RAKHINE (Arrahmah.com) – Asoma Khatu, bocah mungil berusia tiga bulan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya akibat sesak nafas yang dideritanya. Salah seorang tetangganya yang bernama Elia, mantan petani berusia 50 tahun, berusaha membantunya dengan memberikan beberapa obat terakhir yang tersedia di lemari besi khusus untuk penyimpanan obat yang disediakan untuk para pengungsi Muslim Rohingya Myanmar
Elia memberikan parasetamol untuk demam gadis mungil yang menderita malnutrisi yang parah dan handuk basah untuk mengkompres dahinya. Kemudian memberinya beberapa garam rehidrasi untuk diarenya. Setelah itu tidak ada lagi obat yang tersisa.
Kisah tragis kematian Asoma di kamp pengungsi yang panas, penuh sesak dan berdebu, yang berjarak sekitar dua jam naik perahu dari Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine di sebelah barat Myanmar, merupakan bagian dari krisis kesehatan yang terus berkembang yang diderita oleh Muslim Rohingya. Kondisi tersebut menjadi semakin buruk saat pemerintah Myanmar melakukan pembatasan terhadap bantuan internasional.
“Saya pikir anak saya akan selamat jika ada orang disini yang akan membantu,” ibu Asoma, Gorima, mengatakan kepada Reuters.
Pada bulan Februari, pemerintah Myanmar telah mengusir kelompok bantuan kemanusiaan Medecins Sans Frontieres-Holland (MSF-H) yang memberikan pelayanan kesehatan kepada lebih dari setengah juta warga Rohingya di negara bagian Rakhine. Pengusiran itu terjadi setelah kelompok itu mengatakan pihaknya telah merawat orang yang diyakini telah menjadi korban kekerasan di wilayah selatan kota Maungdaw, di dekat perbatasan Bangladesh, pada bulan Januari.
PBB mengatakan bahwa setidaknya 40 warga Rohingya telah meninggal di wilayah tersebut akibat kekerasan yang dilakukan oleh Buddha Rakhine.
Serangan terhadap kantor LSM dan kantor PBB oleh massa Buddha Rakhine yang marah karena isu seorang staf asing dari kelompok bantuan kemanusiaan Malteser International, dianggap telah menodai bendera Budda. Penyerangan tersebut menyebabkan kelompok bantuan menarik diri dari wilayah tersebut. Padahal kelompok tersebut telah memberikan pelayanan kesehatan dan bantuan penting lainnya kepada lebih dari 140.000 warga Rohingya yang tinggal dikamp-kamp setelah terlantar akibat kekerasan yang dilakukan ummat Buddha sejak 2012.
Pemerintah telah berjanji untuk mengizinkan sebagian LSM untuk kembali beroperasi secara penuh setelah berakhirnya perayaan tahun baru Buddha bulan ini.
Sejauh ini hanya distribusi makanan yang didistribusikan oleh Program Pangan Dunia yang kembali normal. Para pemimpin masyarakat Rakhine di Pusat Koordinasi Darurat Pemerintah telah menerapkan persyaratan ketat terhadap LSM yang ingin kembali memberikan bantuan kemanuisaan.
LSM hanya akan diizinkan beroperasi jika mereka menunjukkan “transparansi menyeluruh” dalam mengungkapkan rencana perjalanan mereka dan proyek-proyek yang akan mereka lakukan dan tidak terlihat mendukung Rohingya, kata Than Tun, sesepuh dari komunitas Rakhine yang merupakan bagian dari Pusat Koordinasi Darurat Pemerintah.
Saat kunjungan yang dilakukan oleh Reuters ke kamp Kyein Ni Pyin serta beberapa kamp di dekat Sittwe, mengungkapkan perjuangan orang-orang yang menderita penyakit di kamp tersebut. Di gubuk-gubuk kumuh, puluhan ibu-ibu menunjukkan anak-anak mereka yang kurus. Tidak ada data untuk membandingkan tingkat anak-anak yang menderita malnutrisi ketika LSM telah dipaksa pergi oleh pemerintah Myanmar.
Di sepanjang jalan utama yang ramai di kamp Thae Chaung di luar kota Sittwe, terdapat warung bambu beratap jerami yang menjual obat-obatan dengan jenis yang sangat terbatas. Warung itu telah menjadi klinik darurat bagi pengungsi di wilayah tersebut.
Muhammad Elyas, (30), menjual obat di pasar Sittwe yang sebelumnya telah diusir oleh massa pengacau pada tahun 2012. Elyas merupakan sarjana geologi dan telah mendapat sertifikat dalam pengobatan tradisional.
“Setidaknya 20 sampai 30 orang datang setiap hari mencari pengobatan,” kataElyas. “Minggu demi minggu kondisi warga semakin memburuk.”
“Saya hanya berusaha untuk menyelamatkan mereka sebisa mungkin. Meskipun saya tidak memiliki kualifikasi yang tepat, tapi jika saya tidak melakukan pekerjaan ini, orang-orang akan mati,” katanya.
(ameera/arrahmah.com)