Belakangan ini, beberapa mass media Barat merasa mendapatkan celah guna kembali mengadu domba kaum muslimin dengan Jabhah Nushrah, dengan membuat pemberitaan-pemberitaan negatif dimana kaum muslimin Suriah mulai menjaga jarak dengan Al Nusrah, lantaran pernyataannya untuk memberikan loyalitasnya pada Al Qaeda.
Di tengah-tengah gencarnya propaganda-propaganda Barat yang mesti kita waspadai itu, redaksi Shoutussalam menemukan sebuah artikel menarik, ditulis oleh reporter Majalah TIME yang mendapat kesempatan momen-momen bersama para pejuang Jabhah Nushrah. Menceritakan bagaimana an Nusrah sangat dekat di hati kaum muslimin Suriah.
Kami katakan artikel ini unik, karena di sebarluaskan oleh beberapa media revolusi Suriah yang boleh dikata masih awam dan sedikit tercampur dengan pemikiran-pemikiran sekuler. Dengan terus terang mereka mengatakan kekagumannya akan akhlak mujahidin, dan menyarankan para followernya di dunia maya untuk membaca dan menghayatinya. Seakan ingin menunjukkan, bahwa dukungan mereka terhadap Al Nusrah tak akan pernah luntur.
Berikut kisah ringkasnya:
Di salah satu sudut jalanan kota Raqqa, Suriah, berhenti sebuah mobil sedan usang, ber-merk Subaru dengan warna biru yang diselimuti debu. Seorang pejuang Jabhah Nushrah yang berkacamata duduk di belakang kemudi. Ia datang lima menit lebih awal dari janjinya untuk bertemu dengan kami pada pukul 9 pagi. Nampak sebuah senapan serbu Kalashnikov tergantung di bahunya. Ia lantas melangkah keluar dari mobil untuk membuka pintu penumpang depan bagiku.
“Selamat pagi,” kata seorang pemuda Suriah setelah kami berdua duduk. Dia tempatkan Kalashnikov di dekat tongkat persneling.
“Apa Anda takut padaku?” tanyanya. Aku tersenyum menanggapi sapaannya itu, lalu kujawab bahwa aku sedikitpun tak merasa demikian.
“Bagus,” katanya, sambil melepas penutup kepala warna hitam yang setiap saat ahrus menutupi wajahnya guna menyembunyikan identitas diri. Potongan kain itupun terlepas, memperlihatkan seorang lelaki berjenggot hitam lebat (tanpa kumis) yang ramah dihiasi sebuah senyuman lebar.
“Lihat, aku tidak menakutkan bukan?” ujarnya sambil tersenyum, lantas kembali memasang secarik kain hitam itu di wajahnya. Kini hanya mata cokelatnya saja yang terlihat.
Sekitar 45 menit lamanya kami berkendara hingga keluar dari area perkotaan, untuk mengunjungi salah seorang mantan pejabat senior rezim Assad yang telah ditangkap oleh jihadis Jabhah Nushrah. Dia adalah seorang hakim yang bertugas memberikan hukuman pada para pemberontak yang tertangkap, maupun agen-agen intelijen oposisi Assad yang berhasil dibekuk.
Beberapa pekan sebelumnya, pejuang al Nusrah di sampingku ini bersama dengan dua orang rekannya sempat memimpin konvoy delapan kendaraan pemberontak, diantaranya truk yang memuat senjata anti-pesawat kaliber 12.7mm, dalam sebuah serangan di pedalaman provinsi Raqqa, dimana lokasi rumah persembunyian sang hakim yang berhasil melarikan diri setelah kemenangan mujahidin merebut wilayah itu berada.
Kesanalah kami menuju. Banyak anggota senior rezim di kota Raqqa, termasuk gubernur dan kepala partai Ba’ath masih dibui dalam tahanan para pejuang, tetapi hakim yang akan kami temui ini dibebaskan tak lama setelah serangan itu, segera setelah perannya dalam membantu kaum Islamis.
Kami berhenti sebentar di depan sebuah toko penduduk, dimana pejuang Jabhah Nushrah tadi hanya mampir sekedar untuk membeli beberapa kilo permen sirup lengket khas Arab sebagai oleh-oleh untuk empunya rumah yang akan kami kunjungi.
