PATTANI (Arrahmah.com) – Pemerintah Thailand pekan lalu bertemu dengan perwakilan dari kelompok Muslim di Thailand selatan untuk mendengarkan aspirasi mereka di tengah kerusuhan yang sedang berlangsung di wilayah tersebut.
Delegasi Perdamaian Thailand Selatan dipimpin oleh Baba Abdulrahman, ketua Dewan Agama Islam Pattani, sedangkan dari pihak pemerintah dipimpin oleh Wanlop Rugsanaoh.
Perwakilan Muslim meminta agar hari Jumat ditetapkan sebagai hari libur nasional dan juga agar bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa resmi di Thailand selatan seperti di provinsi Pattani, Yala, Narathiwat dan Songkhla. Di mana keempat provinsi tersebut memiliki populasi komunitas Muslim Melayu terbesar di Thailand.
Perwakilan Muslim juga meminta agar pemerintah juga mengenal praktik-praktik ibadah umat Islam, sehingga mereka dapat mengurus masalah haji, menyusun undang-undang sesuai syariat Islam di provinsi mayoritas penduduk Muslim, dan mengembangkan industri makanan halal.
Menanggapi pertemuan tersebut Teuku Zulkhairi, seorang pakar sejarah Islam wilayah Asia Tenggara, menyampaikan apresiasinya atas pertemuan tersebut.
Zulkhairi mengatakan kepada koresponden Anadolu Agency, bahwa kelompok minoritas di selatan Thailand tersebut merupakan bagian dari entitas Muslim Melayu yang memiliki sejarah kuat dan panjang di Asia Tenggara.
Lebih lanjut, Zulkhairi menjelaskan bahwa mereka bukanlah komunitas baru di provinsi yang berada di Thailand selatan. Dia juga mencatat bahwa bahwa Islam telah masuk ke wilayah tersebut pada abad ke-15, yang menyebabkan berdirinya kerajaan Pattani Darussalam.
“Nama Pattani berasal dari kata al-Fatani dalam bahasa Arab yang berarti ‘cendekiawan’ karena banyak ulama Muslim lahir dari sana,” ujar Zulkhairi.
Kerajaan Pattani Darussalam kemudian ditaklukkan oleh Kerajaan Siam, penguasa Thailand, pada tahun 1785. Kerajaan Siam kemudian menguasai seluruh wilayah Pattani dan membaginya menjadi tujuh provinsi.
Penguasa Thailand, King Chulalongkorn, melanggar perjanjian damai dengan ke tujuh provinsi tersebut pada tahun 1901 dan melancarkan operasi militer di wilayah. Hingga akhirnya pada tahun 1909 dibuatlah perjanjian Anglo Siam, yang membuka jalan bagi Kerajaan untuk mencaplok wilayah selatan Thailand.
Zulkhairi menyuarakan pentingnya pemerintah Thailand untuk memberikan kebebasan bagi minoritas muslim dalam menjalankan ajaran agama mereka.
Dia juga meminta negara muslim terbesar di Asia Tenggara – Indonesia dan Malaysia – untuk mendorong Thailand melindungi hak-hak Muslim Pattani.
Zulkhairi mengatakan jika umat Islam di Thailand selatan dapat hidup damai dan menikmati kebebasan dan keadilan, hal itu akan memberikan pengaruh positif pada citra Thailand di mata Internasional.
“Ini menjadi tantangan bagi Thailand untuk menunjukkan komitmennya,” ujarnya.
Aktivis hak asasi manusia Musthopa Mansor dari Asosiasi Solidaritas Masyarakat Malaysia, yang sering memberikan bantuan kemanusiaan di Thailand selatan, memiliki pandangan yang sama tentang minoritas muslim.
“Tuntutan dari delegasi Muslim Pattani sesuai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB 1948,” kata Mansor.
Berdasarkan deklarasi tersebut, minoritas Muslim Pattani memiliki hak untuk mengutarakan pendapat, memilih agama dan keyakinan, serta bebas dari rasa takut.
Sementara itu, Marwan Ahmad (29), seorang Muslim di provinsi Pattani berharap agar pertemuan antara pemerintah dan kelompok Muslim tidak hanya sekedar formalitas.
“Banyak orang Pattani yang tidak mempercayai tim perundingan perdamaian dari pihak pemerintah Thailand, karena saat ini tengah terjadi gelombang protes di Bangkok atas penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah,” kata Marwan.
Ia juga mengatakan bahwa pemerintah melihat konflik yang terjadi di Thailand selatan sebagai kerusuhan biasa, padahal konflik tersebut mulai sejak terjadi pencaplokan wilayah Patani pada tahun 1909.
“Pemerintah harus membangun kepercayaan dan menunjukkan perilaku demokratis,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)