JAKARTA (Arrahmah.com) – Kritik karas terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disampaikan oleh advokat senior Munarman,SH. Dirinya menyebut sikap KPK terkesan “mandul” terhadap sejumlah kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ahok.
“Kita menyayangkan KPK, dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras lewat audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sudah mencapai audit investigatif justru malah mandul terhadap dugaan kasus korupsi yang dilakukan Plt Gubernur saat itu yaitu Basuki Tjahja Purnama,” kata Munarman usai menyertai pertemuan Ulama GMJ dengan Wakil Ketua DPR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Dia mengungkapkan, tidak hanya kasus Sumber Waras, tetapi ada kasus lainnya yang dilakukan Ahok dengan melakukan negosiasi langsung bukan melalui perangkat daerahnya dan tidak sesuai prosedur yang benar secara birokasi.
“Pertama, penetapan nilai penyertaan modal penyerahan aset Pemprov DKI kepada BUMD Trasnjakarta senilai Rp. 1,6 triliun. Kedua, penyerahan aset Pemprov DKI berupa tanah 234 meter dan tiga blok apartemen yang nilainya Rp. 8,5 miliar. Dan pengadaan tanah RS Sumber Waras, yang kerugiannya mencapai 191 miliar. Totalnya kurang lebih 1,8 triliun,” ungkap Munarman.
Bahkan, menurutnya, dalam kasus Sumber Waras, muncul pihak-pihak yang meragukan hasil audit BPK tersebut. “Ada LSM-LSM komparador, antek-antek asing, yang melakukan konferensi pers minta audit BPK itu ditinjau ulang, ini keanehan yang luar biasa. Kenapa, sepengalaman saya sebagai pengacara, dengan modal audit BPK itu sudah ratusan kepala daerah itu diproses hukum, padahal ada sebagian kerugian negaranya sudah dikembalikan tapi tetap saja diproses, tajam sekali hukum terhadap mereka,” jelasnya.
Karenanya, ia menyayangkan KPK yang belum memproses kasus Ahok tersebut padahal buktinya sudah cukup kuat. Ia pun meminta DPR agar turut andil dalam mengungkap kasus korupsi ini. “Jadi ini yang kita minta, ada perlakuan yang adil dalam penegakkan hukum,” tandasnya.
Grand Corruption
“Kenapa KPK mandul ketika berhadapan dengan kasus “Ibu Kota Jakarta”, padahal di daerah itu meski tidak ada hasil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pun yang secara undang-undang tidak memiliki kewenangan untuk menentukan ada indikasi pidana atau tidak itu biasanya aparat hukum di daerah langsung bekerja,” ujar Munarman.
Tetapi, lanjut Munarman, BPK ini ada mandat undang-undangnya, dia bisa menentukan adanya suatu indikasi pelanggaran hukum pidana, dan itu menjadi wajib ditindaklanjuti karena hasil audit BPK inilah yang menjadi dasar pertimbangan mengenai kerugian negara.
“Dan kerugian negara dalam hal ini tidak hanya kasus RS Sumber Waras yang 191 miliar, tetapi ada beberapa kasus lain yang total kerugiannya yang langsung dilakukan oleh Plt Gubernur pada waktu itu (Ahok) lebih kurang totalnya 1,8 triliun, jadi ini adalah grand corruption (korupsi tingkat tinggi) sebetulnya,” kata dia.
“Jadi aneh bagi kita, kalau nilainya sampai 1,8 triliun ini tidak dianggap oleh KPK sebagai temuan yang berharga untuk membersihkan negara ini dari korupsi,” tambahnya.
Menurut petinggi Front Pembela Islam (FPI) ini, pihaknya sudah tiga kali mendatangi KPK untuk menanyakan proses hukum kasus tersebut. “Dan para ulama dari Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) nanti akan mendatangi kembali KPK untuk menanyakan hal yang sama,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, kata Munarman, dalam pertemuan dengan Wakil Ketua DPR tersebut, para ulama ingin mengajak DPR agar ikut berperan dalam mendorong KPK supaya berani dalam menegakkan hukum.
“DPR sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan yang salah satunya terhadap KPK harus menggunakan kewenangannya secara maksimal, dan ini bukan intervensi karena ini memang sudah menjadi tugas DPR,” tandas Munarman.
(azmuttaqin/*/arrahmah.com)