INDIA (Arrahmah.com) – Pada Kamis (29/10/2020), demonstrasi besar-besaran melawan Macron, yang diorganisir di pusat kota Bhopal di India, dihadiri oleh ribuan Muslim. Demonstrasi juga dilaporkan di beberapa kota kecil di India, termasuk Aligarh di negara bagian utara Uttar Pradesh.
Demonstrasi anti-Macron menyusul kecaman terhadap presiden Prancis oleh organisasi ulama terkemuka India Jamiat Ulama-i-Hind (JuH), yang juga mengancam akan melakukan lebih banyak protes dalam beberapa hari mendatang.
Dalam sebuah pernyataan, para demonstran juga mengecam pemerintah India karena dinilai bersolidaritas dengan Macron. Sekretaris Jenderal JuH Maulana Mahmood Madani mengatakan pada hari Kamis bahwa tindakan presiden Prancis itu mendorong terorisme dalam kedok sekularisme.
“Sikap pemerintah India ini mencerminkan permusuhan terhadap Islam dan Muslim. Ini pasti akan merugikan tidak hanya 200 juta Muslim di negara itu, tetapi Muslim di seluruh dunia serta orang-orang yang berpikiran sekuler”, kata Madani sebagaimana dikutip dari DNA India (30/10/2020)
Pada Rabu (28/10), Kementerian Luar Negeri India (MEA) mengutuk serangan pribadi terhadap Macron, seperti yang dilakukan oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang meminta Macron menjalani pemeriksaan mental.
Dalam sebuah tweet pada Kamis malam, Perdana Menteri Narendra Modi bergabung dengan para pemimpin dunia lainnya dalam mengutuk serangan teroris di kota Nice Prancis, di mana seorang wanita dilaporkan dipenggal kepalanya di sebuah gereja oleh Muslim berusia 21 tahun. Macron menggambarkan insiden itu sebagai “serangan teroris Islam”.
Menteri Luar Negeri India Harsh Vardhan Shringla, yang sedang berkunjung ke Prancis, pada hari Kamis juga menyatakan “solidaritas rakyat India dengan Prancis dalam perang melawan terorisme dan radikalisme”.
Sementara tweet solidaritas PM Modi dengan Macron telah diterima dengan cukup baik di antara pendukung Partai Bharatiya Janata (BJP), hal tersebut justru menuai penolakan dari umat Islam di berbagai kalangan.
Selain PM India, Presiden Prancis juga didukung oleh para pemimpin global lainnya seperti Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang mengatakan bahwa mereka mendukung Prancis dalam perang melawan terorisme.
Mulanya, perselisihan gobal ini dipicu oleh pemenggalan terhadap guru sejarah berusia 47 tahun, Samuel Paty, pada 16 Oktober di Conflans-Sainte-Honorine karena menunjukkan karikatur Nabi Muhammad kepada murid-muridnya. Kartun tersebut dikatakan diterbitkan oleh Charlie Hebdo pada tahun 2015.
Setelah insiden tersebut, seruan untuk memboikot barang-barang Prancis dan hasutan untuk menyerang ekspatriat Prancis terjadi di negara-negara Muslim di seluruh dunia.
Di Asia Selatan, protes besar-besaran terhadap Macron terjadi di ibukota Bangladesh, Dhaka awal pekan ini, sementara Perdana Menteri Pakistan Imran Khan mengatakan dalam surat terbuka bahwa “kecenderungan kolektif” Islamofobia di negara-negara Eropa harus diatasi. (hanoum/arrahmah.com)