(Arrahmah.id) – Mendengar kata “Muslim Eropa”, hal pertama yang biasanya terlintas di benak seseorang adalah Muslim Barat, imigran berlatar belakang Muslim atau mualaf kulit putih.
Tapi ada sisi lain Eropa, yang lebih berkaitan dengan Islam daripada yang kita pikirkan sebelumnya.
Sangatlah penting untuk menggali sejarah Eropa Timur untuk menemukan harta karun masa lalu yang terlupakan dan masa kini yang penuh tantangan dari saudara-saudari kita yang tinggal di Bosnia dan Herzegovina.
Bosnia-Herzegovina adalah salah satu negara bekas Yugoslavia yang paling beragam di mana orang Bosnia (Muslim Bosnia), Serbia, dan Kroasia hidup bersama dengan damai.
Bosnia meliputi bagian utara dan tengah negara itu, dengan namanya mungkin berasal dari “bosana”, kata Indo-Eropa kuno yang berarti “air”. Suku-suku Muslim telah hadir di Eropa Timur sejak awal, tetapi titik baliknya terjadi ketika Kesultanan Utsmaniyah melakukan “invasi” terhadap Bosnia, yang mana berlangsung di negara itu selama 400 tahun. Wilayah selatan Hum kuno kemudian dinamai Herzegovina setelah penaklukkan Utsmaniyah.
Dengan keragaman bangsa menyusul pula pusaran agama. Saat ini, dari 4 juta penduduk, 40% adalah Muslim, 31% Kristen Ortodoks, 15% Katolik Roma, dan 14% lainnya, termasuk Yahudi yang tiba pada akhir abad ke-15 setelah diusir dari Spanyol.
Kemakmuran di Bawah Pemerintahan Utsmaniyah
Kata “invasi” biasanya disandingkan dengan dampak negatif; namun, dalam situasi Bosnia, penaklukkan Utsmaniyah membuktikan sebaliknya.
Dari 1463 hingga 1878, Bosnia dan Herzegovina mengalami kesejahteraan dan kemakmuran. Utsmaniyah mengizinkan pelestarian identitas Bosnia, selain itu, Bosnia merupakan provinsi integral kesultanan dengan integritas teritorialnya.
Dalam kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah, Kota Vrhbosna (kini Sarajevo) menjadi pusat kegiatan politik, pendidikan, dan budaya masyarakat.
Puluhan masjid dan ratusan sekolah untuk umum dibangun. Menjelang pertengahan 1500-an, Vrhbosna telah memiliki tata kota yang cukup modern, lengkap dengan sistem irigasi, fasilitas kesehatan publik, dan destinasi wisata.
Pada masa inilah kota tersebut berubah namanya menjadi Sarajevo, yang diambil dari bahasa Turki saraj (‘istana’) dan ovas (‘tanah terbuka’).
Selama abad ke-16, kehidupan ekonomi dan budaya berkembang pesat sedemikian rupa sehingga ibu kota Sarajevo saat ini menjadi salah satu dari sedikit kota di Eropa yang memiliki sistem pasokan air selama lebih dari 400 tahun.
Bertentangan dengan apa yang mungkin kita pelajari di sekolah-sekolah, Kesultanan Utsmaniyah tidak memaksa orang untuk masuk Islam, toleransi terhadap keyakinan agama lain sebenarnya adalah salah satu ciri khas pemerintahan Utsmaniyah.
Akhirnya, komunitas Muslim berbahasa Slavia lokal tumbuh menjadi kelompok etno-agama terbesar di negara itu, terhitung 67% dari populasi pada awal 1600-an.
Memasuki era 1700-an, kendali Istanbul atas Bosnia-Herzegovina mulai menyusut. Hal ini seiring dengan menurunnya simpati warga, termasuk kaum Muslim Bosnia, yang memandang rezim Utsmaniyah mengabaikan kepentingan setempat.
