Muslim Malawi mendorong pemerintah untuk memberlakukan undang-undang untuk melindungi Muslimah yang mengenakan hijab yang menjadi korban di tempat umum dan tempat kerja di negara Afrika bagian selatan tersebut.
“Ada kasus yang dilaporkan mengenai korban dan pelecehan terhadap Muslimah di tempat umum dan tempat kerja, karena tidak ada undang-undang yang melindungi kami, para pelaku bisa pergi dengan bebas, sementara korban terus menderita dalam diam,” ujar Fatima Ndaila, Ketua Organisasi Perempuan Muslim Nasional (MWO), mengatakan kepada OnIslam.
“Untuk alasan ini, kami meningkatkan advokasi hukum untuk melindungi kami. Mengapa sangat mudah untuk melecehkan wanita berkerudung?”
“Muslim yang berhijab tengah menjadi korban. Kami dipandang sebagai manusia terbelakang dan primitif.
Bahkan selama wawancara untuk pekerjaan, mereka dipaksa untuk melepaskan hijabnya. Ini adalah ejekan untuk agama kami,” tambah Nadia.
“Kami tidak mengerti mengapa hal seperti ini terjadi. Ini adalah latar belakang mengapa kami mendesak pihak berwenang untuk mendengarkan permohonan kami untuk dimasukkan ke dalam undang-undang yang setidaknya akan melindungi dan memberi kami kebebasan. Ini sangat tidak manusiawi.”
Ndaila mengatakan beberapa kepala lembaga pendidikan tidak mengizinkan Muslimah mengenakan hijab ke sekolah dan kampus.
“Dan di tempat umum, Muslimah diejek dan dicemooh. Kami merasa tidak ada yang bisa menjadi sesuatu untuk melindungi kami, kami harus bebas berpakaian sesuai aturan agama kami. Mengapa kami menjadi korban karena hijab?”
Aisha Mambo, satu-satunya Muslimah yang menjadi legislator di Malawi mengatakan bahwa hijab menjadi sumber ketidaknyamanan untuk kebanyakan Muslimah di Malawi karena beberapa bagian masyarakat menggunakannya sebagai senjata untuk melecehkan Muslimah.
“Sepotong undang-undang memang akan menjadi penghalang, namun saya tidak melihatnya bisa diwujudkan, karena jumlah Muslim di Majelis Nasional di mana undang-undang dibuat sangat rendah dan bahkan di eksekutif Muslim kurang terwakili,” ungkapnya.
Dr. Salmin Omar, sekretaris jenderal badan ulama tertinggi di negara tersebut, Dewan Ulama Malawi, mengatakan itu telah melanggar aturan keadilan untuk sekelompok orang yang melakukan pelecehan atas dasar keyakinan agama.
“Di tahun 1990-an, hijab telah menjadi kontroversi. Ini yang disalahpahami oleh masyarakat Kristen. Tapi sekarang kami pikir, kami telah diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Ini sangat disayangkan bahwa masih ada sebagian orang yang masih tidak nyaman dengan itu. Dewan Ulama mendukung undang-undang untuk melindungi Muslimah dari segala bentuk pelecehan. Kami tidak bisa membiarkan hal tersebut terus berlanjut di komunitas bebas seperti Malawi,” ujarnya kepada OnIslam.
“Kami tidak akan beristirahat sampai Muslimah kami bisa bebas dari segala bentuk pelecehan. Kami tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Kami mungkin minoritas, tapi kami layak diperlakukan sebagai manusia.
Kita semua sama di hadapan Allah,” tambahnya.
Aktivis hak-hak perempuan terkenal, Emma Kaliya, mengecam tingkat pelecehan dan menghimbau semua sektor masyarakat Malawi untuk bergabung dalam mendukung undang-undang untuk melindungi hak-hak perempuan berhijab.
“Ini adalah hak asasi manusia, bukan tentang agama. Bagaimana kita bisa duduk diam, sementara sekelompok perempuan sedang diburu? Apa yang ada di sebuah jilbab yang membuat orang lain tidak nyaman? Mengapa kita harus bersikap seperti binatang liar? Kami mendukung semua upaya untuk memastikan bahwa perempuan Muslim dilindungi sepenuhnya,” ujarnya.
“Saya bangga menjadi bangsa yang takut akan Tuhan. Tapi saya bertanya-tanya, mengapa kita gagal untuk menghormati keyakinan orang lain. Bagaimana kita mengaku takut akan Tuhan jika mengorbankan orang lain yang mengikuti keyakinan agama mereka,” lanjutnya.
Di Malawi, Islam merupakan agama terbesar kedua setelah Kristen. Jumlah Muslim Malawi mencapai 36% dari total penduduk negara itu. (haninmazaya/arrahmah.com)