JAKARTA (Arrahmah.com) – Mengutip publikasi Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia pada lama Facebook-nya, Ahad (12/10/2014), pihak Barat telah dengan sengaja memojokkan Islam dengan memberikan penghargaan nobel perdamaian kepada Malala. Berikut pernyataan Far Eastern Women Voices for the Khilafah dalam Muslimah HTI terkait hal tersebut.
Aktivis hak anak-anak asal India, Kailash Satyarthi, dan remaja Pakistan, Malala Yousafzai, mendapat anugerah Nobel Perdamaian sebagai bentuk penghargaan atas perjuangan mereka menjunjung pendidikan dan melawan paham ekstrem.
Dua tokoh ini mendapat Nobel “berkat perjuangan mereka melawan penindasan anak-anak dan kaum muda serta perjuangan mendukung hak semua anak untuk mendapat pendidikan,” demikian pernyataan Komite Nobel pada Jum’at (10/10).
More In Nobel
Malala Yousafzai ditembak di kepala oleh milisi Taliban di Lembah Swat, Pakistan, dua tahun lalu. Sejak saat itu, sang pelajar berjuang “dalam kondisi yang sangat berbahaya” untuk mengamankan hak anak-anak perempuan mendapatkan pendidikan, menurut versi komite tersebut.
Sementara itu, Kailash Satyarthi terlibat aktif dalam pergerakan menentang buruh anak di India sejak tahun 1990-an, kata Komite Nobel. Ia memberikan sumbangsih terhadap penyusunan sejumlah konvensi internasional penting yang menegaskan hak-hak anak.
Komite Nobel, yang beranggotakan lima orang, memilih pemenang penghargaan tahun ini dari 278 nama yang masuk nominasi. Nama-nama yang sempat masuk bursa pencalonan antara lain Paus Fransiskus serta Edward Snowden, mantan pekerja kontrak badan intelijen Amerika Serikat.
Sumber : Wall Street Journal
http://indo.wsj.com/…/malala-dan-kailash-satyarthi…/…
Rupanya Barat tengah membutuhkan simbol humanisme baru, di tengah arus dehumanisasi massal yang mereka sebarkan di seluruh penjuru dunia. Barat tengah berjuang keras memperbaiki citranya sebagai pahlawan kemanusiaan, terutama pahlawan bagi hak-hak pendidikan perempuan dan anak.
Malala telah dipilih untuk menyelamatkan citra Barat dan sekaligus digunakan untuk menyerang Islam. Karena kisah Malala juga telah digunakan untuk mengobarkan dan menyebarkan kembali mitos kuno bahwa Islam dan pemerintahan Islam menindas perempuan dan membuat mereka kehilangan hak-hak mereka, sehingga mereka membutuhkan pembebasan gaya Barat.
Ini adalah sebuah narasi yang telah digunakan selama ratusan tahun hingga ke zaman modern untuk mempertahankan hegemoni sekuler Barat atas dunia Islam dengan memerangi kebangkitan Islam secara internasional untuk mencegah tegaknya sistem Islam di dunia Muslim yang akan mengancam kepentingan politik dan ekonomi Barat.
Akan tetapi, sebenarnya BUKAN Islam, melainkan kebijakan luar negeri penjajah Barat lah yang telah melucuti hak pendidikan yang berharga dari tangan jutaan perempuan dan anak perempuan di Pakistan dan banyak negara Muslim lainnya. ‘Perang Melawan Terorisme’ dan pendudukan Afganistan telah menciptakan iklim ketidakamanan dan ketidakstabilan yang konstan di Pakistan, Afghanistan dan kawasan itu, yang ditandai dengan seringnya serangan pesawat tak berawak (drone) dan bom yang telah menewaskan ribuan orang selama bertahun-tahun, termasuk banyak perempuan, remaja putri, dan anak-anak.
Sebuah laporan Komite PBB untuk Hak-Hak Anak menyatakan bahwa ratusan anak-anak dilaporkan tewas, “akibat gempuran dan serangan udara oleh pasukan militer AS di Afghanistan” antara tahun 2008 dan 2012 , karena penggunaan “serangan tidak pandang bulu”.
Di mana hak anak-anak ini? Jelaslah bahwa kematian mereka “hanyalah” bonus kerusakan tambahan yang dapat ditolerir oleh pemerintah kolonial tersebut demi mengamankan kepentingan mereka di wilayah tersebut. Kondisi pendudukan, perang dan ketidakstabilan ini juga telah menciptakan lingkungan tanpa hukum yang penuh dengan kejahatan, penculikan, dan pemerkosaan.
Semua ini telah menyebabkan banyak orangtua mencegah anak perempuan mereka bepergian jauh dari rumah mereka, termasuk ke sekolah. Lalu, bagaimana negara penuh ketidakstabilan, kehancuran, dan ketidakamanan bisa memberikan kualitas pendidikan yang baik kepada warganya? Setelah lebih dari 10 tahun pendudukan, hampir 9 dari 10 perempuan di Afghanistan tetap buta huruf. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri penjajah Barat yang destruktif lah yang tidak hanya merampok pendidikan para remaja perempuan, tapi juga merampok kehidupan dan martabat mereka, dan menjadi salah satu hambatan utama bagi persekolahan yang efektif untuk mereka.
Selain itu, rezim sekuler yang didukung Barat di negeri-negeri Muslim telah membiarkan masuknya budaya liberal ke negara mereka melalui industri hiburan dan periklanan mereka serta melalui penerapan sistem pendidikan sekuler. Budaya yang menguduskan kebebasan seksual; melecehkan perempuan serta menjadikannya objek seksual; dan mendorong pria untuk memperlakukan wanita sesuai dengan keinginan mereka, telah berkontribusi terhadap tingginya tingkat pelecehan seksual, intimidasi, dan perkosaan di sekolah-sekolah dan jalan-jalan di negara-negara, seperti Pakistan, Bangladesh, dan Mesir . Hal ini menyebabkan banyak remaja dan perempuan merasa enggan untuk keluar rumah untuk bersekolah.
Selain itu, sistem kapitalis Barat yang cacat telah menghancurkan perekonomian negara-negara di dunia Muslim, membebani mereka dengan utang besar akibat pinjaman dengan beban bunga besar dan kebijakan ekonomi yang gagal, sampai-sampai uang lebih banyak digunakan untuk membayar utang daripada untuk biaya pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur dan layanan publik lainnya.
Hasilnya adalah bangunan sekolah yang tidak memadai dan runtuh, rendahnya angka guru dan pelatihan pengajaran, dan kurangnya buku dan fasilitas belajar yang diperlukan. Selain itu, pemiskinan rakyat melalui kebijakan-kebijakan kapitalis yang dipaksakan kepada negeri-negeri Muslim oleh negara-negara Barat dan lembaga-lembaga mereka seperti IMF, serta kurangnya sekolah gratis, telah menyebabkan banyak orang tua terpaksa mengutamakan pendidikan untuk anak laki-laki daripada anak perempuannya. Tidak mengherankan bahwa terdapat lebih dari 60 % perempuan di Pakistan dan sekitar 50% perempuan di Bangladesh dan Mesir yang buta huruf.
Dengan demikian, JUSTRU kebijakan luar negeri Barat dan sistem sekuler kapitalis yang telah dipaksakan pada negeri Muslim kita lah yang telah terbukti menjadi hambatan terbesar untuk bisa memberikan pendidikan yang berkualitas kepada perempuan dan remaja perempuan di dunia Muslim. (adibahasan/arrahmah.com)