Pada awal 2017, kehidupan tampak cerah bagi Ӧmir Bekali, pria berusia 41 tahun. Ayah tiga anak yang memiliki gelar di bidang pariwisata ini mempunyai bisnis kecil dan bebera posisi manajerial yang dikendalikannya sendiri. Kala itu, dia ditetapkan untuk memimpin delegasi Kazakhtan dalam Astana Trade Exposition.
Tetapi pada bulan Maret, rencana untuk mengawal perjalanan ke Xinjiang tersebut buyar karena dia tidak pernah hadir.
Dia ditangkap ketika mengunjungi keluarganya di dekat Turpan pada pagi hari tanggal 26 Maret.
“Mereka memborgol tangan saya dan menutupi mata saya dengan kain hitam,” kata Ӧmir seperti dikatakannya ke Varsity.
“Saya merasakan tubuh saya gemetar setiap kali saya mengingat momen itu”.
Ӧmir lahir dari orang tua Uighur dan Kazakh di Xinjiang, atau sebelumnya Turkestan Timur sebelum invasi Cina pada tahun 1949.
Xinjiang saat ini menjadi wilayah semi-otonom. Dia menjadi rumah bagi muslim Uyghur yang telah berabad-abad tinggal disana dengan budaya, agama dan bahasa yang khas dan berbeda dengan mayoritas warga Cina.
Diskriminasi ekonomi, budaya, dan agama terhadap warga Uyghur telah terjadi selama beberapa dekade. Ketika Presiden Cina Xi Jinping mengumumkan “Perang Rakyat Melawan Teror” pada tahun 2014, era baru penindasan dan diskriminasi semakin menggurita.
Setelah penangkapannya, Ӧmir dimasukan ke dalam sel kecil di kantor polisi selama sepekan tanpa penjelasan. Dia mengatakan ruangan itu dibangun untuk 12 orang, tetapi berisi lebih dari 36 orang. Semua orang yang ada disana lengan dan kakinya diikat. Setelah sepekan, dia dipindahkan ke kantor polisi lain. Disana, menurutnya, pihak berwenang mulai menyiksanya selama empat hari berturut-turut.
“Kaki dan tangan saya diikat dengan rantai besi. Mereka memukuli tangan dan kaki saya. Mereka juga memukuli punggung dan perut saya”, kata Ӧmir.
“Mereka menaruh jarum di antara kuku dan jari saya,” tambahnya, “Lalu mereka memasukkan tongkat besi ke organ seksual saya”.
Ӧmir mengatakan dia dimasukkan ke dalam “Kursi Harimau”, alat seperti kursi logam yang membatasi pergerakan, untuk waktu yang lama. Polisi juga menggantung dia di atap sel dengan
Pergelangan tangannya sehingga kakinya tidak bisa menyentuh lantai, dan kemudian buku jarinya dihancurkan dengan alat seperti palu.
“Bekas luka masih ada… setiap kali saya mengingat pengalaman itu, tubuh saya bergetar”.
Ӧmir berpikir bahwa pekerjaannya, yang kerap melakukan perjalanan antar wilayah, telah menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang dan memberi mereka alasan yang tepat untuk menuduhnya melakukan kegiatan teroris.
“Saya tidak mengaku apa-apa karena saya tidak melakukan apa-apa,” katanya. “Mungkin mereka berpikir setelah penyiksaan, saya akan mengakui sesuatu yang saya pernah lakukan sebelumnya”.
Tak lama kemudian Ӧmir dipindahkan ke kamp dekat penjara yang sangat tertutup. Dia dikurung selama tujuh bulan di sana tanpa akses ke pengacara atau pun akses telepon untuk menghubungi keluarganya.
Pada November 2017, dia diangkut ke tujuan akhirnya, tiba di salah satu tempat yang disebut Cina sebagai “kamp pendidikan ulang.
Dinding “setinggi empat meter dan pagar listrik mengelilingi kompleks tersebut. Para penjaga bersenjata pun kerap berpatroli di kamp sepanjang waktu siang dan malam.
