“Mereka menyiksa saya dengan brutal. Mereka memanggil petugas kebersihan dan mereka memaksa dia untuk menyodomi saya,” kata Mohammed Ahsan Untoo.
Pengakuan tersebut dibuat oleh Untoo (52), saat ia mencoba mengingat kembali bagaimana ia diserang setelah ditangkap oleh polisi di ibukota India New Delhi empat tahun lalu.
“Dalam Lodhi Road, Penjara Khusus, mereka memaksa saya untuk minum alkohol untuk mencoba menghancurkan saya. Untuk hidup sebagai manusia di sini sangat sulit.”
Pada tanggal 9 Februari 2005, petugas dari Kepolisian Penjara Khusus Delhi, spesialisasi dalam divisi kontra-terorisme, menangkap Untoo, seorang aktivis hak asasi manusia di Kashmir dan pernah terlibat dengan salah satu kelompok mujahidin Pakistan yang menginduk pada Hizb-ul-Mujahidin.
Pria paruh baya itu menyatakan bahwa ia dipukul dan mengalami pelecehan seksual selam empat hari di kantor kepolisian di selatan kota Delhi. Kemudian ia ditahan dengan dua tuduhan oleh Official Secret Act. Dan polisi mengatakan bahwa tuduhan penyiksaan dan pelecehan terhadap Untoo tidak berdasar.
Kepolisian India mengklaim bahwa ia ditangkap karena membawa informasi rahasia dan terlarang termasuk dokumen militer India dan uang sebesar 70.000 rupee. Mereka menyatakan bahwa uang itu diberikan kepadanya oleh badan intelijen Pakistan, Inter-Services Intelligence (ISI).
Tuduhan itu ditolak oleh Untoo. Pengacaranya mengklaim bahwa dokumen itu dimasukkan ke dalam tas yang ia bawa tanpa sepengetahuannya dan ia dipaksa dan diancam agar menandatangani pernyataan kosong yang mereka sodorkan. Persidangannya yang dimulai di ibu kota pada tahun 2007, berakhir pada bulan Mei, memutuskan bahwa ia dinyatakan bersalah dan dihukum empat tahun penjara.
“Saya adalah bagian dari Hizb-ul-Mujahidin, saya adalah salah satu komandan tempur. Sebagai seorang komandan, saya membantu orang-orang ini (mujahidin) kemana pun mereka pergi,” katanya kepada IOL sebelum putusan dikeluarkan.
Tahun 1993, Untoo mengundurkan diri dari Hizb-ul-Mujahidin dan kemudian terlibat aktif dalam aksi-aksi pembelaan hak asasi manusia hingga ia ditangkap tahun 2005. Ia mengkampanyekan hak-hak keluarga dari orang-orang yang hilang sejak pemberontakan Kashmir bermula dan menyoroti kematian yang seringkali terjadi terhadap muslim Kashmir pada saat ditahan oleh India.
Ia terang-terangan mengecam tindakan personil militer, petugas kepolisian, dan politisi yang melakukan tindakan penganiayaan atau yang diam saja membiarkan penganiayaan tersebut terus terjadi. Dan sebagai upaya membungkamnya, ‘pemerintah’ pun menangkap Untoo dan memenjarakannya.
“Saya hanya ingin mengusahakan terwujudnya kemerdekaan politik, tanpa kekerasan. Tapi saya tetap ditangkap. Saya tidak takut. Saya tidak mau bergantung pada orang lain,” tambahnya.
Karena Untoo sudah berada lebih dari empat tahun dalam tahanan menunggu hasil dari pengadilan, maka hakim memutuskan bahwa Mei ia harus dibebaskan.
Saat ini ia masih diamankan oleh pihak Kashmir, menunggu hasil persidangan kedua dengan tuduhan keterlibatannya sebagai provokator dalam protes publik di Srinagar di Kashmir 2004.
Banyak Kasus
Untoo tidak sendiri. Ada lebih dari 800 tahanan politik Kashmir yang saat ini ditahan atas perlawanannya terhadap penjajahan India di Kashmir. Jumlahnya lebih banyak daripada jumlah tahanan dari pihak militer India yang terjerat kasus penahanan ilegal.
Persoalan utama dari semua ini -sikap keras kepala yang sulit untuk disembuhkan- adalah isu kontroversial kedaulatan Kashmir.
Baik India maupun Pakistan, sama-sama mengklaim atas wilayah sengketa itu. Pemberontakan terhadap kontrol New Delhi atas Kashmir memuncak untuk pertama kalinya pada tahun 1989 ketika pemberontak bersenjata, beberapa ada yang dilatih dan didanai oleh ISI, mengangkat senjata. Perlawanan tidak ditolerir. Lebih dari 60.000 orang tewas sejak pasukan India memulai operasi melawan pemberontakan setahun kemudian.
Tidak ada satupun anggota tentara India atau pasukan paramiliter yang pernah dituntut di pengadilan sipil atas pelanggaran kemanusiaan yang telah mereka lakukan di Kashmir, sebagaimana yang dilansir dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Jammu and Kashmir’s High Court Bar Association. Kelompok hak asasi manusia di negara itu pun mengatakan sekitar 10.000 pria dan anak-anak hilang sejak 1989. Baru-baru ini, sejumlah kuburan tanpa nama ditemukan di beberapa negara bagian.
Kampanye Politik Untuk Pembebasab Narapidana pun memperkirakan India memiliki lebih dari 10.000 tahanan ‘pembangkang’ dalam penjara dan jumlah ini meningkat seiring dengan semakin banyaknya pemerintah negara bagian dan pemerintah federal yang menyalahgunakan hukum untuk menindas oposisinya.
Dalam beberapa tahun terakhir pertanyaan tentang bagaimana India sebagai negara ‘terbesar’ dalam dunia ‘demokrasi’, telah diketahui kebobrokannya karena telah memenjarakan dan melakukan penyiksaan terhadap jurnalis, aktivis hak asasi manusia, dokter dan orang-orang yang diduga ‘teroris’ yang telah menentang negara dan kebijakan Pemerintah federalnya.
Agrwaal Ashok, salah seorang advokat New Delhi yang telah menuliskan berbagai macam pelanggaran kemanusiaan di Kashmir, mengatakan: “India sering meratifikasi perundang-undangan internasional tetapi kemudian tidak memformalkannya ke dalam hukum domestik karena India tidak ingin dilihat sebagai salah satu dari negara dunia ketiga. India ingin dilihat publik internasional sebagai negara yang tidak pernah menekan perbedaan pendapat.” Padahal sebaliknya.
“Dalam semua kasus ini, negara telah merekayasa situasi. Kita tidak lagi mampu mempercayai negara karena sudah jelas-jelas berbohong dan memanipulasi lagi dan lagi. Anda tidak bisa lagi mempercayai negara semacam itu dan hal itu adalah tragedi terbesar.”
Dan hingga detik ini, tentara India menolak memberikan komentar. (althaf/iol/arrahmah.com)