URUMQI (arrahmah.com) – Di tengah semakin intensifnya tindakan keras terhadap warga Uighur di provinsi Xinjiang yang berpenduduk mayoritas Muslim, aktivis hak asasi manusia telah memperingatkan bahwa pembatasan agama, budaya dan bahasa akan memicu ketegangan dan kekerasan di kawasan kaya mineral itu selama bertahun-tahun.
“Banyak warga Uighur yang mengatakan bahwa mereka merasa minoritas dalam wilayah yang secara historis mereka adalah mayoritas,” kata Sophie Richardson, direktur Human Rights Watch Cina, mengatakan kepada Anadolu Agency pada Kamis, (8/5/2014).
“Mereka telah menjadi orang asing di tanah mereka sendiri,”tambah Richardson.
Xinjiang telah otonom sejak tahun 1955 namun terus menjadi subyek tindakan kekerasan yang dilakukan oleh otoritas Cina.
Kelompok-kelompok HAM menuduh pihak berwenang Cina melakukan penindasan terhadap Muslim Uighur – minoritas Muslim berbahasa Turki yang berjumlah sekitar delapan juta orang -di Xinjiang atas nama “terorisme”.
Para ahli menyalahkan ketegangan yang meningkat di distrikXinjiang (TurkistanTimur) tersebut akibat masuknya dengan pesat penduduk Cina Han di distrik tersebut, yang telah dianggap sebagai tanah air komunitas Muslim Uighur.
Jumlah penduduk Han yang pindah ke distrik Turkistan Timur meningkat dengan pesat dari 6,7 persen (220.000) pada tahun 1949 menjadi 40 persen (8,4 juta) pada tahun 2008, menurut Biro Statistik Daerah Otonomi Uighur Xinjiang.
Dari tahun 1950 hingga 1970, perpindahan penduduk Han ke Xinjiang terutama direkayasa oleh negara. Mereka dikirim untuk bekerjadi Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC), sebuah perusahaan yang dikelola pemerintah.
Infrastruktur yang dibangun di Xinjiang yang katanya untuk membantu penduduk setempat, akan tetapi pada kenyataannya sebagian besar infrastruktur tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan warga Cina Han dalam mengeksploitasi sumber daya ekonomi di Xinjiang berupa minyak dan mineral yang melimpah,” kata Stephanie Gordon, seorang peneliti dalam ilmu politik, di University of Leicester di Inggris mengatakan kepada Anadolu Agency.
“Kebijakan ini tidak terlalu berguna untuk melayani penduduk Uighur lokal, dan hal ini menjadi penyebab meningkatnya ketegangan di kawasan ini,” tambahnya.
Diskriminasi yang dilakukan terhadap Muslim Uighur telah meluas hingga menjangkau masalah kesempatan kerja. Sebagian besar lowongan pekerjaan di distrik Xinjiang disediakan untuk Cina Han.
Sebuah laporan yang dirilis pada Maret 2011 menemukan bahwa perekrutan pegawai negeri sipil ditingkat kabupaten, dari 224 posisi yang terbuka, 93 posisi untuk Cina Han, sedangkan 38 posisi untuk Uighur, Kazakhs, Huidan Kirgistan.
“Ada kebijakan diskriminasiy ang sangat jelas terhadap penduduk Uighur lokal,” kata Stephanie Gordon.
“Hal ini telah mendorong banyak Muslim Uighur meninggalkan wilayah tersebut untuk mencari pekerjaan, sehingga semakin mengurangi persentase Muslim Uighur di Xinjiang.”
Di Ibukota Xinjiang, Urumqi, telah terjadi insiden kekerasan yang mematikan pada bulan Juli 2009 ketika minoritas Muslim Uighur marah atas diskriminasi yang dilakukan pemerintah Cina di wilayah tersebut.
Beberapa hari kemduian, massa Han yang marah turun ke jalan untuk membalas dendam yang merupakan insiden kekerasan etnis terburuk di Cina yang terjadi dalam beberapa dekade.
Kerusuhan itu menyebabkan hampir 200 orang tewasdan 1.700 orang terluka, menurut angka pemerintah. Tapi warga Uighur mengatakan bahwa jumlah korban yang sebenarnya melebihi angka tersebut, terutama dari komunitas Muslim Uighur.
Pihak berwenang Cina telah menghukum sekitar 200 orang, sebagian besar warga Uighur, selama kerusuhan tersebut, dan sebanyak 26 dari mereka dijatuhi hukuman mati.
(ameera/arrahmah.com)