MYANMAR (Arrahmah.com) – Kelompok advokasi Rohingya di seluruh dunia menyeru dunia internasional untuk mengupayakan bantuan kemanusiaan agar bisa masuk ke wilayah Rakhine, wilayah yang dihuni Muslim Rohingya Myanmar yang selama ini mengalami pembantaian dan menderita kelaparan.
Selama hampir satu bulan, wilayah negara ini dilaporkan semakin terisolasi setelah sembilan perwira tewas dalam serangan yang dilancarkan oleh kelompok perlawanan yang dikabarkan juga menyita puluhan senjata dan ribuan amunisi.
Pembatasan pemberian bantuan dan akses informasi di Maungdaw dan Buthidaung kemudian diberlakukan dengan dalih tentara terus mencari mereka yang bertanggung jawab atas serangan tersebut, lansir WB.
Maungdaw dan Buthidaung merupakan wilayah Rakhine yang sebagian besar dihuni oleh Muslim Rohingya – yang dijelaskan oleh PBB sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Pada Kamis (27/10/2016), sebuah pernyataan dari kelompok advokasi tersebut menyerukan “tindakan Internasional diperlukan karena warga Rohingya menghadapi pembantaian, pemerkosaan, penangkapan massal dan kelaparan” meminta pemerintah, ASEAN dan PBB untuk turut turun tangan.
“Kami mengetahui bahwa NLD [Liga Nasional untuk Demokrasi] yang dipimpin pemerintah memiliki kontrol terbatas atas militer dan pasukan keamanan, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa mereka telah mencoba untuk melakukan yang terbaik untuk mengakhiri pelanggaran-pelanggaran tersebut,” katanya, merujuk ke partai politik Aung San Suu Kyi yang telah mendirikan badan pencari fakta internasional untuk mencoba menyelesaikan masalah di daerah itu.
“Sebaliknya mereka justru bertindak dengan cara yang mirip dengan rezim militer sebelumnya. Mereka tidak hanya gagal bertindak untuk mencoba membatasi pelanggaran hukum internasional oleh pasukan keamanan dan militer, melalui media negara mereka secara aktif malah berusaha untuk menyangkal adanya pelanggaran yang tengah berlangsung [di sana] dan melakukan penerbitan berita palsu.”
Pernyataan mereka mengklaim bahwa jika pelanggaran seperti itu terjadi di bawah pemerintahan militer, maka akan ada kecaman internasional dan pembicaraan tentang penyelidikan internasional, sanksi dan diskusi di Dewan Keamanan PBB.
Suu Kyi yang terpilih secara demokratis – yang menjabat sejak 1 April – adalah pemerintah non-militer pertama negara itu dalam 54 tahun.
“Sebaliknya kami justru melihat tidak adanya tanggapan atau adanya peredaman tanggapan, serta tidak adanya tindakan,” mereka menggarisbawahi.
Pembantaian Massal
Menurut sebuah studi baru yang dilakukan oleh International State Crime Initiative (ISCI) di Queen Mary University of London, “Warga Rohingya menghadapi tahap akhir genosida,” dengan pembantaian massal yang sangat nyata.
Maung Maung, seorang pria Rohingya yang tinggal di ibukota Rakhine Sittwe, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa hal-hal buruk telah terjadi di Maungdaw sejak operasi militer dimulai.
“Kami telah mendengar pengaduan warga Maungdaw selama beberapa hari terakhir. Mereka mengatakan tentara mendiskriminasikan mereka dan memaksa mereka untuk melakukan pengakuan [atas serangan yang terjadi],” katanya melalui telepon, Selasa (25/10).
“Mereka mengatakan tentara membawa warga desa yang tidak bersalah untuk diinterogasi dan warga Rohingya di sana mengatakan mereka tidak memiliki cukup makanan untuk beberapa hari.”
Pada hari Senin, Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Yanghee Lee mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa meskipun penyelidikan atas kekerasan di sana telah diserukan, serangan masih saja terus terjadi.
“Penasihat Negara Aung San Suu Kyi telah menyerukan penyelidikan yang tepat untuk dilakukan dan untuk tidak ada yang dituduh sampai bukti kuat diperoleh,” ungkap Lee.
“Sebaliknya, kami menerima pengaduan berulang atas penangkapan sewenang-wenang serta pembunuhan di luar hukum yang terjadi dalam konteks operasi keamanan yang dilakukan oleh pihak berwenang dalam memburu orang-orang yang diduga sebagai penyerang.”
Pernyataan pada hari Kamis ini menegaskan bahwa belum ada tanda-tanda akan berakhirnya pelanggaran-pelanggaran tersebut saat ini. Selain itu mereka juga menegaskan bahwa baik militer ataupun pemerintah masih saja belum bersedia untuk mengakui apa yang sedang terjadi di sana dan mengambil tindakan untuk mencegahnya.
“Oleh karena itu menjadi kewajiban masyarakat internasional untuk turun tangan dan melindungi penduduk Rohingya yang rentan menghadapi sejumlah pelanggaran hukum internasional,” katanya.
“Hukum internasional dirancang khusus untuk situasi seperti ini. Masyarakat internasional kini harus melangkah dengan tanggung jawabnya.”
Tun Khin, Presiden Organisasi Rohingya-Burma Inggris, mengatakan bahwa masyarakat dunia sedang menghadapi krisis besar, tetapi respon dari masyarakat internasional terhadap krisis besar ini; nihil.
“Jumlah mereka yang sudah terbunuh, diperkosa dan ditangkap akan terus meningkat jika [dunia internasional] tidak segera mengambil tindakan,” katanya.
Segala tindakan diplomatik, politik dan hukum harus diupayakan.
Pernyataan tersebut juga meminta ASEAN untuk menekan militer dan pemerintah baik secara tertutup maupun terbuka untuk menghentikan semua pelanggaran hak asasi manusia dan menghentikan pembatasan penyaluran bantuan kemanusiaan.
Mereka juga menyeru Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon untuk memimpin upaya PBB dan secara pribadi menuntut diakhirinya semua pelanggaran hak asasi manusia dan semua pembatasan penyaluran bantuan kemanusiaan.
Pernyataan itu ditandatangani oleh organisasi Rohingya dari Inggris, Denmark, Jepang, Australia, Jerman, Swiss, Norwegia, Finlandia, Italia, Swedia, Belanda, Malaysia, dan Komite Pengungsi Muslim Rohingya.
(banan/arrahmah.com)