“Ada seorang anak gadis kecil di rumah yang akan kita tuju,” jelasnya setelah kami kembali ke dalam mobil.
“Dalam penyerbuan kami kesana, ia memeluk kakiku dan berkata, ‘Kumohon paman, jangan bawa Baba (ayahku).’ Aku benar-benar tertegun oleh kata-katanya.”
Suara angin berhembus masuk melalui jendela belakang mobil saat kami melaju melewati perdesaan kecil di antara daratan berdebu dan ladang tanaman hijau gandum, sementara lantunan al Qur’an diputar melalui speaker mobil. Sang mujahid al Nusrah berumur 21 tahun tadi, adalah mantan mahasiswa fakultas sastra, dulunya menjadi sukarelawan sebuah badan amal Islam, sebelum kemudian turut mengangkat senjata sekitar delapan bulan yang lalu.
“Orang yang normal menemui kematian setelah melalui kehidupan, sedangkan seorang Mujahid (prajurit suci) menemui kehidupan setelah melalui proses kematian,” katanya.
“Entah siapa yang pertama kali mengatakan itu, tapi aku menyukainya. Dan aku mempercayainya.”
Akhirnya kami sampai, di sebuah rumah sederhana dengan eksterior beton abu-abu tanpa cat yang ditinggali oleh 5 keluarga. Seorang gadis muda umur sekitar lima hingga enam tahunan membuka pintu. Dia mengenali pejuang tadi, meskipun wajahnya tertutupi topeng hitam.
Kami dipersilahkan menuju ruang tamu, di mana ayahnya, berambut abu-abu dengan pakaian olahraga warna biru, sedang tidur rebahan di atas kasur tipis. Dia berdiri dan menyapa tamu-tamunya, begitu pula istrinya, seorang wanita gemuk berpakaian gaun panjang sampai lantai warna burgundy dan mengenakan jilbab perpaduan warna merah anggur dan ungu.
Mereka mangatakan bahwa seorang hakim rezim Assad dan keluarganya –yang dititipkan di rumah dengan lima kamar itu sebagai tamu- telah lama meninggalkan tempat itu menuju provinsi Hama, beberapa saat setelah dibebaskan dari tahanan Jabhah Nushrah.
“Ini kabar yang amat disayangkan,” kata mujahid al Nusrah menimpalinya. “Aku ingin berbicara dengannya.”
Segera, pembicaraan itu memanas, dimulai pada 16:30 petang hari itu. Para orang tua, termasuk diantaranya beberapa dari delapan anak-anak mereka, duduk mengitari sang pemuda al Nusrah. Mereka menanyakan namanya, dan darimana ia berasal. Dia menolak untuk memberitahu. Namun, bagaimanapun itu, ia melepas penutup kepala yang melekat di wajahnya.
Dia adalah satu-satunya dari tiga orang komandan lapangan al Nusrah yang masuk ke dalam rumah malam itu. 40 orang anggota al Nusrah lain yang datang bersamanya menyebar di lapangan sekitar rumah warga, lengkap dengan senjata, dan kini berjalan menuju rumah itu.
“Dari sini kita bisa melihat teman-temanku datang,” kata pejuang al Nusrah pada keluarga empunya rumah, “Kami tidak ingin bertengkar.”
“Dia bilang, ‘jangan takut’,” kata sang ibu, menirukan kata-kata pejuang al Nusrah, sambil menyajikan secangkir kopi hangat.
“Aku sudah bilang pada kalian bahwa kami akan kembali kesini untuk membawa sang hakim,…” ujar sang pemuda.
“Ya, lalu aku bilang padamu kalau aku akan bertemu denganmu, dan kini aku sudah melakukannya,” katanya.
“Aku tidak peduli, jika mau, bunuh saja aku! Tapi aku harus bertahan dan melindungi anak-anakku.”
Sang Hakim, yang kami tahu masih bersembunyi di dalam salah satu kamar, tidak ingin menyerahkan dirinya, dan keluarga tadi bersikeras bahwa dia sudah pergi dari sana.
“Aku memberikan janji keamanan untuk para wanita disini -ada tiga, istri sang hakim, yang berbaju biru itu bukan? Lalu istri polisi yang ada di ruangan itu, dan bibi sendiri,” katanya, sambil menunjuk sang ibu. “Aku sudah bilang kami tidak akan menyakiti kalian.”
