Ketika penulis membaca buku Muhammad Hasan Hitu penulis “Khulashoh Ushul Fiqh” kelahiran Suria dan berdakwah di Jerman, penulis tertarik dengan sub bab “Khotho’ul Mujtahid Wa Ishoobatuhu”, dalam buku tersebut Muhammad Hasan Hitu memaparkan ada dua aliran pendapat dari kalangan ulama’ ushul fiqh melihat perbedaan pedapat dikalangan para ulama’, ada aliran mushawwiba yang memandang setiap dua pendapat bertentangan keluar dari ulama yang berijtihad maka kedua-keduanya benar, hanya beda kacamata “epistemologi” saja.
Disisi yang lain, berseberangan dengan aliran ini aliran mukhottiah yang berpendapat bahwa kebenaran hanya satu tidak berbilang, pendapat yang benar hanya satu yang lain salah. Hal.129, umstadt-gross, germany.
Penentuan Hari Raya
Hampir sama dengan teori aliran mushawwiba diatas, beberapa waktu yang lalu sidang itsbat penetapan hari raya iedul fitri diwarnai diskusi ilmiah dua kubu yang sangat dominan di Indonesia yakni NU (Nahdatul Ulama’) dan Muhammadiyah. Dan untuk kesekian kalinya muslim Indonesia dibuat pusing oleh pemerintah, pusing tujuh keliling, kepala mumet muter-muter, bagaimana tidak?.
Sesuatu yang sakral bagi muslim yakni iedul fiti atau lebaran dibuat mengambanng sampai jam 10-malam, jama’ah tarawih bingung mau takbiran atau shalat tarawih berjamaah?, dijalan-jalan orang-orang berdiskusi “besok masih puasa atau dah lebaran ya?”. Umat sekali lagi berpecah dalam dua poros yang besar, poros NU yang diaminkan oleh pemerintah dengan menguatkan lebaran hari rabu dan porors muhammadiyah yang minta izin lebaran hari selasa karena tetap ngotot dengan hisabnya.
Ada yang perlu diapresiasi juga dari sidang itsbat kemaren, karena bukan hanya menampilkan wajah tegang para peserta sidang itsbat, tapi juga ada iklim sehat yakni ketika delegasi dari muhammadiyah, Fatah Wibisono yang sangat santun bertutur meminta izin kepada menteri agama Indonesia agar direstui lebaran hari selasa.
Kalau pun ini diaminin menjadi sudut pandang mushawwiba, maka sangat arifnya hal tersebut. Ijtihad harusnya tidak boleh menjadi alasan umat, ini harus dibagi menjadi beberapa poros yang saling berbenturan. Allah dalam firman-Nya pada surat Ali Imran ayat 103, mewajibkan agar berpegang teguh kepada tali Allah dan jangan berpecah belah, bagaimana mungkin ijtihad lebih didahulukan daripada Al-Qur’an, padahal ijtihad adalah sesuatu yang dzonniy (tidak pasti), sedangkan ayat Allah pada ayat tersebut ilmu, sesuatu yang pasti yang tidak mengandung makna ganda yang memerintahkan kaum muslimin bersatu jangan berpecah belah.
Kenapa Diperpanjang
Beberapa hari yang lalu penulis dapat undangan dari kelompok studi mahasiswa yang ingin mengurai polemik perbedaan penentuan hari raya didaerah Cipinang Jakarta Timur.
Yang tergambar dikepala saya ada dua hal, yang pertama adanya keingnan dari para mahasiswa islam ingin meretas polemik perbedaan penentuan hari raya dan solusi benar dalam menyikapinnya insyaAllah ini berdampak positif, atau yang kedua, kelompok mahasiswa itu ingin membenarkan salah satu dua pendapat yang berpolemik dalam penentuan hari raya kemaren, yang ini berdampak negatif.
Metode imkaniyatur rukyah dan wujudul hilal adalah persoalan yang tidak ada habisnya dibahas dan termasuk perselisihan yang diwariskan para ulama’ semenjak ratusan tahun yang lalu, jadi menurut penulis sikap Rasulullah dalam hadist yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunannya tatkala Ibnu Umar memberitahukan kepada Rasulullah Saw. kalau dia sudah melihat hilal lalu Rasulullah puasa dan memerintahkan orang-orang untuk puasa. Sederhana tapi solutif dan tidak berbelit-belit dan dipersulit.
