JAKARTA (Arrahmah.com) – Jurnalis Islam Bersatu (JITU) bekerjasama dengan Pusat Edukasi, Rehabilitasi, dan Advokasi Yayasan Perisai Nusantara Esa menggelar diskusi publik bertema “Ranu dan Ancaman Kriminalisasi Jurnalis” bertempat di Hotel Sofyan Inn, Tebet, Jakarta, pada Ahad (21/5/2017).
Hadir pada kesempatan itu sebagai pembicara Dewan Syuro JITU Mahladi Murni, Pengacara Publik LBH Pers Gading Yonggar, Anggota Komisi I DPR Arwani Thomafi, Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah Pedri Kasman, Advokat Senior Munarman, dan Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya.
Pengacara Senior, Munarman mengatakan, masyarakat Indonesia pada rezim saat ini umumnya sangat mungkin dikriminalisasi sepanjang sifatnya oposisi terhadap penguasa.
Hal itu, terangnya, dikarenakan watak kekuasaan yang memang seperti itu dan sangat tidak suka dengan pihak-pihak yang mengkritik atau berseberangan.
“Tinggal tunggu waktunya aja dikerjain,” ujarnya seperti dilansir Islamic News Agency (INA).
Ia menjelaskan, menurut teori Gramsci, dalam upaya menaklukkan orang lain kekuasaan menggunakan dua cara, yaitu dominasi dan hegemoni.
Dominasi, terang Munarman, adalah menggunakan alat-alat yang dikuasai kekuasaan. Yakni dengan kekuasaan formil (hukum) atau juga menggunakan otoriter.
“Hukum sendiri sebetulnya adalah alat represi yang disediakan dengan sengaja untuk penguasa mengontrol publik,” ungkapnya.
Sedangkan hukum sebagai alat kontrol sosial, kata dia, maka digunakan cara hegemoni. Yaitu penaklukkan secara lunak, misalnya alam pikiran. Sehingga, ia mencontohkan, banyak yang tidak sadar seseorang bekerja untuk penguasa karena menganggap penguasa tersebut benar.
Adapun, sambung Munarman, ummat Islam saat ini dalam kondisi yang dihegemoni, bukan menghegemoni. Dikarenakan yang sedang berkuasa adalah ideologi politik sekuler.
Karenanya, akan dianggap aneh ketika seorang jurnalis muslim membongkar yang dalam bahasa agama disebut kemaksiatan.
“Jadi sepanjang nilai-nilai yang dianut penguasa atau suatu peradaban adalah nilai yang rusak atau mengandung kerusakan, maka sepanjang itu juga terjadi penghambatan kepada wartawan yang menolak kemaksiatan tersebut,” paparnya.
Oleh karena itu, Munarman menilai, kriminalisasi seperti yang dihadapi jurnalis muslim Ranu Muda saat meliput kemaksiatan adalah akibat hilir dari pertarungan suatu peradaban.
Ia menghimbau, penting bagi media Islam untuk mengedukasi masyarakat terlebih dahulu mengenai aspek dominasi dalam teori Gramsci sebelum regulasi itu nantinya bisa dijadikan alat represi untuk menghalangi tindak kemaksiatan.
“Menurut saya fungsi media Islam untuk mendorong itu, bermain dalam kerangka besarnya. Media Islam harus masuk pada pertempuran peradaban,” imbuhnya.
“Karena selama peradabannya bertentangan, pasti yang berlawanan akan dihantam terus-menerus,” pungkas Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) ini. (haninmazaya/arrahmah.com)