JAKARTA (Arrahmah.com) – Puluhan tahun Muslim Tolikara, Papua hidaup dalam keadaan tertekan, diintimidasi dan diterot oleh pihak Gereja Injili di Indonesia (GIDI). H. Ali Muktar adalah salah satu imam Masjid Baitul Muttaqien Tolikara, sekaligus salah saksi dalam aksi penyerangan kelompok perusuh yang berakibat pembakaran kios dan masjid menuturkan,
“Di sini memang mendirikan rumah ibadah dilarang kecuali Gereja Injili Di Indonesia (GIDI). Tidak hanya Islam, bahkan semua denominasi Kristen kecuali GIDI dilarang,”
Jauh sebelum itu, pada 1990-an beberapa orang tua dari warga asli Papua, di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya memeluk agama Islam, kemudian ditangkap dan dipenjarakan karena berusaha membangun mushola. Bahkan, sebetulnya hal itu sudah terjadi sejak 1970-an.
Demikian dikatakan salah satu warga dari Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Hamka Yeni Pele saat rombongan TPF Komat Tolikara bersama anggota JITU bersilaturahmi serta berkoordinasi di rumah putra kepala suku Dani, H. Arif Lani, di Kabupaten Jayawijaya, ibukota Wamena, Rabu (22/07/2015) malam.
“Termasuk bapak saya sendiri, waktu itu. Alasan mereka masuk Islam karena itu sebuah pilihan. Jadi, sebetulnya tidak ada masalah bagi yang mau memeluk agama Islam,” ungkap Hamka.
Untuk itu Komite umat untuk Tolikara (KOMAT), dalam rilisnya kepada redaksi siang ini. mendorong pihak keamanan memberikan jaminan keamanan dan ketenangan bagi masyarakat Muslim di Tolikara dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, pasca insiden penyerangan shalat iedul fitri.
Berikut selengkapnya Pernyataan sikap KOMAT:
- Menolak pihak-pihak yang menghambat masuknya bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan resmi dalam rangka pemulihan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di Tolikara.
- Meminta semua ormas dan elemen masyarakat secara bersama menyalurkan bantuannya secara terkoordinasi melalui BAZNAS dan LAZNAS yang dikoordinasikan oleh FOZ, agar pemulihan dan pembangunan perekonomian di Tolikara berjalan dengan efektif.
- Mendorong pihak keamanan memberikan jaminan keamanan dan ketenangan bagi masyarakat muslim di Tolikara dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, pasca insiden penyerangan shalat iedul fitri.
- Langkah hukum yang tegas, adil dan transparan terhadap aktor intelektual atau oknum oknum yang terindikasikan melakukan gerakan radikalisme, separatisme, dan terorisme harus tetap dilakukan untuk mewujudkan keadilan.
- Masalah Tolikara adalah masalah dalam negeri. Semua pihak perlu mewaspadai kepentingan asing atau pihak lain yang tidak bertanggung jawab terhadap kedaulatan NKRI. TNI dan POLRI harus menindak unsur-unsur atau atribut yang mengarah pada keterlibatan pihak asing yang tidak bertanggung jawab.
- Mendorong semua pihak untuk mewujudkan kondisi damai dan toleransi di kabupaten Tolikara.
- Mendukung Menteri Dalam negeri untuk mencabut perda yang telah diakui oleh bupati Tolikara tentang aturan pembatasan pembangunan rumah ibadah di kabupaten Tolikara karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak kondusif untuk toleransi dan kerukunan antar umat beragama, khususnya di Tolikara.
Jakarta, 23 Juli 2015/7 Syawwal 1436
- KH Didin Hafidhuddin
- KH Hidayat Nur wahid
- KH Bachtiar Nasir
- KH M Syafii Antonio
- KH Yusuf Mansyur
- KH M Arifin Ilham
- KH Abdul Wahid Alwi
- KH Syuhada Bahri
- Aries Mufti
- KH Muhammad Zaitun Rasmin
- KH Bobby Herwibowo
- KH Haikal Hasan
- Nur Effendi
- Ahmad Juwaini
- Fahmi Salim
- Ahmad Mukhlis Yusuf
- Moh Arifin Purwakananta
- Jeje Zaenudin
- Musthofa B. Nahrawardaya
- Adnin Armas
- Irfan Syauqi Beik
- Bidin Bachrul Ulumuddin
- H Wafiudin
- Aat Surya Safaat
- KH Farid Okbah
(azmuttaqin/arrahmah.com)