Ibu itu penuh semangat, dan lebih banyak bicara. Suaminya tampak gugup saat ia mencaci personil al Nusrah karena salah satu diantaranya menembak hancur pintu kamar untuk membukanya paksa, setelah putrinya yang masih remaja tidak bisa menemukan kuncinya.
“Dia seharusnya tidak melakukan itu,” ujar sang ibu, “Anak-anak kami bisa ketakutan selama tiga hari setelahnya.”
Pejuang al Nusrah itupun meminta maaf, dan mengatakan bahwa orang yang menhancurkan pintu itu telah ditegur karena dia tidak mengindahkan perintah komandannya untuk tidak menembakkan senjata api jika sang hakim mau menurut.
Tiba-tiba, masuk seorang anak gadis mungil ke dalam ruangan, bercelana warna hitam dan memakai baju ungu.
“Bukankah kau anak yang memintaku untuk tidak mengambil baba?” tanya pejuang al Nusrah.
Gadis cilik itupun tersenyum. “Iya, dan anda anggota Jabhah Nushrah bukan?”
Namanya Noor, dan usianya 11 tahun.
“Sirat matanya menunjukkan keramahan,” kata gadis cilik itu, memberikan pembelaan pada pejuang al Nusrah. “Aku tidak takut padanya.”
“Aku sangat tersentuh dengan apa yang kau lakukan beberapa waktu yang lalu,” ujar pejuang Al Nusrah. “Oleh karena keberanianmu untuk melindungi sang ayah.”
Sang pemuda teringat, bahwa ayah teman kecilnya itu tidak memiliki senjata di rumah. “Anda harusnya memiliki pistol,” katanya pada sang ayah.
“Andai di malam penyerbuan itu aku memiliki pistol, apa yang akan terjadi?”
“Anda tidak memilikinya, dan untuk itu kini Anda harus memiliki senjata, Anda memiliki anak perempuan. Ini tidak aman.”
Kunjungan itu berlangsung singkat, tidak lebih dari setengah jam. Para pejuang al Nusrah meminta waktu untuk berfoto dengan semua anak-anak di situ, dan sang pemuda tadi meminta foto tersendiri berdua saja dengan Noor.
“Maafkan kami syekh,” kata sang ayah pada pejuang al Nusrah, sambil mengantar kepergian mereka ke depan pintu.
“Kami membuka pintu untuk para pengungsi di rumah kami, dan sang hakim bagi kami adalah seorang tamu, kami takut padanya,” kata sang ibu.
“Aku bersumpah, dari sekarang, bahkan jika seandainya ia adalah saudaraku sendiri, aku tidak akan membiarkannya tinggal bersama kami.”
“Saya ingin kembali lagi untuk melihat anak-anak,” pungkas pejuang al Nusrah, sebelum mereka kembali masuk ke dalam mobil.
Itu bukan pertama kalinya anggota Jabhah bilang dia akan kembali untuk mengunjungi rumah yang pernah ia serbu. Dia mengatakan dia tidak datang kembali untuk mengunjungi seorang pria bersama istrinya yang telah membohonginya bahwa sang hakim tidak di rumah. Tapi dia akan datang kembali untuk berjumpa dengan anak-anak.
“Aku memberitahu kepada semua orang bahwa kami semua adalah duta kehormatan. Aku adalah seorang duta Jabhah Nushrah, dan aku orang yang sangat perhatian pada anak-anak ketimbang dengan orang dewasa. Anak-anak adalah manusia yang masih polos,” katanya saat kami menuju kembali ke Kota Raqqa.
“Apakah Anda ingat ketika Anda masih kecil, jika seseorang melakukan sesuatu yang buruk pada Anda, Anda pasti akan mengingat-ngingatnya,” tambahnya.
“Apa yang kami lakukan malam itu mungkin mengubah hidup mereka, mereka mungkin tidak akan pernah melupakannya, atau boleh jadi mengubah kepribadian mereka. Jelasnya, mereka akan selalu ingat, aku akan datang kembali untuk mengunjungi mereka.”
(shoutussalam/arrahmah.com)