BANGKOK (Arrahmah.com) – Melepaskan diri dari kekerasan dan kemiskinan di tanah airnya, ratusan Muslimah Rohingya dari Myanmar, beberapa diantara mereka masih remaja, dipaksa menikah. Sementara sebagian besar dari mereka dipaksa, ada juga kaum perempuan yang menyetujui pernikahan tersebut untuk melarikan diri dari penjara atau agar tidak bernasib lebih buruk di tangan penyelundup, ungkap dalam sebuah laporan di New York Times, sebagaimana dilansir oleh World Bulletin, Senin (3/8/2015).
Muslimah Rohingya, Shahidah Yunus, (22), berada di sebuah kamp di Thailand selama dua bulan ketika kesepakatan untuk menikah harus dia hadapi. Keluarganya tidak mampu membayar uang sebesar $ 1.260 kepada penyelundup agar ia bisa melarikan diri ke Malaysia. Pada saat yang sama orang asing datang menawarkan untuk menikah supaya ia bisa bebas. Dalam panggilan telepon ke orang tuanya, mereka mengatakan bahwa hal itu akan lebih baik untuk seluruh keluarganya jika dia bersedia untuk menerima tawaran tersebut.
Shahidah tidak sendirian. Budaya kawin paksa telah berlangsung selama beberapa waktu, dan telah terjadi peningkatan yang substansial.
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi telah melaporkan bahwa gelombang terbaru dari pencari suaka dari Bangladesh dan Myanmar tahun ini telah menyebabkan peningkatan “penculikan dan pernikahan yang telah diatur tanpa persetujuan dari perempuan.”
“Ratusan, bahkan ribuan wanita dan anak perempuan telah dipaksa, dijual atau diatur untuk menikah melalui koridor perdagangan ini sejak 2012,” kata Matthew Smith, direktur eksekutif dari Fortify, sebuah kelompok advokasi di Bangkok yang memantau pengungsi Rohingya.
“Untuk beberapa keluarga, itu dipandang sebagai keharusan, sebagai mekanisme bertahan hidup.”
“Kelompok perdagangan manusia menjalankan ini sebagai bisnis yang menguntungkan,” katanya, menambahkan bahwa bagi wanita dan anak perempuan, “dijual atau dipaksa menikah adalah yang paling buruk, dan itu merupakan sebuah masalah.”
Shahidah, yang tinggal dengan suaminya yang berusia 38 tahun dan 17 Rohingya lainnya di Pulau Penang, Malaysia, tidak memiliki pilihan setelah pamannya yang telah berjanji untuk membayar perjalanannya tidak bisa melakukannya.
“Saya memilih untuk menikahi suami saya karena penyelundup membutuhkan uang untuk melepaskan saya,” kata Shahidah.
“Kami takut diperkosa. Lebih baik menikah dengan pria Rohingya yang bisa mengurus kita.”
(ameera/arrahmah.com)