LUANDA (Arrahmah.com) – Setelah muncul laporan pelarangan Islam dan penghancuran masjid yang memicu kemarahan dunia Islam di Republik Angola, seorang Muslim Angola mengatakan bahwa keadaan masih damai, komentarnya itu menyusul bantahan Lembaga Nasional Urusan Agama Angola bahwa tidak ada “perang melawan Islam” di negara tersebut.
“Saya melaksanakan shalat lima waktu saya di masjid pusat di Luanda. Masjid itu masih terbuka dan tidak ada petugas keamanan memblokir para jamaah untuk mengakses masjid,” kata Muhammad Hajji, seorang warga berkebangsaan Somalia yang tinggal di Luanda, kepada OnIslam.net.
Dia mengatakan bahwa masyarakat imigran Muslim minoritas di Angola telah hidup damai selama bertahun-tahun.
“Saya datang ke sini sekitar lima tahun lalu dan Saya tidak pernah menghadapi masalah apapun disebabkan agama atau kewarganegaraan saya,” katanya dalam wawancara melalui telepon.
“Sebagian besar Muslim di Angola terlibat dalam perdagangan dan Alhamdulillah kami dalam keadaan sangat baik,” tambahnya.
Tetapi nampaknya komentar Hajji tersebut tidak begitu mewakili Muslim lainnya. Banyak Muslim yang merasa terisolasi di tengah masyarakat karena agama Islam tidak dianggap legal di negara itu.
“Sangat menyakitkan bahwa Islam belum diakui secara resmi di Angola, padahal kami telah memiliki banyak masjid di seluru negara ini,” kata seorang pebisnis Muslim yang hidup di Luanda kepada OnIslam.net.
“Saya pikir, pemerintah Angola harus melakukan sensus terhadap kaum Muslimin di negara ini, karena Saya memiliki perasaan bahwa kami bisa berjumlah lebih dari 90.000, karena banyak Muslim yang bermigrasi ke negara ini akhir-akhir ini,” tambahnya, menyoroti laporan yang mengatakan bahwa pemerintah Angola hanya mengakui agama yang memiliki pengikut mencapai 100.000 orang.
Saat mencuatnya isu pelarangan Islam dan penutupan masjid-masjid yang dilontarkan Menteri Kebudayaan Angola Rosa Cruz, Muslim asal Gambia tersebut mengkhawatirkan tentang masa depan umat Islam Angola.
“Ya, ketika Saya membaca laporan itu, Saya bertanya terhadap diri saya sendiri, apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah mereka akan datang dan menangkapi kami. Apa yang akan terjadi pada keluarga dan bisnis saya?” katanya.
Keputusan pemerintah Angola melarang Islam dan menutup masjid-masjid memicu kemarahan dari organisasi Muslim dunia, termasuk Al-Azhar yang meminta penelusuran fakta terkait kondisi minoritas Muslim di Angola.
Demikian juga dengan Persatuan Internasional Ulama Muslim (IUMS) yang menyeru pemerintah Angola untuk membatalkan keputusannya dan meminta PBB untuk mengecam keputusan itu.
Seakan hendak memadamkan amarah dunia Islam, pemerintah Angola buru-buru membantah laporan tersebut.
“Tidak ada perang di Angola terhadap Islam atau agama lainnya,” ujar Manuel Fernando, direktur Lembaga Nasional Urusan Agama Angola, yang merupakan bagian dari kementerian kebudayaan, kepada AFP.
“Tidak ada sikap resmi yang menargetkan penghancuran atau penutupan tempat-tempat ibadah, di manapun mereka berada,” tambahnya.
Oktober lalu, dilaporkan bahwa masyarakat Muslim di kota Viana, Lunda, harus menyaksikan menara di salah satu masjid mereka dihancurkan.
Adapun pekan lalu, sebuah masjid di Huambo, kota terbesar kedua di Angola, telah ditutup. Tetapi kementerian budaya mengklaim bahwa penutupan tersebut dikarenakan kurangnya syarat sertifikat tanah, izin resmi pembangunan atau dokumen resmi lainnya. (siraaj/arrahmah.com)