian dibawakan sebuah wadah yang terbuat dari emas, padanya ada tempat air yang juga terbuat dari emas, yang dipenuhi dengan hikmah dan keimanan. Jibril lantas memenuhi dadanya dan urat-urat kerongkongannya dengan hikmah dan keimanan, baru setelah itu mengembalikannya seperti sedia kala. Setelah itu Jibril membawanya naik ke langit dunia…” (HR. Bukhari no. 7517 dan Muslim no. 162, dengan lafal Bukhari)
***
Saudaraku seislam dan seiman….
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengalami pembelahan dada sebanyak dua kali seperti disebutkan oleh hadits-hadits shahih di atas. Sebagian ulama seperti imam Abu Nu’aim Al-Asbahani dalam Dalailun Nubuwwah dan syaikh Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah dalam As-Sirah An-Nabawiyah fi Dhau’il Qur’an was Sunnah bahkan berpendapat pembelahan dada tersebut berlangsung tiga kali, yaitu ditambah pembelahan dada pada saat beliau shallallahu ‘alaihi wa salam menerima wahyu yang pertama kali.
Hikmah apakah yang bisa kita petik dari peristiwa sejarah yang sangat penting ini?
Peristiwa pembelahan dada yang pertama. Berdasar hadits-hadits shahih tersebut, para ulama menyebutkan bahwa dalam hati setiap manusia terdapat bagian setan. Maksudnya adalah setan memiliki tempat untuk membisikkan, menaburkan dan menanamkan potensi kejahatan dan kemaksiatan ke dalam hati setiap manusia. Jika manusia lengah dan jauh dari perlindungan Allah, niscaya setan akan masuk ke dalam hatinya, menguasai hatinya, menyebar ke seluruh tubuhnya mengikuti aliran darahnya dan mengendalikan dirinya untuk menjadi seorang hamba Allah yang musyrik, atau kafir, atau murtad, atau munafik, atau fasik atau gemar berbuat maksiat.
Hati adalah raja dari seluruh anggota badan. Jika hati manusia telah dikuasai dan dikendalikan sepenuhnya oleh setan, maka otomatis anggota badan manusia tersebut hanya akan menjadi alat setan untuk melaksanakan perintah-perintah setan dan melakukan pembangkangan terhadap Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa salam. Manusia tersebut akan menjadi hamba setan dan budak hawa nafsu belaka, bukan menjadi hamba Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala memuliakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam di atas seluruh hamba-Nya dengan membuang jauh-jauh ‘bagian setan’ tersebut dari hati beliau. Hati beliau dibersihkan oleh malaikat dengan air Zamzam dan dipenuhi dengan akhlak-akhlak mulia, kebijaksanaan, cahaya, dan ilmu. Dengan itu sejak kecil beliau tumbuh menjadi sosok yang berakhlak mulia, terjaga dari pengaruh setan, menjalani kehidupan dengan kemuliaan dan kesungguhan, jauh dari kelalaian dan kesia-siaan.
Peristiwa pembelahan dada yang kedua. Malam Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa agung yang hanya dikaruniakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam semata. Dalam peristiwa Isra’, beliau melakukan perjalanan malam dari Masjidil Haram ke Masjidi Aqsha. Masjidil Haram adalah masjid yang pertama kali dibangun di muka bumi, oleh kekasih Allah nabi Ibrahim dan putranya nabi Ismail ‘alaihis salam. Masjidil Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi, oleh nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan kemudian direnovasi oleh nabi Sulaiman. Di Masjidil Aqsha, beliau bertemu dengan para nabi dan rasul terdahulu. Beliau didaulat sebagai pemimpin atas seluruh nabi dan rasul terdahulu, di mana beliau mengimami mereka dalam shalat berjama’ah.
Adapun perjalanan Mi’raj adalah perjalanan beliau ke langit yang tujuh dan ke Sidratul Muntaha untuk menghadap Allah Ta’ala, berbicara dengan Allah secara langsung dan menerima langsung perintah-Nya dari balik tabir cahaya, tanpa melalui perantaraan malaikat Jibril. Pembicaraan secara langsung dengan Allah Ta’ala di Sidratul Muntaha di atas langit yang ketujuh, merupakan keistimewaan yang hanya dikaruniakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam semata. Allah Ta’ala pun ‘hanya’ berbicara kepada nabi Musa secara langsung saat ia berada di bumi, di lembah Thuwa.
