CAPE TOWN (Arrahmah.id) – Sebuah mushaf Al-Quran yang ditulis tangan dengan rapi, lebih dari 200 tahun yang lalu oleh seorang imam asal Indonesia yang dibuang ke ujung selatan Afrika oleh penjajah Belanda, menjadi kebanggaan umat Islam Cape Town yang sangat menjaganya dengan baik di sebuah masjid di distrik Bo Kaap yang bersejarah di kota itu.
Para pekerja bangunan menemukannya di dalam kantong kertas di loteng Masjid Auwal, ketika mereka membongkarnya sebagai bagian dari renovasi pada pertengahan tahun 1980-an.
Para peneliti meyakini bahwa Imam Abdullah bin Qadi Abdus Salaam, yang dikenal sebagai Tuan Guru, menulis Al-Quran dari hafalannya pada suatu saat setelah ia dikirim ke Cape Town sebagai tahanan politik, dari pulau Tidore di Indonesia pada 1780, sebagai hukuman karena bergabung dengan gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda, lansir BBC (23/8/2023).
“Sangat berdebu, sepertinya tidak ada orang yang berada di loteng itu selama lebih dari 100 tahun,” kata Cassiem Abdullah, anggota komite masjid, kepada BBC.
“Para tukang juga menemukan sekotak teks keagamaan yang ditulis oleh Tuan Guru.”
Al-Quran yang tidak dijilid, yang terdiri dari halaman-halaman lepas tanpa nomor, berada dalam kondisi yang sangat baik, kecuali beberapa halaman pertama yang sudah robek di bagian tepinya.
Tinta hitam dan merah yang digunakan untuk tulisan kaligrafi yang jelas terbaca dalam aksara Arab, dan masih dalam kondisi yang sangat baik.
Tantangan besar bagi komunitas Muslim setempat dalam upaya mereka untuk melestarikan salah satu artefak paling berharga dalam warisan mereka yang kaya, yang berasal dari tahun 1694, adalah memastikan bahwa semua halaman yang berisi lebih dari 6.000 ayat Al-Quran ditempatkan dalam urutan yang benar.
Tugas ini dilakukan oleh almarhum Maulana Taha Karaan, yang merupakan kepala ahli hukum dari Dewan Peradilan Muslim yang berbasis di Cape Town, bersama dengan beberapa ahli Quran setempat. Keseluruhan proses, yang diakhiri dengan penjilidan halaman-halamannya, membutuhkan waktu tiga tahun untuk menyelesaikannya.
Sejak saat itu, Al-Quran tersebut dipajang di Masjid Auwal, yang didirikan oleh Tuan Guru pada 1794 sebagai masjid pertama di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Afrika Selatan.
Tiga kali percobaan pencurian yang gagal terhadap kitab suci yang tak ternilai ini mendorong panitia untuk mengamankannya di dalam selubung anti api dan peluru di bagian depan masjid sejak 10 tahun yang lalu.
Penulis biografi Tuan Guru, Shafiq Morton, meyakini bahwa sang cendekiawan kemungkinan besar mulai menulis naskah pertama dari lima naskah yang ada ketika ditahan di Pulau Robben -tempat ikon anti-apartheid Nelson Mandela juga dipenjara pada tahun 1960-an hingga 1980-an- dan terus menulis naskah-naskah tersebut setelah ia dibebaskan.
Sebagian besar dari salinan ini diyakini ditulis ketika ia berusia antara 80 dan 90 tahun, dan pencapaiannya dianggap lebih luar biasa karena bahasa Arab bukanlah bahasa pertamanya.
Menurut Mr Morton, Tuan Guru dipenjara di Pulau Robben dua kali -pertama pada 1780 hingga 1781 ketika ia berusia 69 tahun, dan sekali lagi pada 1786 hingga 1791.
