GHANA (Arrahmah.com) – Sebuah usulan untuk menambah batas minimal usia menikah kaum wanita di Ghana menghadapi banyak kritik dari organisasi-organisasi Muslim di sana.
Organisasi-organisasi Muslim Ghana melihatnya sebagai pembuka pintu untuk masalah yang berkaitan dengan seks bebas sebelum pernikahan dan aborsi yang bertentangan dengan hukum Islam.
“Ada banyak faktor secara signifikan termasuk faktor biologi, budaya, sosial dan teknologi; yang menjamin bahwa anak perempuan secara fisik matang untuk menikah pada usia 18 tahun,” kata Imam dan Ketua Nasional Misi Muslim Ghana, Syaikh (Dr) Amin Bonsu, kepada Ghana Web pada Senin (29/7/2013).
“Menunda pernikahan mereka berarti kita akan menemui lebih banyak gadis-gadis muda yang hamil tanpa pria yang bertanggung jawab yang akan merawat mereka selama kehamilan, melahirkan, dan merawat bayi mereka,” tandasnya.
Usulan untuk menambah batas minimal usia pernikahan bagi kaum wanita di Ghana dari 18 menjadi 23 tahun itu pertama kali diusulkan oleh Pemerintah Statistika Dr Philomina Nyarko.
Nyarko mengklaim, dengan usulan tersebut para wanita muda akan dipersiapkan secara fisik, sosial dan psikologis sebelum melahirkan anak.
Berbicara pada konferensi pers di Accra, Dr Bonsu berpendapat bahwa melahirkan anak di usia lanjut juga bisa meresahkan bagi banyak wanita.
Selain itu, dia menyebut laporan yang menunjukkan bahwa di wilayah pusat saja, tahn lalu hampir 14.000 wanita hamil akibat hubungan seks pra-nikah.
Dr Bonsu mengatakan kurangnya perawatan yang tepat untuk gadis-gadis yang tengah hamil bisa memaksa mereka untuk terlibat dalam metode aborsi yang tidak aman yang dapat menyebabkan tingginya tingkat kematian ibu di negara itu.
“Inilah, oleh karena itu, ada kekhawatiran bahwa menunda pernikahan mereka sampai usia 23 tahun akan memberikan ruang lebih untuk kehamilan [di luar nikah] para remaja, aborsi ilegal, kematian ibu, HIV / AIDS, kelahiran yang tidak direncanakan dan banyak konsekuensi lain pada gadis-gadis ini, bayi mereka dan masyarakat luas,” tegas Dr Bonsu.
Pemimpin Muslim itu menegaskan bahwa pemerintah harus memikul tanggung jawabnya dalam menekankan pengasuhan yang tepat daripada menambah-nambah batas minimal usia kaum wanita untuk menikah.
“Lembaga pendidikan juga harus menanamkan moral dan pelatihan kecakapan hidup ke dalam kurikulum sekolah seperti dulu, bukan berfokus hanya pada pengembangan intelektual dan akademis anak-anak kita,” saran Dr Bonsu.
Dia menambahkan bahwa lembaga agama juga harus fokus pada khotbah moral yang baik dan membentuk karakter masyarakat mereka daripada menghabiskan terlalu banyak waktu pada masalah bisnis.
“Masyarakat, tokoh adat dan tokoh politik kita harus menjunjung tinggi dan menghormati orang-orang dengan karakter moral yang baik, dan bukan dengan kekayaan, status sosial,” tambahnya.
Dr Bonsu mencatat bahwa menempatkan terlalu banyak penekanan pada pengendalian kelahiran dan mengurangi pertumbuhan penduduk bukanlah sebuah pendekatan yang lebih baik untuk pembangunan negara.
Dia juga mengecam fakta bahwa banyak negara yang menghabiskan lebih banyak biaya untuk pengendalian kelahiran dan mengurangi populasi dari pada pengeluaran yang akan menjamin pertumbuhan ekonomi.
“Kami menyarankan bahwa keluarga dan negara harus menggunakan sumber daya yang tersedia untuk perencanaan keluarga yang tepat termasuk jarak kelahiran, alokasi penghasilan untuk pengasuhan anak-anak dan pendidikan,” saran Syaikh [Dr] Bonsu. (banan/arrahmah.com)