KUALA LUMPUR (Arrahmah.com) – Kota Ampang Tasik Permai, yang berada di tepi pusat kota Kuala Lumpur, adalah salah satu kantong terbesar pengungsi Rohingya di Malaysia.
Banyak pengungsi Rohingya yang telah tinggal di daerah sini selama lebih dari 20 tahun, setelah pertama kali mereka tiba di Malaysia pada 1980-an dari negara bagian Rakhine di Myanmar, sebagaimana dilansir oleh
, Jum’at (26/6/2015).
Ada lebih dari 150.000 pengungsi dan pencari suaka di negara ini, dan 90 persen dari mereka berasal dari Myanmar.
Sementara itu, beberapa diantara mereka masih tetap memelihara cara hidup tradisional mereka, dan sebagian yang lain menikah dengan etnis Melayu dan terbiasa dengan budaya lokal. Banyak orang Rohingya yang juga lahir di Malaysia.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan ketika Muslim Rohingya, seperti halnya ummat Islam lainnya di seluruh dunia, berkumpul untuk berbuka puasa saat matahari terbenam.
Mereka suka berbuka puasa dengan hidangan tradisional mie, yang mengingatkan mereka terhadap kampung halaman mereka.
“Kami hanya bisa makan ini untuk mengenang rumah kami, ini disiapkan oleh orang-orang kami dan saya datang jauh-jauh untuk makan ini,” kata seorang pria Rohingya.
“Mereka berada di sini untuk mencari nafkah, mereka tidak menyusahkan kami,” kata seorang wanita setempat.
“Ini adalah anak-anak Rohingya, mereka berbaur dengan anak-anak Melayu dan anak-anak Indonesia. Tidak ada masalah, mereka tidak berkelahi,” setuju pria lain.
Selama bertahun-tahun, Muslim Rohingya telah hidup berdampingan dengan Muslim Melayu yang tinggal di Malaysia. Mereka shalat bersama dan belajar bahasa Melayu lokal.
Bagi banyak pengungsi Rohingya, Malaysia merupakan rumah bagi mereka dan mereka berharap diberikan hak untuk bekerja. Bagi pengungsi Rohingya yang lainnya, mereka rindu untuk pulang kembali ke kampung halamannya pada suatu hari ketika situasi membaik dan penganiayaan terhadap orang Rohingya berhenti.
“itu adalah tanah leluhur kami, dan dulunya damai. Insya Allah, perdamaian akan kembali, dan akan menjadi baik,” kata seorang pria Rohingya.
“Jika saja Malaysia memungkinkan mereka untuk bekerja, hanya itu yang mereka minta, sehingga mereka dapat memberi makan keluarga dan menyekolahkan anak-anak mereka,” kata Aegile Fernandex, Direktur Tenaganita Women’s Force, sebuah lembaga non-pemerintah pemerhati pengungsi.
Meskipun mereka tidak diijinkan untuk bekerja secara legal, banyak dari pengungsi itu yang tetap mencari penghidupan dengan melakukan pekerjaan kasar yang tidak dilakukan oleh penduduk setempat, supaya mereka bisa memiliki masa depan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.
KUALA LUMPUR (Arrahmah.com) – Kota Ampang Tasik Permai, yang berada di tepi pusat kota Kuala Lumpur, adalah salah satu kantong terbesar pengungsi Rohingya di Malaysia.
Banyak pengungsi Rohingya yang telah tinggal di daerah sini selama lebih dari 20 tahun, setelah pertama kali mereka tiba di Malaysia pada 1980-an dari negara bagian Rakhine di Myanmar, sebagaimana dilansir oleh
, Jum’at (26/6/2015).
Ada lebih dari 150.000 pengungsi dan pencari suaka di negara ini, dan 90 persen dari mereka berasal dari Myanmar.
Sementara itu, beberapa diantara mereka masih tetap memelihara cara hidup tradisional mereka, dan sebagian yang lain menikah dengan etnis Melayu dan terbiasa dengan budaya lokal. Banyak orang Rohingya yang juga lahir di Malaysia.
Bulan suci Ramadhan merupakan bulan ketika Muslim Rohingya, seperti halnya ummat Islam lainnya di seluruh dunia, berkumpul untuk berbuka puasa saat matahari terbenam.
Mereka suka berbuka puasa dengan hidangan tradisional mie, yang mengingatkan mereka terhadap kampung halaman mereka.
“Kami hanya bisa makan ini untuk mengenang rumah kami, ini disiapkan oleh orang-orang kami dan saya datang jauh-jauh untuk makan ini,” kata seorang pria Rohingya.
“Mereka berada di sini untuk mencari nafkah, mereka tidak menyusahkan kami,” kata seorang wanita setempat.
“Ini adalah anak-anak Rohingya, mereka berbaur dengan anak-anak Melayu dan anak-anak Indonesia. Tidak ada masalah, mereka tidak berkelahi,” setuju pria lain.
Selama bertahun-tahun, Muslim Rohingya telah hidup berdampingan dengan Muslim Melayu yang tinggal di Malaysia. Mereka shalat bersama dan belajar bahasa Melayu lokal.
Bagi banyak pengungsi Rohingya, Malaysia merupakan rumah bagi mereka dan mereka berharap diberikan hak untuk bekerja. Bagi pengungsi Rohingya yang lainnya, mereka rindu untuk pulang kembali ke kampung halamannya pada suatu hari ketika situasi membaik dan penganiayaan terhadap orang Rohingya berhenti.
“itu adalah tanah leluhur kami, dan dulunya damai. Insya Allah, perdamaian akan kembali, dan akan menjadi baik,” kata seorang pria Rohingya.
“Jika saja Malaysia memungkinkan mereka untuk bekerja, hanya itu yang mereka minta, sehingga mereka dapat memberi makan keluarga dan menyekolahkan anak-anak mereka,” kata Aegile Fernandex, Direktur Tenaganita Women’s Force, sebuah lembaga non-pemerintah pemerhati pengungsi.
Meskipun mereka tidak diijinkan untuk bekerja secara legal, banyak dari pengungsi itu yang tetap mencari penghidupan dengan melakukan pekerjaan kasar yang tidak dilakukan oleh penduduk setempat, supaya mereka bisa memiliki masa depan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.