ISLAMABAD (Arrahmah.com) – Yang tak terelakkan akhirnya terjadi pada Senin (31/3/2014), sebuah pengadilan khusus resmi mendakwa mantan orang kuat Pakistan Jenderal Pervez Musharraf. Ia dijatuhi lima dakwaan, termasuk pengkhianatan karena menangguhkan konstitusi pada tanggal 3 November 2007.
Alih-alih sesuai prediksi banyak orang bahwa ia akan mengaku “tidak bersalah” sambil memperlihatkan wajah haru, seolah sedang mengarang, Musharraf mengatakan dia bahkan tidak pernah bisa membayangkan melakukan pengkhianatan kepada Pakistan.
Mantan presiden didakwa dengan pengkhianatan berdasarkan Pasal 6 untuk menangguhkan, menumbangkan dan membatalkan konstitusi, memberlakukan keadaan darurat di negara itu pada November 2007, membuat perubahan agar nampak tidak melanggar hukum, dan menahan hakim di mahkamah agung.
Yang mengejutkan bagi dia, pengadilan kemudian juga menolak permintaan Musharraf izin untuk berangkat ke Dubai guna merawat ibunya (94) yang sakit.
Gambaran di pengadilan
Setelah berbulan-bulan taktik menunda dilancarkan oleh pengacaranya, pengadilan khusus, pada tanggal 14 Maret telah mengeluarkan surat perintah penangkapan non-bailable untuk mantan presiden, memerintahkan pihak berwenang untuk menangkapnya jika ia gagal menghadirkan diri di hadapan pengadilan pada 31 Maret.
” Apa pun yang saya lakukan, saya lakukan untuk negara dan rakyat. Aku sedih bahwa saya dipanggil pengkhianat,” ujar seorang Musharraf mengarang.
“Ia mengklaim bahwa ia membuat Pakistan sebagai negara terhormat selama masa jabatannya dan mengingat bahwa ia juga membela negara dalam dua perang besar dengan India”, lapor Imtiaz Gul pada Al Jazeera.
Musharraf bersikeras bahwa dia tidak membuat keputusan sendiri. Para penasihatnya melaporkan telah mengajukan daftar beberapa orang dari sekitar 269 “pembantu Musharraf” antara tahun 1999 dan 2007. Saat itu ia memberlakukan keadaan darurat dan menangguhkan puluhan hakim senior, termasuk mantan Ketua Mahkamah Iftikhar Chaudhry. Daftar ini juga termasuk Jenderal Ashfaq Kayani, mantan panglima militer dan spernah menjadi salah satu rekan jejaring Musharraf sejak kudeta tahun 1999.
“Setelah seseorang mengaku tidak bersalah, jaksa penuntut harus membuktikan sebaliknya, tanggung jawab berada pada pihak penuntut sekarang,” kata mantan Ketua Mahkamah Agung Saeeduzama Siddiqi kepada televisi swasta Samaa.
Barrister Salman Akram Raja, mengisyaratkan proses pengadilan ini terlalu berlarut-larut. Namun, hilangnya Musharraf dari drama politik nasional, tidak hanya meringankan sakit kepala pemerintah, tetapi juga sebuah pencabutan sumber besar gangguan dari masalah-masalah mendesak lainnya seperti pemberontakan dan tantangan kebangkitan ekonomi. (adibahasan/arrahmah.com)