Oleh Kholda Najiyah
(Arrahmah.com) – Peradaban agung, dibangun oleh tokoh agung. Sosok paling revolusioner sepanjang sejarah. Dialah Nabi Muhammad saw. Pembawa risalah, peletak dasar peradaban Islam. Kejayaan peradaban ini dicapai bukan dari kilatan pedang, justru sebagian takluk berkat sepucuk surat.
***
Annajasyi, Raja Habasyah, membaca dengan seksama surat yang dibawa Amru bin Umayyah Adh Dhamri. Isinya 17 baris. Ditangkupkannya surat Nabi Muhammad saw itu ke kepala dan menutupi wajahnya. Lalu ia beringsut dari pembaringannya dan duduk di bawah sebagai sikap pengagungan.
Dipanggilnya Ja’far bin Abi Thalib. Di hadapannya, penguasa Nasrani itu mengucapkan syahadat. “Kalau aku sudah mampu maka aku akan mendatanginya, pasti aku akan pergi menjumpainya (menemui Muhammad saw, red),” ujar Annajasyi.
Ia tak bisa mengelak dari kebenaran. Kendati belum bertemu, berdialog atau menyimak dakwah langsung beliau, ia telah menemukan tanda-tanda kebenaran yang dikabarkan injil. Di mana? Surat dari Nabi.
Ia pun menulis surat balasan untuk Rasulullah saw yang isinya antara lain: “Aku bersaksi bahwa engkau benar-benar Rasulullah dan dapat dipercaya. Aku telah berbaiat kepadamu dan kepada anak pamanmu serta di hadapannya menyatakan memeluk Islam kepada Allah Tuhan semesta alam.”
Demikianlah dakwah melalui tulisan yang dilakukan Rasul. Menyeru dengan jalan damai. Banyak negeri-negeri ditaklukkan dengan perantara sepucuk surat. Dakwah dengan pena ini gencar dilakukan pasca Perjanjian Hudaibiyah, yaitu masa gencatan senjata dengan kafir Quraisy. Beliau segera memanfaatkan suasana tenang dan damai itu dengan mengirimkan surat ajakan dan seruan masuk Islam kepada segenap umat manusia.
Setidaknya, ada 31 pucuk surat yang ditulis untuk pemimpin negeri dan 43 pucuk surat untuk kepala suku dan kabilah. Beliau dibantu 46 sahabat sebagai sekretaris atau penulis. Antara lain Zaid bin Tsabit, Hamdhalah Ibnu Arabi, Amir ibn Fuhairah, Assijill dan masih banyak lagi.
Mereka bertugas mencatatkan berbagai kepentingan negara. Di antaranya, tim penulis yang khusus menulis surat kepada raja-raja dan penguasa-penguasa dengan menggunakan berbagai bahasa asing. Terbayang hebatnya generasi literasi di masa itu. Kendati dengan sarana terbatas, tak ada mesin tik, printer, apalagi internet. Namun, mampu menaklukkan dunia.
Para sahabat itu memahami sepenuhnya urusan baca-tulis. Menguasai masalah akidah, politik, taktik, diplomasi dan berargumen. Rasul yang buta huruf, memercayakan penulisan surat kepada mereka. Beliau memerintahkan dakwah kepada segenap bangsa menggunakan gaya bahasa masing-masing untuk lebih melunakkan hati dan perasaan umat.
Lalu, beliau mengirimkan para utusan untuk menyampaikan surat-surat itu ke penjuru dunia. Beliau tidak buang-buang waktu. Gigih, segera menyampaikan tulisan itu ke segenap kabilah dan bangsa-bangsa di seluruh pelosok negeri. Sepucuk surat berisi seruan dakwah, untuk menyelamatkan umat manusia dan membimbingnya ke jalan yang benar.
Surat Nabi bersifat terbuka, tulus dan terus terang agar mampu mengarahkan akal, hati dan nafsu tunduk pada kebenaran. Itu sebabnya Raja Annajasyi pun tunduk bersyahadat.
Demikianlah, Nabi saw diutus untuk seluruh umat manusia. Rahmat bagi semesta. Membawa cahaya Islam, mengentaskan kejahiliyahan. Waktu itu tak ada pesawat, tak ada email kilat, tak ada internet, tak ada media sosial. Namun literasi islami telah dimulai. Bisa dibilang, Rasulullah saw sebagai peletak dasarnya.
Beliau membuka pintu hidayah dunia dengan perantara sepucuk surat. Menaklukkan negeri-negeri tanpa pertumpahan darah. Melembutkan jiwa-jiwa kufur hingga tunduk pada kebenaran. Menjadi teladan bagi kita, akan “mukjizat” sepucuk surat. Sebuah tulisan yang mampu mengislamkan berbondong-bondong manusia. Demikianlah ketinggian literasi Nabi yang semestinya kita teladani.(*)
Diolah dari “Surat-surat Nabi Muhammad” karya Khalid Sayyid Ali.
(ameera/arrahmah.com)