ROHINGYA (Arrahmah.com) – Saat ini Rohingya sebagai bagian skenario penindasan para pemerintah anti-Islam sedunia sedang disoroti dunia. Bagi jurnalis asal Amerika Serikat (AS) Bilal Abdul Karim, ini adalah hal yang wajib disadari Muslimin sedunia sebagai sinyal akan seruan kebangkitan Ummat Islam, sebagaimana ulasan pada situs pribadinya, Kamis (14/5/2015).
“Muslim Rohingya dikeluarkan dari sensus nasional terbaru di Myanmar. Pemerintah di Myanmar menyatakan bahwa mereka orang Bangladesh dan tidak memiliki hak untuk kewarganegaraan atau hak di negara tersebut. Ini, terlepas dari fakta bahwa banyak dari mereka telah hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi,” ujar Bilal.
Kaum Muslim Rohingya dipaksa untuk hidup di kamp-kamp pengungsi di mana sama sekali tidak ada perawatan kesehatan. Lembaga bantuan Doctors Without Borders bahkan diperintahkan keluar dari wilayah oleh pemerintah Myanmar sekitar 6 bulan yang lalu. Kebanyakan orang benar-benar tidak tahu seperti apa rasanya memiliki nol akses ke perawatan kesehatan. Singkatnya, menurut Bilal, itu berarti bahwa orang-orang meninggal karena penyakit yang sangat biasa dan bisa diobati, atau mereka dibuat menderita oleh penyakit yang kita anggap tidak signifikan (mengancam nyawa).
Orang Rohingya tidak punya negara, tidak punya hak, dan yang paling melemahkannya, mereka tidak punya akses terhadap keadilan. Sementara pemerintah AS menyanjung kepemimpinan Myanmar menuju negara demokrasi (jika Anda mau menyebutnya begitu, red.) dan negara-negara demokrasi lainnya terus menutup matanya dari penderitaan orang Rohingya, Perdana Menteri Thein Sein diperbolehkan melakukan apa saja semaunya atas Muslimin yang tak dikehendakinya.
Banyak negeri Muslim tengah berjuang saat ini seperti, Suriah, Libya, Irak, Afghanistan, dan tempat lain yang memiliki kesamaan; warga negaranya tidak memiliki akses terhadap keadilan baik (di mata hukum) lokal maupun internasional. Namun, komunitas internasional malah mengeluhkan bahwa konflik (seperti ini) membawa-bawa “rasa” agama. Kenyataanya, apapaun yang dilakukan Muslim yang relijius selalu ada hubungannya dengan agama. Sama halnya dengan Kristiani menyambungkan kegiatan sehari-harinya dengan agamanya, dan lain-lain. “Lantas, mengapa Muslim yang relijius berubah jadi sekuler saat (menyikapi perang ini), padahal sebelum perang, mereka tidak sekuler?” tanya Bilal.
Masyarakat internasional bertindak seolah-olah tidak tahu apa-apa atas kejahatan keluarga Assad terhadap warga negara mereka sendiri hanya karena ada “perintah dan kontrol”. Secara internasional, perintah dan kontrol memberikan Anda hak untuk pemerkosaan, penyiksaan, dan membunuh dan tidak ada yang akan bertanya tentang hal itu. Sebenarnya, AS menjadikan tersangka teroris ke (arah) Suriah untuk penyiksaan. “Silakan Anda tanya mantan tahanan Maher Arar,” tambah Bilal. Sekarang telah dinyatakan bahwa jihad dan berjuang di Suriah menjadi perhatian dari kekuatan Barat. “Hal itu terus memotong pasukan Assad dan menyebarkan isu ISIS ke udara seperti merica. Oleh karena itu kita hanya bisa menyimpulkan bahwa hak asasi manusia sebenarnya tidak memainkan banyak peran sebagai peran intervensinya. Ini semua tentang kepentingan,” tegasnya.
