Cilacap (arrahmah.com) – Terpidana mati kasus Bom Bali I, Mukhlas dan Imam Samudra melayangkan surat terbuka untuk wartawan saat Tim Pengacara Muslim (TPM) mengunjungi mereka di LP Batu, Pulau Nusakambangan, Cilacap, pada Rabu.
Kedua terpidana mati itu menulis surat bertuliskan tangan dengan tinta hitam dalam selembar kertas folio bergaris yang kemudian difoto kopi TPM yang dibagikan kepada wartawan di Dermaga Wijayapura.
Selain dibagikan, anggota TPM Qadar Faisal juga membacakan surat dari Mukhlas dan Imam Samudra di depan wartawan.
Dalam suratnya, Mukhlas menyoroti masalah alasan dia tidak mengajukan grasi dan tanggapannya mengenai eksekusi.
Berikut kutipan surat dari Mukhlas.
“(1) GRASI. Kalau saya mohon grasi akan terjatuh pada empat dosa dan kesalahan. a. Syirk (menyekutukan Allah) sebab presiden negara sekuler yang mengikut sistem (agama) demokrasi telah merampas hak-hak otoritas dan kedaulatan Allah dalam menciptakan dan menentukan hukum, maka kalau saya mohon grasi kepadanya dalam kasus jihad seperti yang saya lakukan, berarti saya mengakui ketuhanannya.
b. Haram karena syirk hukumnya haram dilakukan bahkan termasuk haram dan dosa yang paling besar.
c. Dalam kehinaan, saya seorang mujahid di pihak yang benar karena membela agama Allah dan membela kaum muslimin, sedang presiden dalam hal ini bukan di pihak yang benar dan bukan di pihak Allah tapi di pihak thaghut (syetan). Jadi kalau saya memohon kepada pihak yang tidak benar maka perbuatan saya tersebut lebih tidak benar lagi dan merupakan kehinaan.
d. Membantu kezaliman. Hukum yang dipakai untuk mengadili kasus saya (jihad) adalah hukum thaghut yang bertentangan dengan Alquran dan Assunah (hukum Allah bahkan yang lebih lucu lagi bertentangan dengan hukum positif thaghut yang sedang berlaku di negeri ini. Maka kalau saya mohon grasi berarti setuju dengan praktik hukum yang salah itu dan bermakna membantah telah membantu kezaliman yang wajib ditentang dan akan menjadi catatan hitam dalam sejarah.
(2) EKSEKUSI. Tanggapan saya tentang rencana eksekusi. a. Mati syahid adalah cita-citaku, idamanku, dan dambaanku. Jadi kalau Allah Ta`ala menakdirkan diri saya dibunuh oleh orang-orang kafir termasuk orang-orang munafik dan orang-orang murtad dengan cara eksekusi berarti cita-citaku yang paling tinggi tercapai, Alhamdulillah.
b. Saya sebagai seorang muslim yang beraqidah salaf dan komitmen dengan syariat Allah, haram atas saya menyetujui eksekusi sebab eksekusi atau membunuh seorang muslim apalagi seorang mujahid dengan sengaja dan direncanakan tanpa kebenaran dari Allah adalah perbuatan kriminal dan dosa besar sekali. Seluruh yang terlibat mendapat kemurkaan dan kutukan Allah, dan dimasukkan ke dalam neraka jahanam selamanya. (QS An-Nisa (4): 93). Dan untuk hukum di dunia seluruh yang terlibat wajib diqishas, darah dengan darah, jiwa dengan jiwa.
Nusakambangan, Syaban 1429 H. Hamba Allah (ditandatangani, red.) Mukhlas @ (alias, red.) Ali Ghufron bin Nurhasyim.”
Surat dari dari Mukhlas ini terdapat perbedaan dengan pernyataan yang disampaikan mereka melalui Qadar Faisal saat ditanya wartawan mengenai cara pelaksanaan eksekusi.
Menurut Qadar, tiga terpidana mati kasus Bom Bali I, yakni Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra menyatakan siap dieksekusi dengan cara apa pun.
“Mereka siap saja karena tidak dalam posisi memilih, dengan cara apa pun,” katanya.
Kalau memilih, kata dia, berarti menyetujui terhadap hukuman itu.
Sementara isi surat Imam Samudra lebih menyoroti tentang adanya dua tentara, yakni tentara Allah dan tentara thaghut. Berikut kutipan suratnya.
“Tentara itu cuma ada dua: 1. Tentara Allah 2. Tentara thaghut. (1). Tentara Allah= fikiran, perasaan, ucapan, dan perbuatannya hanya mendengarkan hukum Allah/Islam (Alquran dan As-sunnah), (2) Tentara thaghut= fikiran, perasaan, ucapan, dan perbuatan adalah bukan demi hukum Allah (Islam).
Maka kami adalah tentara Allah, karena jelas berjihad fie sabilillah, sedangkan mereka yang bekerja dan berjuang demi KUHP maka mereka adalah tentara thaghut (syaitan).
Mulai dari presiden, hakim, jaksa, dan polisi serta exekutor (eksekutor, red.) yang berencana mengeksekusi kami adalah tentara syaitan.”
Surat tanpa tanda tangan Imam Samudra tersebut diakhiri dengan kutipan QS.An-Nisa (4):75 yang artinya, orang-orang beriman berperang di jalan Allah dan orang kafir berperang di jalan thaghut (syaitan). [muslimdaily]
Sumber: MuslimDaily