BERLIN (Arrahmah.com) – Masyarakat Islam Eropa perlu untuk mengembangkan diri sebelum dialog antaragama benar-benar terjadi di benua tersebut, tulis pemimpin baru 24 Juta Protestan Jerman, dikutip Ekklesia.
“Kami sedang ada di permulaan diskusi antaragama dalam level tinggi teologis dan hal ini dilakukan karena banyak masalah ditemukan di dalam Islam,” kata Rec Nikoulaus Schneider dalam wawancaranya di ENInews.
“Para imam yang datang dari Turki ke Jerman kesulitan berbahasa Jerman dan itu artinya kami merasa perlu untuk melatih para imam itu untuk dilatih di kampus-kampus,” lanjut Schneider, yang terpilih sebagai ketua Gereja Evangelis Jerman (EKD) pada awal November lalu.
Schneider menyatakan bahwa salah satu prioritasnya adalah untuk mengadakan segera pertemuan dengan sejumlah perwakilan Islam di Jerman, tempat tinggal bagi sekitar empat juta Muslim.
Dalam beberapa pekan ini, sebuah perdebatan yang panas terjadi di Jerman mengenai keinginan imigran Muslim untuk mengintegrasikan diri dan mempelajari bahasa (dan nilai-nilai yang ada di Jerman). Sebuah buku yang mengklaim bahwa Muslim keturunan Turki enggan untuk berintegrasi ada dalam deretan buku non fiksi terlaris di negeri itu.
Schneider mengungkapkan bahwa ia menyambut baik rencana pendirian fakultas teologi Islam di tiga universitas di Jerman dengan dalih sebagai salah satu usaha untuk mengenalkan pendidikan agama Islam di kampus-kampus. Bagi sebagian warga Jerman, pendidikan agama merupakan mata kuliah yang diwajibkan dalam kurikulum pendidikan, dimana penganut Kristen Protestan, Kristen Roma, dan Yahudi dipisahkan dalam kelas tersendiri. Namun sebelumnya belum ada kelas untuk Muslim.
“Kami membutuhkan Islam yang memiliki formasi akademis di negeri kami dan di kampus-kampus yang ada, Islam yang mampu untuk masuk ke dalam dialog dengan ilmu-ilmu sosial dan dengan ilmu pasti di negeri kami,” ujar Schneider.
Merujuk pada para pemimpin agama Islam, ia berkata: “Mereka tidak mengetahui latar kultural kami, dan mereka tidak bisa menyebarkan Islam dengan cara yang tidak memiliki orientasi pada kondisi masyarakat kami, namun mereka masih menggunakan cara-cara yang biasa mereka lakukan di Turki.” (althaf/arrahmah.com)