Kesultanan Utsmaniyah kemudian diikuti oleh Kekaisaran Austro-Hongaria pada akhir abad ke-17, yang menyapu gagasan tentang bangsa Bosnia multi-agama dengan menyemai gelombang nasionalisme, yang mengarah ke peristiwa tak menyenangkan di Sarajevo, yang akhirnya menyebabkan Perang Dunia 1.
Bosnia dan Albania adalah satu-satunya bagian dari Kesultanan Utsmaniyah di Balkan di mana banyak orang telah masuk Islam dan tetap di sana setelah kemerdekaan pada 1992.
Tapi kemerdekaan itu dibayar mahal. Dalam perang saudara Yugoslavia (1991-1999), perang Bosnia selama tiga tahun adalah salah satu bagian sejarah paling berdarah, di mana 97.000 orang kehilangan nyawa, terutama oleh tentara Serbia. 83% dari korban adalah Muslim.
Kenangan Muslim Bosnia
Kurangnya persediaan makanan pada saat itu, hanya dapat disediakan oleh pesawat terbang yang mengantarkan makanan kepada orang-orang atau dengan bantuan gereja Kroasia.
Neila Muratovic dan ibunya tinggal di kota kecil mayoritas Muslim di Bosnia selama perang. Dia mengatakan di dalam terasa aman, tidak seperti kota Srebrenica, misalnya, di mana tentara Serbia membantai 8.000 pria Muslim pada 1995.
Orang Serbia mengepung daerah Neila, yang membuat mereka tidak bisa pergi atau mendekati kota.
“Tidak ada yang mengira ini bisa terjadi,” kata Neila. “Kami, orang biasa, hidup damai dengan orang Serbia dan Kroasia sebelumnya.”
Muslimah lainnya, Maida Halilovic, menambahkan bahwa orang Serbia tidak dapat memasuki desa tempat mereka tinggal, jadi mereka mengirim helikopter khusus untuk membombardir rumah penduduk. Selama penyerangan, sang ayah menggendong Maida dan pergi ke gunung untuk bersembunyi.
Hampir 15 tahun setelah perang, segalanya menjadi lebih baik, generasi yang lebih muda memang kurang familiar dengan apa yang terjadi di masa lalu, namun kebencian terhadap umat Islam belum hilang sama sekali di banyak daerah di negara itu.
Meski demikian, Neila dengan bangga mengenakan hijabnya, tidak seperti kebanyakan gadis Muslim lainnya, khususnya di Sarajevo. Neila yang kini tinggal di Jerman merefleksikan dirinya sebagai seorang Muslim Bosnia:
“Ideologi komunis mencuci otak rakyat, termasuk umat Islam. Oleh karena itu, komunitas Bosnia saat ini cukup beragam, ada Muslim yang religius dan taat, ada pula Muslim yang sangat dipengaruhi oleh gaya hidup Eropa Barat.”
“Namun, kami memiliki mata pelajaran agama Islam di semua sekolah, dengan kesempatan untuk belajar bahasa Arab atau Turki. Kami juga memiliki sekolah menengah Islam, dan anak-anak secara teratur dibawa ke masjid. ”
“Menyedihkan, tapi saya merasa di sini di Jerman, tempat tinggal saya saat ini, saya melihat lebih banyak wanita berhijab daripada di negara asal saya, apalagi niqab, yang akan jarang Anda lihat di sana.”
Pembersihan etnis Muslim Bosnia selama perang Bosnia menyebabkan pengungsian internal yang mendalam dari populasi mereka mengakibatkan populasi Muslim di Bosnia menurun drastis. Namun, pada awal abad ke-21 banyak sekali masyarakat Muslim Bosnia yang mengungsi ke negara lain kembali lagi ke negeri asal mereka dan mengakibatkan peningkatan populasi Muslim di Bosnia.
Selain masyarakat Muslim yang terkena dampak perang, Masjid pun menjadi sasaran angkatan bersenjata Serbia dan Kroasia mereka menghancurkan Masjid dan masjid-masjid bersejarah di Bosnia dan Herzegovina. (zarahamala/arrahmah.id)