(Arrahmah.com) – PBB baru-baru ini mengaku mendapati sebuah rencana “kredibel” Mujahidin Asy-Syabaab Somalia untuk melancarkan serangan besar terhadap kompleks PBB di Mogadishu, menurut pejabat senior PBB. Hal ini menandakan bahwa Mujahidin, yang pernah diklaim telah berakhir, sekali lagi justru telah menjadi kekuatan utama perlawanan terhadap penjajahan di Afrika Timur, dilansir Foreign Policy pada Sabtu (19/10/2013).
Apa yang disampaikan PBB ini merupakan salah satu dari sejumlah peringatan yang mereka hadapi dalam beberapa bulan terakhir. Mereka merasakan resiko kehidupan yang keras di Somalia selama hampir tiga bulan terakhir setelah Mujahidin menyerang gedung kemanusiaan organisasi PBB di pusat kota Mogadishu yang menewaskan delapan staf PBB. Hal ini juga memperkuat fakta bahwaMujahidin Asy-Syabaab telah semakin kuat. Akhir bulan lalu, Mujahidin Asy-Syabaab juga mencetak kesuksesan dalam serangan terhadap pusat bisnis Yahudi Mall West Gate di ibukota Kenya, Nairobi.
“Gedung PBB di Mogadishu mungkin akan berada di bawah serangan ‘teroris’ langsung,” klaim analisa pasukan keamanan rahasia Somalia yang dibentuk bersama oleh Uni Afrika dan PBB. Laporan yang dibagikan dengan anggota Dewan Keamanan PBB itu juga menyatakan bahwa mereka sedang berada dalam “resiko serangan asimetris yang secara signifikan telah membatasi mobilitas staf PBB di Mogadishu dan menghambat pelaksanaan program PBB dalam mendukung Pemerintah Federal [Somalia].”
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon kemudian menyerukan penyebaran ribuan tentara Afrika tambahan untuk melakukan perlawanan terhadap kubu Mujahidin Asy-Syabaab minggu ini untuk memperkuat keamanan PBB sendiri.
Dalam sebuah surat, Ban Ki-moon meminta Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara dan pemerintah untuk meningkatkan keamanan misi PBB di Mogadishu. Dia meminta “penyebaran langsung satuan pengawal PBB” untuk memperkuat keamanan markas politik PBB di bandara Mogadishu. Dia juga menyerukan pembentukan sebuah “pasukan khusus” dari sekitar 150 polisi Somalia untuk memberikan keamanan bagi konvoi PBB, dan dia mendesak Somalia untuk membentuk satuan reaksi cepat yang dapat segera merespon permintaan bantuan PBB.
Ban Ki-moon mengatakan dia telah menerima jaminan dari Uni Afrika bahwa pasukan Afrika di Somalia akan terus memperkuat perimeter kompleks bandara dan memberi keamanan bagi personil PBB yang melakukan perjalanan di luar ibukota.
Ban juga telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk mengizinkan perluasan Misi Uni Afrika di Somalia atau yang lebih dikenal dengan African Union Mission in Somalia (AMISOM), di mana dia berharap bisa mengerahkan lebih banyak pasukan Afrika untuk meningkatkan keamanan di bandara sampai situasi stabil di Mogadishu .
“Keamanan wilayah saat ini secara langsung mempengaruhi kemampuan PBB dan masyarakat internasional untuk mendukung otoritas Somalia dan rakyat di Mogadishu dan wilayah itu,” tulis Ban. “Personil PBB harus mampu bekerja secara efektif di Somalia, termasuk untuk beroperasi bersama rekan-rekan Somalia dan bergerak bebas di Mogadishu dan memulihkan wilayah tersebut, dalam rangka untuk memberikan mereka mandat,” tulis Ban. “Hal ini memerlukan penyesuaian keamanan tambahan untuk memungkinkan staf kami untuk beroperasi dengan aman.”
PBB sebelumnya telah melihat permohonan untuk perlindungan bagi personilnya ditolak. Tahun lalu, Uni Afrika diminta untuk mengembangkan kekuatan penjaga yang terdiri dari 311 tentara untuk PBB “untuk memberikan keamanan, pengawalan dan perlindungan pelayanan kepada personil dari masyarakat internasional termasuk PBB.” “Namun, pasukan penjaga itu belum digunakan sebagai AMISOM,” kata laporan itu. Laporan itu, menambahkan bahwa tidak mungkin untuk membawa bala bantuan untuk mengambil peran karena Dewan Keamanan telah memberlakukan batasan pada jumlah pasukan asing yang diizinkan masuk ke negara itu pada satu waktu.
Bagaimanapun, J. Peter Pham, seorang spesialis Somalia di Dewan Atlantik, juga menyatakan tidak yakin bahwa upaya kemanaan mereka itu akan bertahan dalam jangka panjang. “Ya, lebih banyak pasukan akan memberikan keamanan lebih bagi mereka yang sudah ada di Somalia,” katanya. “Kita bisa membersihkan lebih banyak tempat di wilayah-wilayah yang dikuasai Asy-Syabaab. Tapi dalam setahun, kita akan [kembali] meminta lebih banyak tentara dan kekuatan udara. Ini adalah siklus yang tidak pernah berakhir.”
Pham mengatakan bahwa masalah yang lebih besar adalah bahwa Uni Afrika dan PBB mendukung pemerintah di Somalia yang tidak memiliki legitimasi politik yang cukup di kalangan rakyat Somalia. Dia mengatakan pembentukan tetua – yang tahun lalu dipilih majelis konstituante dan parlemen negara, yang pada gilirannya dipilih sebagai presiden Somalia, Hasan Sheikh Mohamud – “dikemas dengan tetua palsu.”
Hal yang sama parahnya, dia menambahkan, adalah kenyataan bahwa PBB telah mengambil peran dalam kekacauan sipil dan konflik klan, mengulangi kesalahan yang dibuat oleh Amerika Serikat dan PBB pada awal tahun 1980, ketika mereka mengejar panglima perang Somalia Mohamed Farrah Aidid.
“PBB bukanlah kekuatan netral di Somalia,” kata Pham. “Saya berpikir dengan sebuah cara PBB telah menggambar target di punggung sendiri”.
Sementara Daveed Gartenstein – Ross, yang mempelajari kelompok pejuang di Yayasan bagi Pertahanan Demokrasi, mengatakan Amerika Serikat, PBB, dan lain-lain sering kali harus membuat pilihan sulit tentang bekerja dengan negara-negara yang tidak sepenuhnya demokratis. Dia mencatat bahwa kekuatan Asy-Syabaab di Somalia tidak pernah menurun. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan sekutu Afrika-nya, “telah merasakan hal itu.” (banan/arrahmah.com)