Bilal mengatakan, dunia tahu apa yang Qaddafi lakukan terhadap rakyatnya, termasuk pembantaian 1300 tahanan di Abu Salim, berikut penyiksaan sistemik, dan lebih banyak dari itu. Namun, tak ada seorang pun yang memerangi Qaddafi selama bertahun-tahun. Para pemimpin dunia hanya memperlihatkan ketidaksukaan kepadanya, mengangkat bahu mereka, dan hanya itu.
“Sebenarnya, Perdana Menteri InggrisTony Blair mengunjungi Libya dan membuat kontrak minyak multijutaan dolar untuk perusahaan minyak Shell Inggris dan Belanda. Ini benar-benar dialihkan dari perhatian, sementara lembaga mata-mata Inggris MI6 telah menahan dan memindahkan penentangnya Haji Abdul Hakim Bel dari Malaysia kembali ke Libya untuk penyiksaan. Sebuah hadiah dari pemerintah Inggris untuk Qaddafi untuk menunjukkan itikad baiknya.” Demikian Bilal membayangkan.
Pun, lanjutnya, tidak ada yang peduli saat Saddam Hussein memerintah dengan tangan besi atas rakyatnya. Terkait Saddam, koridor kekuatan Washington berdalih: “Saddam itu bajingan, tetapi dia adalah bajingan KITA.” Artinya, selama dia menjadi kekuatan penstabil hubungan AS dengan Iran, maka AS tidak peduli dengan apa yang dilakukan para pemimpin atas rakyatnya.
Lalu Bilal membawa kita kembali ke masalah Rohingya. Ia mempertanyakan, “Apakah dalam sejarah ada orang yang dituntut atas (kejahatan kemanusiaan seperti) ini?”
Ingatlah, katanya, bahkan kekuasaan Fir’aun saja ada ujungnya. Akhirnya, setiap budak akan melemparkan buhul perbudakan yang menindasnya. Mari kita bayangkan momen pembebasan Rohingya kira-kira akan seperti apa. Di titik yang sama, beberapa Muslimin tidak akan lagi terpedaya ke dalam pemikiran bahwa komunitas internasional harus mengadakan konferensi lainnya untuk mendiskusikan masalah Rohingya dan kemudian semuanya akan jadi baik-baik saja. Di sebagian titik lain, nampaknya akan ada kekuatan Mslimin yang akan (Allah) jadikan alat untuk melawan militer pemerintah Myanmar. Mereka akan sangat relijius dan memekikkan “Allaahu Akbar“.
Bilal juga berpendapat bahwa, Muslimin Rohingya akan menjadi daya tarik alami terhadap siapa saja yang berkenan menolongnya keluar dari penderitaan yang mereka rasakan saat ini. Walau begitu, konflik ini tidak akan berhenti sampai disitu. Ia juga akan menyebar ke negeri tetangganya Bangladesh. Wilayah itu akan menjadi magnet bagi siapa saja yang merindukan hukum Syariah. Hanya pada titik itu, komunitas internasional baru akan bertindak. Bukan dari sebelumnya. Dan bukan karena penderitaan rakyatnya. IItu hanya terjadi karena mereka takut kepentingannya di regional itu terancam. Berapa banyak skenario semacam itu terjadi? Maka nanti, semua pejuang yang membentuk pasukan dan melawan, termasuk para pejuang luar negeri yang membantunya akan dilabeli teroris. Dengan begitu, untuk sementara selama bertahun-tahun orang-orang Rohingya tidak akan menjadi headline. “Sekarang sih tidak, tapi sesaat setelah ini,” ujar Bilal.
“Saya percaya bahwa kelompok-kelompok seperti ISIS menyelamatkan rezim Bashar Assad dari kehancuran akibat berperang melawan Mujahidin di Suriah. Apakah mereka melakukannya secara sadar atau tidak sadar adalah sesuatu yang akan diperdebatkan selama bertahun-tahun yang akan datang. Namun karena semua orang bisa melihat, bahkan kekuatan gabungan dari Angkatan Darat Suriah, amunisi Rusia dan hak veto PBB, pasukan Iran, dan para pejuang Hizbullah belum mampu menghentikan perjuangan sah oleh rakyat Suriah dan pembantu asing mereka,” tandas Akhi Bilal. (adibahasan/arrahmah.com)