XINJIANG (Arrahmah.com) – Otoritas kafir Cina telah memaksa lebih dari setengah warga Muslim etnis Uighur—sebagian besar petani dan penggembala—dari tiga kota pegunungan di wilayah Xinjiang demi pembuatan jalan tempat wisata, menurut sumber-sumber di daerah tersebut, lapor Radio Free Asia (RFA).
Eysa Yehya (59), penduduk di Ikki Tagh, mengatakan bahwa sekitar setengah populasi dari kota pegununangan Tashbaliq (Binggin), Tengritagh (Tianshan) dan Gherbiy Tagh (Xishah) telah dipindahkan ke pinggiran kota Kumul.
Warga desa Muslim dari tiga kota di daerah administrasi Kumul (Hami dalam bahasa Cina) di bagian utara wilayah otonomi Xinjiang, mengatakan kepada RFA cabang Uighur bahwa selain dilucuti mata pencaharian mereka, mereka khawatir kehilangan tradisi budaya mereka, karena pejabat lokal menempatkan mereka di lingkungan pinggiran kota.
Yehya menambahkan bahwa lebih dari 80 persen atau sekitar 1.200 penduduk di desa Tormuqi dan desa Nernasu terdekat di kota Tengritagh telah menandatangani perjanjian untuk dipindahkan.
“Sebagian besar desa telah dipindahkan atau dalam proses pemindahan,” kata Yehya.
Otoritas Cina memberikan para petani apartemen di sekitar kota itu dan menjanjikan hampir 300 yuan per bulan untuk tunjangan kemiskinan orang lanjut usia (60 tahun atau lebih), kata Yehya.
“[Pihak berwenang] memberikan para petani apartemen di sekitar kota. Kami diberitahu bahwa mereka akan memberikan orang tua hampir 300 yuan per bulan tunjangan subsistensi kemiskinan. Kemudian para pemuda akan diberikan pekerjaan kebersihan dan pekerjaan yang terkait lainnya.”
Sementara itu, Yehya sendiri memilih untuk menolak kesepakatan pemindahan, ia mengatakan bahwa ia satu-satunya orang di Tomurqi yang bertahan. Menurut Yahya, yang mata pencahariannya bertani dan beternak ini, warga desa yang setuju untuk dipindahkan hanya bisa mengandalkan uang bantuan itu karena mereka tidak punya pilihan sebab mayoritas mata pencaharian mereka adalah bertani dan menggembala.
Warga Muslim Uighur di Xinjiang telah lama menderita diskriminasi dan pengawasan ketat aktivitas keagamaan di bawah kebijakan Beijing. (siraaj/arrahmah.com)