BANGUI (Arrahmah.com) – Milisi Kristen anti-Balaka di Republik Afrika Tengah yang dilanda konflik untuk pertama kalinya berjanji untuk tidak menyerang umat Islam di kota Boda, yang terletak sekitar 200 km sebelah selatan ibukota Bangui.
Dalam sebuah dokumen tertulis yang ditandatangani pada Selasa (18/3/2014), milisi anti-Balaka berkomitmen untuk tidak menggunakan senjata di kota tersebut, bekerja sama dengan pasukan Perancis yang ditempatkan di sana, dan menahan diri dari menyerang komunitas Muslim kota Boda, seorang koresponden Anadolu Agency melaporkan dari tempat kejadian.
Dokumen ini disponsori oleh Joachim Kokaté, penasihat keamanan untuk perdana menteri negara itu, yang dikenal dekat dengan milisi Kristen. Perjanjian ini dibuat akibat kekerasan yang terjadi baru-baru ini terhadap umat Islam di kota itu, yang telah memaksa banyak Muslim meninggalkan kota itu untuk menyelamatkan diri.
Dokumen tersebut merupakan “komitmen anti-Balaka kepada negara dan rakyat Afrika Tengah dengan harapan mencapai rekonsiliasi nasional,” kata Kokaté kepada Anadolu Agency.
Kesepakatan tersebut disambut baik oleh masyarakat di Bangui, di mana Abdelaziz Meriga, wakil presiden Asosiasi Kader Muslim, sebuah LSM lokal, menyambutnya sebagai “langkah menuju rekonsiliasi.”
Tapi dia melanjutkan dengan mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa komunitas Muslim berupaya melakukan konsultasi langsung secara lebih mendalam dengan milisi anti-Balaka, bersama dengan lembaga pemerintah dan lembaga lokal Boda.
“Kami menginginkan perdamaian,” tegasnya.
Namun di Boda sendiri, Muslim lokal menyuarakan skeptisisme. “Apa yang akan dibawa oleh kesepakatan perubahan ini? Kami terjebak di sini,” seorang warga Muslim setempat, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan, mengatakan kepada Anadolu Agency.
“Ada pedagang yang telah kehilangan semua harta benda mereka, anak-anak meninggal karena kurangnya perawatan medis, perempuan melahirkan dalam kondisi tidak manusiawi, Anda tidak bisa bergerak satu meter pun untuk menyelamatkan diri,” katanya.
“Kami bahkan belum bertemu dengan milisi anti-Balaka. Kami belum membahas kesepakatan ini. Kami tidak tahu apakah mereka ingin kami pergi atau tetap tinggal di sini,” tambahnya.
Kekerasan anti-Muslim telah meningkat sejak Catherine Samba-Panza, seorang Kristen, terpilih sebagai presiden sementara pada bulan Januari.
Kota Boda
Berjarak 140 kilometer dari ibukota Bangui, Boda telah menjadi pusat bentrokan antara Muslim dan Kristen di Republik Afrika Tengah.
Di bawah pengawasan 120 tentara Perancis, kota ini telah berubah menjadi sebuah penjara terbuka bagi 11.000 warga Muslim, yang ketakutan terhadap serangan yang dilakukan oleh milisi anti-Balaka.
Kota ini juga menghadapi krisis pangan, karena PBB memperingatkan bahwa program pangan PBB untuk kota tersebut tidak lagi mampu memberikan bantuan.
Sembako tidak bisa lagi ditemukan di pasar, dan satu-satunya akses untuk bisa mendapatkan makanan hanyalah melalui orang-orang yang mampu membayar biaya untuk pergi keluar ke ke Bangui, serta pengusaha kaya yang membawa biji-bijian dengan jet pribadi mereka.
Minimnya obat-obatan dan dokter merupakan bentuk keprihatinan yang lain di kota itu, dengan seorang perawat yang bernama Maria yang tersisa, yang menangani berbagai penyakit serius. Penderita HIV dan tuberculoses telah terputus dari obat-obatan mereka dan anak-anak menderita malnutrisi.
Imam setempat, Ali Babu, menanyakan, ” di mana Arab Saudi, Qatar dan Turki? Apa yang mereka tunggu?”
” Haruskah kami tinggal di sini untuk mencegah orang-orang yang ingin membunuh Muslim atau sebaiknya kami meninggalkan tempat ini dan menyelamatkan diri kami sendiri? Kebanyakan orang Kristen mendukung milisi anti-Balaka,” katanya.
“Saya memahami mereka yang melihat masjid yang dibakar,Al-Qur’an dirobek dan Muslim yang tewas dan mereka ingin negara-negara Muslim lainnya untuk campur tangan, tetapi jika para Jihadi datang ke sini, apa yang akan tersisa? Di negara kecil seperti ini, satu-satunya solusi adalah perdamaian,” tambahnya. (ameera/arrahmah.com)