Dalam perjalanan Mi’raj itu pula, kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam diperlihatkan kehidupan alam akhirat, surga dengan penghuni-penghuninya dan neraka dengan penghuni-penghuninya. Peristiwa itu adalah peristiwa luar biasa yang sangat menggetarkan jiwa dan raga beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam. Semua kejadian yang luar biasa, tanda-tanda kebesaran Allah dan bukti-bukti nyata kekuasaan-Nya dipaparkan demikian detail kepada beliau. Semua hal itu menuntut adanya kejernihan jiwa, kelapangan dada dan keteguhan hati beliau. Itulah hikmah disucikannya hati beliau dengan air Zamzam dan dipenuhi dengan keimanan dan kebijaksanaan.
Saudaraku seislam dan seiman….
Kita adalah manusia biasa yang penuh dengan salah dan dosa. Jiwa kita kotor, hati kita keruh dan tidak kokoh, mudah goyah oleh dorongan hawa nafsu, bujukan setan, tekanan keadaan dan faktor-faktor lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengalami dua kali pembelahan dada dan ‘pengisian’ hati, karena di pundak beliau terdapat tugas yang begitu berat untuk membimbing seluruh umat manusia dan jin ke jalan keselamatan di dunia dan akhirat.
Sebagai umatnya, kita juga memiliki tanggung jawab, meski tidak sebesar tanggung jawab beliau, karena kita ‘tinggal’ melanjutkan apa yang telah beliau tunaikan. Ada tanggung jawab membimbing dan menyelamatkan diri pribadi kita. Ada tanggung jawab membimbing dan menyelamatkan keluarga dan kerabat kita. Ada tanggung jawab membimbing dan menyelamatkan tetangga, kawan, dan masyarakat kita. Ada tanggung jawab membimbing dan menyelamatkan bangsa kita. Ada tanggung jawab membimbing dan menyelamatkan masyarakat dunia.
Dari kejahiliyahan kepada Islam. Dari kekufuran kepada keimanan. Dari kesyirikan kepada tauhid. Dari kemungkaran kepada kema’rufan. Dari kebid’ahan kepada kesunnahan. Dari kemaksiatan kepada ketaatan. Dari kebodohan kepada pengetahuan. Dari kehidupan yang nista kepada kehidupan yang mulia.
Di dunia dan akhirat.
Kita memiliki tanggung jawab tersebut. Dan tanggung jawab tersebut hanya bisa kita emban jika hati kita dibersihkan dan jiwa kita disucikan.
Kita yakin sepenuhnya bahwa tidak akan ada malaikat yang akan datang kepada kita, membelah dada kita, mengeluarkan kotoran hati kita, mencucinya dan menggisinya dengan keimanan, kebijaksana dan cahaya petunjuk.
Kita sendirilah yang harus bertindak sebagai ‘malaikat’ yang membedah dada kita, mengeluarkan kotoran isi hati kita, mencucinya dan dan menggisinya dengan keimanan, kebijaksana dan cahaya petunjuk.
Dan sudah seharusnya kita yakin seratus persen bahwa bulan suci Ramadhan 1433 H ini adalah karunia Allah kepada kita agar kita berkesempatan melakukan operasi ‘pembedahan dada’ dan ‘pengisian hati’ tersebut. Tidak akan ada satu malam Isra’ dan Mi’raj untuk kita, tapi Allah menggantinya dengan 29 atau 30 malam suci Ramadhan untuk kita, insya Allah.
Sejarah dua kali pembedahan dada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam telah mengajarkan sebuah pesan penting kepada kita semua: “Jadilah dokter bedah untuk kesucian jiwa Anda sendiri demi menjadi hamba Allah yang sejati!”
Mari kita gaungkan di telinga kita dan jiwa kita seruan dari Sang Pemilik bulan Ramadhan:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan surga yang luasnya seperti luasnya langit-langit dan bumi, yang telah dipersiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran [3]: 133)
Wallahu a’lam bish shawab.
(muhib almajdi/arrahmah.com)