“Saya yakin salah satu alasan beliau menulis Al-Quran adalah untuk mengangkat semangat para budak di sekelilingnya. Dia menyadari bahwa jika dia menulis salinan Al-Quran, dia dapat mendidik rakyatnya dari Al-Quran dan mengajarkan mereka martabat pada saat yang sama,” kata Mr Morton.
“Jika Anda pergi ke arsip dan melihat kertas yang digunakan Belanda, kertas itu sangat mirip dengan yang digunakan Tuan Guru. Ini mungkin kertas yang sama,” lanjutnya.
“Pena beliau dibuat sendiri dari bambu dan tinta hitam dan merahnya mudah didapat dari pemerintah kolonial.”
Syaikh Owaisi, seorang dosen sejarah Islam Afrika Selatan yang telah melakukan penelitian ekstensif tentang Alquran tulisan tangan di Cape Town, percaya bahwa Tuan Guru termotivasi oleh kebutuhan untuk melestarikan Islam di antara para tahanan dan budak Muslim di wilayah yang saat itu merupakan jajahan Belanda.
“Ketika mereka mengkhotbahkan Alkitab dan mencoba memualafkan para budak Muslim, Tuan Guru menulis salinan Al-Quran, mengajarkannya kepada anak-anak dan membuat mereka menghafalnya.”
“Ini menceritakan sebuah kisah tentang ketahanan dan ketekunan. Ini menunjukkan tingkat pendidikan orang-orang yang dibawa ke Cape Town sebagai budak dan tahanan.”
Tuan Guru juga menulis sebuah buku pelajaran bahasa Arab setebal 613 halaman yang berjudul Ma’rifat wal Iman wal Islam (Pengetahuan tentang Iman dan Islam) dari ingatannya.
Buku ini, sebuah panduan dasar tentang keyakinan Islam, digunakan selama lebih dari 100 tahun untuk mengajarkan umat Islam di Cape Town tentang iman mereka.
Kitab ini masih dalam kondisi baik dan dimiliki oleh keluarga Rakiep, keturunan Tuan Guru. Sebuah replikanya disimpan di perpustakaan nasional di Cape Town.
“Beliau duduk dan menuliskan apa saja yang dapat diingatnya tentang keimanannya dan ia menggunakannya sebagai teks untuk mengajar orang lain,” kata Syekh Owaisi.
Dari lima salinan Al-Quran yang ditulis tangan oleh Tuan Guru, tiga di antaranya masih bisa dipertanggungjawabkan. Selain yang ada di masjid Auwal, dua lainnya dimiliki oleh keluarganya, termasuk cicit perempuannya.
Sekitar 100 replika telah diproduksi. Pada April, salah satu dari mereka diserahkan ke perpustakaan masjid al-Aqsa di Yerusalem, sementara beberapa telah diserahkan kepada para pejabat yang berkunjung.
Pada Mei 2019, Ganief Hendricks, pemimpin partai politik Muslim di Afrika Selatan, Al Jama’ah, menggunakan salah satu replika untuk dilantik sebagai anggota parlemen.
Belanda tidak menyadari bahwa dengan mengusir Tuan Guru ke Afrika Selatan, mereka secara tidak sengaja menjadi katalisator untuk menyebarkan Islam ke wilayah tersebut, di mana umat Islam sekarang mencapai sekitar 5% dari perkiraan populasi Cape Town yang berjumlah 4,6 juta jiwa.
“Ketika dia datang ke Cape Town, Tuan Guru mengamati bahwa Islam berada dalam kondisi yang sangat buruk sehingga dia memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” kata Morton.
“Masyarakat tidak benar-benar memiliki teks apa pun -mereka menjadi Muslim lebih karena ingatan budaya daripada yang lainnya,” ujarnya.
“Menurut saya, Alquran pertama yang ia tulis adalah alasan mengapa komunitas Muslim bertahan dan berkembang menjadi komunitas yang dihormati seperti sekarang ini.” (haninmazaya/arrahmah.id)