MAGELANG (Arrahmah.com) – Semakin tak karuannya pemberantasan tindak pidana “terorisme” yang ada di Indonesia semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak bisa menangani suatu permasalahan dengan arif dan bijak. Apalagi melihat realita yang ada menunjukkan bahwa pemerintah sendiri bingung untuk mendefinisikan arti dan makna kata “terorisme” itu sendiri.
Kalau yang dimaksud terorisme dan pelaku teror yang biasa disebut sebagai “teroris” itu orang yang suka membuat teror dengan senjata api (senpi), lalu kenapa para pembuat teror di Papua (OPM) dan Maluku (RMS) tak disebut sebagai teroris?? Kalau yang disebut dan dimaksud teroris itu orang yang suka buat rusuh dan onar, lalu kenapa para preman yang suka buat rusuh dan onar tidak disebut pemerintah, dalam hal ini BNPT dan Densus 88 sebagai teroris?? Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya yang membuat arti terorisme itu menjadi “sumir”.
Akhirnya dengan data dan fakta yang ada tersebut bisa disimpulkan bahwa kata “Terorisme” merupakan kata yang disematkan oleh Pemerintah untuk kalangan Islam yang dengan teguh memegang keinginannya untuk menjadikan Indonesia dan menerapkan Syari’at Islam di Indonesia agar negara yang di cintai ini mempunyai harkat dan martabat di hadapan penduduk Dunia (Bumi), meskipun hal ini disangkal oleh Pemerintah. Tapi fakta menunjukkan demikian.
Lebih jauh lagi, Umat Islam yang berpenampilan Islami seperti berjenggot, memakai celana cingkrang, istrinya bercadar dan simbol-simbol islam lainnya menjadi korban atas perang terhadap Terorisme yang didengungkan oleh Pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah juga mengacu pada slogan George W. Bush mantan Presiden Amerika Serikat (AS) untuk memerangi seluruh Teroris (baca; Islam) yang ada di dunia.
Ahad, 6 Mei 2012 bertempat di Komplek Ruhul Islam Mertoyudan Magelang Jawa Tengah, Masyarakat Peduli Syariat Islam (MPSI) Grabag Magelang dan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Magelang mengadakan Tabligh Akbar dan Bedah Buku “Konspirasi Gerakan DERADIKALISASI” sebagai upaya untuk membuka mata rakyat Indonesia tentang hakikat Perang terhadap Terorisme adalah Perang terhadap Islam.
Tabligh Akbar dan Bedah Buku “Konspirasi Gerakan DERADIKALISASI” sendiri merupakan refleksi atas buku putih yang diterbitkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surakarta untuk meluruskan pemahaman masyarakat tentang arti Terorisme dan apa sebetulnya yang di Inginkan Pemerintah dari “Proyek” Terorisme itu sendiri.
Hadir sebagai pemateri yaitu Munarman,SH (TPM Jakarta) Ustadz Aris Munandar (MUI Surakarta) dan Ust Fuad Al-Hazimi (MPSI Magelang). Dalam pemaparannya, Bang Munarman -sapaan akrab beliau- menjelaskan bahwa Program Deradikalisasi yang dijalankan secara resmi oleh Pemerintah merupakan upaya sistematis untuk memberangus aktifis Islam yang berfaham keras, tentunya keras versi Pemerintah. Bukti lain dari hal itu adalah sampai sekarang ini sudah ada ± 40 Teroris yang ditembak mati ditempat dan semuanya beragama Islam.
“Resiko dari memperjuangkan syariat Islam adalah di penjara atau di lenyapkan, sampai sekarang ada + 40 orang aktifis yang telah di bunuh tanpa bukti, mereka hanya di tuduh terlibat jaringan teroris tetapi langsung ditembak. Hal ini bukan tanpa sebab, tetapi dilakukan dengan cara sistematis sebagai inplementasi dari deradikalisasi untuk meneror aktifis islam yang berfaham keras. Dan bahayanya, Deradikalisai dijalankan oleh badan resmi pemerintah,” ungkapnya.
Maka dengan realita seperti itu, dia berpesan kepada peserta dan jama’ah yang hadir untuk merapatkan barisan antar umat islam dan ormas islam guna menangkal program Deradikalisasi yang muali dilakukan oleh Pemerintah secara terbuka tanpa tedeng aling-aling kepada Umat Islam.
“Masalah umat Islam tidaklah berkurang tapi bertambah, satu masalah selesai, timbul masalah baru. Jadi, Perlu diadakan program bersama antar ormas Islam untuk menangkal gerakan deradikalisasi. Jangan malah semakin berpecah belah dalam menjunjung Syari’at Islam sebagai target perjuangan umat Islam,” pesannya.
Acara sendiri selesai pada waktu adzan dhuhur dan dihadiri ± 500 jama’ah putra putri dari Magelang dan berbagai kota disekitarnya yang meliputi Eks Karisidenan Kedu. Setelah selesai bedah buku, kemudian dilanjutkan dengan sarasehan dan silaturahim dengan beberapa ormas, tokoh masyarakat dan ulama sekitar Magelang, Temanggung, Muntilan untuk membahas langkah kedepan dari kegiatan aktifis yang ada di Eks Karisidenan Kedu. (bilal/FAI/arrahmah.com)