Suatu pagi, seorang Muslimah muda yang menyembunyikan wajahnya dengan cadar, ditarik keluar dari kelas Perancis di dekat Montreal dan mengatakan untuk melepas cadar atau meninggalkan kelas.
Aisha (25), warga permanen dari India, adalah Muslimah kedua yang diperlakukan seperti itu di Quebec. Bulan lalu, ultimatum yang sama diberikan kepada Naema Ahmed, seorang Muslimah kelahiran Mesir yang kasusnya memicu kegemparan dan menyebabkan undang-undang provinsi dibuat melawan cadar.
Menurut mantan teman sekelasnya dan pejabat dimana ia menghadiri kelas, Muslimah muda ini adalah seorang yang supel dan bahkan tidak menolak bekerja sama dengan siswa laki-laki untuk menyelesaikan tugas kelompok. Dia tidak banyak menuntut pada orang lain.
“Dia adalah murid yang sempurna. Saya lihat dalam dirinya integrasi seorang wanita,” ujar Mustapha Kachani, direktur eksekutif dari Pusat multi layanan d’integrasi, de I’Ouest de I’lle.
Pernyataan Departemen Imigrasi bahwa jilbab atau niqab menimbulkan masalah adalah alasan yang tidak mendasar, lanjut Kachani.
“Dia menunjukkan ketekunan yang besar dalam pelajaran, di samping aktif berpartisipasi di kelas.”
Keputusan ini disebut-sebut membuat seluruh kelas kesal.
Pengusiran Aisha pada 12 Maret lalu menimbulkan pertanyaan tentang dampak yang lebih luas yang membatasi penampilan yang memperlihatkan agama tertentu. Undang-undang anti-niqab Quebec, yang akan menolak seluruh wanita bercadar dalam layanan pemerintah, telah memenangkan dukungan luas di dalam dan luar Quebec, telah meninggalkan seorang perempuan seperti Aisha di rumah dan dilarang hadir ke dalam kelas.
Aisha sedang menyelesaikan minggu kelima di pusat integrasi imigran ketika ia dipanggil oleh dua pejabat pemerintah. Setelah itu dia menangis dan terguncang.
“Aku patah hati. aku mencintai kursus Perancis dan aku mencintai sekolah itu, itu seperti rumah kedua bagi saya,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
Joanie Lavoie, koordinator di pusar, mengatakan guru Aisha tidak mempunyai keluhan tentangnya. Aisha dan 18 siswa lainnya duduk di kursi yang membentuk huruf U.
“Sang guru berkata dia adalah seorang model pelajar.” ujar Lavoie. “Kini ia harus berada di rumah. Dengan tinggal di rumah, dia tidak akan pernah mengintegrasi ke dalam nilai-nilai Quebec dan Kanada.”
Kachani mengatakan dia ingin Aisha diberikan waktu bukan ultimatum. “Saya yakin kami bisa menemukan solusi, bukan mengisolasi dan meminggirkan dia,” ujarnya. “Mungkin kita akan meyakinkannya untuk melepaskan cadarnya.”
Kachani membuat dua penawaran untuk Aisha dalam upaya untuk membantu dia kembali ke sekolah. entah dia bisa duduk di depan kelas, menghadap guru dan dengan kembali ke kelas dengan melepas cadarnya, para siswa setuju untuk mengatur ulang meja sehingga mereka tidak bisa melihat wajahnya. Atau dia bisa puas dengan kursus enam jam seminggu dalam masyarakat Quebec yang diberikan oleh karyawan pusat, dengan niqabnya. Ia akan meninggalkan kelas bahasa Perancisnya yang selama ini ia jalani 30 jam seminggu.
Aisha mengatakan ia tidak bisa melepas cadarnya. “Ini seperti merobek kerendahan hati saya, seperti seseorang meminta saya untuk melepaskan pakaian saya,” ujarnya.
Dan Aisha, yang memiliki suami kelahiran Inggris, dibesarkan di Montreal, ingin belajar bahasa Perancis penuh waktu.
“Saya merasa itu adalah hak saya untuk pergi ke sekolah,” ujarnya. “Kami membayar pajak kami.”
Rachna Abrol, mantan teman sekelasnya mengatakan siswa yang lain tidak senang dengan pengusiran Aisha.
“Semua orang menyukainya. Dia bekerjasama dengan semua orang. Dia berbicara kepada siswa pria. Dia suka kelas Perancisnya dan dia sangat cerdas.” ujar Abrol di pusat pendidikan yang dibiayai pemerintah, sebuah bangunan yang berada di pinggiran kota Montreal. “Semua orang ingin dia kembali.” (haninmazaya/arrahmah.com)