Di dalam ruangan yang dihuni Ӧmir, ada 40 orang dalam ruangan seluas 16 meter persegi. Tahanan berusia antara 15 dan 80 tahun ditempatkan di dalamnya.
Menurut Ӧmir, semua dikat selama 24 jam sehari. Rantai besi diikat di leher mereka dan dipasangkan ke balok besi lepas beratnya sekitar delapan sampai sepuluh kilogram, memaksa warga Uyghur untuk selalu membungkuk.
“Saya tinggal di ruangan itu dengan banyak orang yang berbeda, beberapa dari mereka adalah pebisnis, sejarawan, profesor sekolah, penulis, penyanyi,” kata Ӧmir, “Mereka berbicara bahasa Mandarin jauh lebih baik daripada orang Tiongkok, dan mereka memiliki lebih banyak uang daripada Cina sendiri. Mereka itu tidak perlu dididik ulang.”
Pada hari-hari biasa di kamp, katanya, warga Uighur dibangunkan pada jam 5 pagi dan diberi sedikit porsi roti dan sup. Mereka kemudian dipaksa untuk berulang kali menyanyikan lagu-lagu yang memuji Partai Komunis Cina, menekankan kebesaran Cina, dan menunjukkan rasa terima kasih kepada Presiden Xi Jinping secara pribadi.
“Kami bernyanyi dari mulai kami bangun di pagi hari hingga makan siang dan setelah makan siang. Kami tidak melakukan apa-apa, hanya makan dan memuji partai komunis Cina,” kata Ӧmir.
Warga Uighur terus-menerus dicekoki 48 karakteristik yang dianggap memusuhi negara Cina, seperti menumbuhkan janggut, shalat, dan berzakat.
“Jika anda tidak mendengarkan perintah mereka atau tidak dapat melafalkan lagu-lagu Mandarin atau menunjukkan sikap protes, para penjaga akan memberikan siksaan,” katanya.
Ӧmir mengatakan bahwa dia pernah dipukuli hingga “setengah mati” dan dipaksa berdiri menghadap dinding selama dua puluh empat jam tanpa makanan atau minuman. Dia juga pernah diletakkan di Kursi Harimau selama sehari dan pernah juga ditempatkan di sel isolasi yang kamarnya dilapisi plastic agar yang dikurung tidak melakukan bunuh diri.
“Pemerintah Cina menyebut kamp pendidikan ulang. Sebenarnya tidak ada kamp pendidikan ulang. Itu semuanya adalah kamp konsentrasi,” katanya.
Setelah 20 hari, Ӧmir akhirnya dibebaskan. Istrinya telah mengirim banyak surat ke PBB dan Kementerian Luar Negeri Kazakhstan, di mana dia sebelumnya dinaturalisasi.
“Tujuan mereka hanya untuk memusnahkan semua muslim Uighur,” kata Ӧmir, “Pelabelan Cina bahwa mereka adalah teroris sebenarnya sebuah permainan politik. Sebab hampir semua yang dipenjara tidak melakukan kekerasan dan tidak radikal”.
Pada 2019, Parlemen Eropa dan Kongres AS mengeluarkan undang-undang dan resolusi yang mengutuk pemenjaraan ini, sementara di Inggris, kelompok parlemen lintas partai dikatakan merencanakan undang-undang baru yang bertujuan untuk mengatasi krisis kemanusiaan.
Tetapi ketika 23 negara mengeluarkan pernyataan ke PBB untuk mengecam tindakan Cina, mereka justru ditentang lebih dari 50 negara – mayoritas Muslim -, yang membela kebijakan hak asasi manusia Cina.
Ӧmir mengatakan dia berbesar hati mendengar tentang undang-undang baru Inggris yang diusulkan, dan “berterima kasih kepada Inggris” karena telah mempertimbangkannya. Namun dia menyesali tanggapan internasional.
“Saya ingin menjelaskan bahwa genosida muslim Uighur ini bukan hanya agama. Ini adalah ujian bagi kemanusiaan, untuk seluruh dunia,” katanya. “Saya berharap komunitas internasional mengambil tindakan yang lebih tegas”. (Hanoum/Arrahmah.com)