Perempuan yang baru berusia 20 tahun dengan raut sendu itu memeluk erat bayi perempuannya sembari menuturkan bahwa ia terpaksa tinggal terombang-ambing tak menentu sejak suaminya pergi setelah mengetahui ia diperkosa oleh tentara Burma (Myanmar).
“Saya diperkosa jelang hari kelahiran bayi yang saya kandung, di bulan kesembilan kehamilan saya. Mereka tahu saya hamil tapi tidak peduli akan hal itu,” kata Ayamar Begum kepada AFP.
“Suami saya menyalahkan saya karena membiarkan hal itu terjadi. Karena itu, dia menikah lagi dengan perempuan lain dan sekarang tinggal di desa tetangga,” lanjutnya.
Tidak sedikit Muslimah Rohingya mengeluhkan hal serupa dengan Bagon. Mereka telah ditinggalkan oleh suami mereka setelah mengatakan bahwa mereka diperkosa oleh tentara pemerintah Myanmar.
Hasinnar Begum (20), ibu dua anak, mengatakan bahwa suaminya juga mengancam akan meninggalkannya setelah dia diperkosa oleh tiga tentara.
Menurutnya, secara bergiliran mereka menganiayanya setelah semua orang Rohingya melarikan diri dari desa, hanya tersisa sejumlah perempuan, anak-anak dan para orang tua.
“Suami saya mengatakan kepada saya bahwa dia akan meninggalkan saya, dia menyalahkan saya karena tidak melarikan diri,” tambahnya.
Awal tahun ini, sebuah laporan yang diterbitkan Human Rights Watch menyatakan bahwa perempuan dan gadis Rohingya berusia 13 tahun telah diperkosa dan diserang secara seksual oleh tentara.
HRW mengatakan anggota tentara dan polisi penjaga perbatasan ikut dalam pemerkosaan berkelompok, penggrebekan invasif, dan kekerasan seksual lain terhadap perempuan dan anak perempuan di setidaknya sembilan desa di distrik Maungdaw yang didominasi Rohingya pada bulan-bulan terakhir tahun 2016.
Serangan tersebut dilaporkan sering dilakukan secara berkelompok, dimana kaum perempuan ditahan atau diancam dengan todongan senjata oleh beberapa pria sementara yang lainnya memperkosa mereka.
Laporan tersebut menyatakan bahwa dari 101 perempuan yang diselidiki oleh penyidik PBB, separuhnya menjadi korban pemerkosaan atau mengalami bentuk kekerasan seksual lainnya di tangan pasukan keamanan Burma.
Sementara itu, pemerintah Myanmar telah berulang kali membantah tuduhan penganiayaan terhadap Rohingya.
Pekan lalu, utusan hak asasi manusia PBB untuk Myanmar menyatakan kekecewaannya atas kurangnya upaya pemerintah dalam mengatasi masalah yang mendasari kekerasan di negara bagian Rakhine di barat setelah menyelesaikan 12 hari pencarian fakta.
Yanghee Lee, dalam misi kelima di negara tersebut, mengatakan bahwa dia melihat sedikit perbaikan dalam situasi Rohingya di Rakhine, di mana tentara telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar selama operasi pemberontakan setelah sebuah serangan terhadap pos polisi di sepanjang perbatasan dengan Bangladesh Oktober lalu.
Dia juga mengatakan bahwa pemerintah Au San Suu Kyi mencegahnya mengunjungi beberapa daerah di negara bagian Rakhine dan di utara dimana terjadi konflik bersenjata.
“Situasi umum bagi penduduk Rohingya hampir tidak membaik sejak kunjungan terakhir saya di bulan Januari, dan semakin rumit di utara Rakhine,” katanya.
“Saya terus menerima laporan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan selama operasi.”
Dia menuduh pemerintah mengganggu penjadwalannya sehingga sulit untuk merencanakan kunjungan, dan juga melarang kunjungan sama sekali.
“Selain meningkatnya pembatasan akses, sejumlah individu yang bertemu dengan saya terus menghadapi intimidasi, termasuk difoto, ditanyai sebelum dan sesudah pertemuan dan dalam satu kasus bahkan diikuti secara diam-diam,” katanya.
“Ini tidak bisa diterima.”
Lee mengatakan dia akan mempresentasikan rincian hasil temuannya dalam sebuah laporan kepada Majelis Umum PBB. (althaf/arrahmah.com)