SMS Pemberitahuan
Malam hari, Senin malam (29/8) penulis tidak henti-hentinya SMS dan telpon ke teman-teman mulai dari teman-teman di Sumatra, Jakarta dan Jawa sampai jauh malam hanya untuk memastikan hari selasa-kah lebaran atau hari rabu?.
Dan menurut informasi yang dididapatkan, banyak orang yang bimbang dalam memilih hari selasa-kah atau hari rabu?, bagi yang memilih hari rabu mengatakan lebaran hari selasa tidak valid karena berdasarkan investivigasi dilapangan hilal tidak kelihatan adapun klaim dari Cakung dan Jepara maka klaim tersebut tidak valid karena setelah didatangi kelapangan tidak ada saksi yang mengakui.
Tetapi ketika ditanyakan kepada mereka bahwa Malaysia, Singapura, Brunai dan negara-negara sebujur dengan Indonesia telah melihat hilal bahkan Malaysia melihat hilal di 30 titik, mereka menjawab bimbang?.
Yang hari selasa juga bimbang karena merasa datanya tidak dianggap, tidak divalidkan.
Malam itu ada sms yang masuk ke inbox yang bunyinya, info hisab dan rukyah FPI :
“Hisab FPI dengan sistem salaf metode assulam menunjukkan Ramadhan/awal syawal terjadi senin 29/8 2011 cammuth 5cah 51qoh 40ni keduanya terletak disebelah utara dari titik barat dengan posisi hilal diselatan matahari = bentuk hilal miring kekiri. Rukyah FPI dan PP Al-Husiniyyah Cakung Jakarta. Menunjukkan bahwa hilal sesuai hisab tersebut, terlihat oleh saksi-saksi jam 17.56 WIB, lama 3 menit yang kemudian telah diambil sumpah oleh ketua PW NU DKI Jakarta, KH. Maulana Kamal Yusuf dengan disaksikan oleh ketua umum FPI Habib Rizieq, Pimpinan PP. Al-Husiniyyah KH. Muahammad Syafi’I, Pimpinan PP. Al-Itqon KH. Ashirul dan hakim pengadilan Jakarta Timur.”
SMS inilah yang membuat saya merasa lega dan menjatuhkan pilihan lebara hari selasa, sekalipun saya sangat menghargai teman-teman yang lebaran hari rabu, karena ini masalah ijtihadi saja bukan sesuatu yang pokok harus dipertentangkan, apalagi metodenya satu yakni rukyatul hilal hanya beda hasil saja.
Penutup
Ada satu yang menarik bagi yang mengkaji sejarah para sarana muslim sepanjang sejarah, biasanya dibahas dikajian tarikh tasyri’ bagi yang pernah duduk dibangku akademis difakultas studi agama islam.
Para ulama’ atau sarjana muslim dahulu kala sangat lapang dada dalam menyikapi perbedaan diantara mereka, sebut saja imam Ahmad bin Hambal yang menganggap bid’ah qunut shalat shubuh beliau bersebrangan dengan pendapat gurunya imam Syafi’i tetapi tidak menyebabkan hubungan mereka beku, justru imam Ahmad meretas kebuntuan pendapat tersebut dengan sangat toleran karena ini masalah ijthadi dzonni bukan hal yang pokok yang tidak boleh berbeda dalamnya.
Makanya diriwayatkan imam Ahmad ketika mengimami murid-murid imam Syafi’I beliau qunut padahal beliau menganggapnya bid’ah, tapi itu hanya ijtihad beliau yang berbeda dengan ijtihad lainnya, dalam riwayat yang lain beliau qunut dibelakang murid syafi’I yang mengimamin beliau. Qunut adalah ijtihad beliau yang bersifat dzonniy didalam hadits Rasulullah memerintahkan “innama ju’ilal imam liyu’tamma bih” imam dijadikan untuk diikutin, mengikuti imam yang qunut wajib dan itu ilmu.
Oleh karena itu ikhwan, jangan sampai permasalahan furu’ ijtihadiy menyibukkan kita dan memecahbelah kita sedangkan tugas pokok kita, kita lalaikan. Semoga ukhuwah kita tetap kekal.
Husna al-Adillah, (alumni salah satu pesantren di sumut dan sekarang menjadi santri dipondok suami.)