Setelah sekian lama menjadi bahan ejekan dan cemoohan di negara Afrika selatan, hijab kini telah menjadi pemandangan umum di jalan-jalan Malawi, negara yang didominasi Kristen.
Kerudung jarang terlihat di jalan-jalan Malawi sebelum tahun 1990-an. Muslimah yang mengenakannya dicemooh dan diejek.
Tapi kini, kerudung telah menjadi pemandangan umum dan banyak Muslimah yang bangga mengenakannya.
Berjalan di sekitar jalan-jalan, pasar, sekolah, perguruan tinggi dan tempat umum lainnya, sekarang sangat mudah untuk mengenali seorang wanita atau gadis Muslimah dari kejauhan.
Melihat keadaan ini, seseorang yang mengunjungi Malawi untuk pertama kalinya bisa salah menyimpulkan, mengira bahwa keadaannya sudah seperti ini sedari dulu.
“Kami sekarang adalah orang-orang bebas dalam masyarakat yang bebas,” kata Khadija Hamdan, anggota eksekutif organisasi Wanita Muslim Malawi, kepada OnIslam.net.
“Kami bebas untuk beribadah kepada Allah dengan cara yang kami inginkan. Kami adalah Muslim dan kami bangga.”
“Saat ini, hijab telah menjadi simbol pembebasan kalangan kaum perempuan Muslim di Malawi. Anda dapat menemukan wanita berhijab hampir di mana-mana. Saat Anda berjalan ke kantor, ke sekolah, Anda dapat dengan mudah mengidentifikasi seorang wanita Muslim. “
Islam adalah agama terbesar kedua di negara Afrika selatan setelah Kristen.
Statistik resmi menunjukkan Muslim merupakan 12 persen dari 14 juta penduduk negara itu, namun payung Asosiasi Muslim Malawi (MAM) menempatkannya di angka 36 persen.
“Di masa lalu, hijab adalah sumber ejekan publik yang membuat malu,” kata Syeikh Dinala Chabulika, koordinator Biro Informasi Islam (IIB) nasional, kepada OnIslam.net.
“Perempuan yang memakai kerudung dianggap sangat primitif dan terbelakang. Itu adalah saat-saat di mana masyarakat kami semakin tidak toleran terhadap Islam dan Muslim.”
“Para Muslimah lah yang terkena dampaknya, baik secara emosional maupun fisik. Harga diri mereka terampas,” kenangnya.
Namun dalam dua dekade terakhir pandangan publik tentang hijab berangsur berubah dengan pemberdayaan kaum Muslimah.
“Selama beberapa tahun terakhir, kami telah mampu untuk memberdayakan Muslimah kami untuk memahami bahwa sama seperti ‘rekan-rekan’ Kristen mereka, mereka juga memiliki tempat sendiri di masyarakat Malawi,” katanya.
“Kami telah sepenuhnya memberdayakan mereka untuk menghargai identitas mereka sebagai Muslim.”
Chabulika berpendapat bahwa dengan tingkat pemberdayaan itu, Muslimah saat ini bisa berdiri dan berjalan tegak tanpa rasa takut.
“Mereka sekarang menyadari hak-hak mereka, dan tidak ada yang bisa menyakiti mereka, baik secara verbal maupun fisik.”
Diangkatnya Presiden Muslim Malawi pertama, Bakili Muluzi, pada tahun 1994, sampai pensiunnya tahun 2004, dipandang sebagai tonggak dalam mengubah pandangan tentang Muslim di Malawi.
“Fakta bahwa dia adalah seorang Presiden Muslim, mengubah pola pikir masyarakat terhadap Islam dan Muslim. Untuk pertama kalinya, umat Islam mulai merasa bangga,” kata Chabulika.
“Sejak saat itu, kami telah mampu untuk hidup berdampingan dengan Kristen dan berpartisipasi dalam hal pembangunan nasional, tanpa diskriminasi atas dasar agama.”
“Kami telah mencapai point of no return.”
Dr Imran Shareef Mahomed, salah seorang ulama Muslim Malawi yang dihormati, setuju.
“Ini adalah waktu di mana Muslim dan non-Muslim menyadari bahwa Islam bukanlah penghalang untuk segala bentuk kemajuan, bahkan dalam masyarakat di mana Anda merupakan minoritas,” katanya kepada OnIslam.net. (banan/arrahmah.com)